Perempuan, Panci Nasi, dan Sisi Kelam Politisi -->
close
Pojok Seni
18 February 2023, 2/18/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-02-18T01:00:00Z
ArtikelteaterUlasan

Perempuan, Panci Nasi, dan Sisi Kelam Politisi

Advertisement
Pertunjukan Perempuan dan Panci Nasi
Pertunjukan Perempuan dan Panci Nasi karya Nurul Inayah, Sutradara Willy Fwi, Aktor Narima Berly Ivana


Pojok Seni - Sebuah karya monolog dipentaskan di Kampoeng Gallery, Kebayoran Lama, Jakarta, tanggal 14 Februari 2023. Karya berjudul Perempuan & Panci Nasi yang ditulis oleh Nurul Inayah, seorang seniman teater dari Makassar Sulawesi Selatan. Karya ini disutradarai oleh Willy Fwi, seniman teater keren dari Jakarta, yang bolak-balik Pekanbaru - Jakarta, dan dimainkan oleh aktor Narima Berly Ivana. 


Tentunya, saya yang sedang berada di Bengkulu tidak dapat menyaksikan pertunjukan tersebut secara langsung. Namun beruntungnya, pertunjukan tersebut diunggah di saluran YouTube. Dan tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman dan perasaan menyaksikan secara "virtual".


Alur Cerita Perempuan & Panci Nasi


Dalam video berdurasi 31 menit, cerita dimulai dengan seorang perempuan rambut acak-acakan, berpakaian kaos yang cukup lusuh dan warna yang pudar bertuliskan "Kalimatan Timur" (tentu saya tidak berani mengatakan bahwa perempuan ini, atau setting ceritanya berasal dari provinsi tersebut). 


Perempuan tersebut menelusuri lorong -lorong yang dipenuhi pengunjung kedai tersebut. Ia terhenti di depan kaca, kemudian menjerit sepenuh hati. Ia kemudian memperkenalkan diri.


Iringan musik akustik, serta suara-suara yang muncul dari luar "panggung" memberi kesan "surrounding" mengurangi kesan-kesan "grounding" dari para penonton yang masih cukup shock dengan kedatangan tokoh perempuan. 


Perempuan ini bercerita tentang Pak "D", seorang petinggi partai yang memberikan ia kerja di sekretariat. Ia dijanjikan sejumlah hal, sebagaimana janji seorang politikus. Kisah berujung ke pemerkosan yang dilakukan oleh Pak D dan sejumlah anggota partai lainnnya. 


pertunjukan perempuan dan panci nasi


"Jangankan menepati janjinya pada rakyat, menepati janjinya pada saya saja hanya angan-angan belaka," teriak tokoh perempuan. Ia menyadari bahwa dirinya hanya menjadi boneka politik yang menggelembungkan suara, lalu dimanfaatkan oleh para "srigala" buas.


Kisah berlanjut ke perempuan malang yang diusir oleh Pak D yang sudah berhasil duduk di parlemen. Di saat yang sama, perempuan itu punya anak dari pak D yang tak pernah diakui pak D. Semua itu, menurut perempuan itu, dikarenakan panci nasi. Panci nasi yang menjadi penghubung antara ia dan sisi kelam politisi. Kebutuhan untuk makan membuat perempuan ini terbuai bualan politik pak D.


Perempuan itu menepi dan mengucilkan diri. Namun, ia tetap dihantui oleh bualan-bualan pak D yang menyiksanya saban hari. Perempuan itu terus meminta tolong pada setiap penonton, untuk bisa menghindar dari bualan politik yang menghantuinya setiap hari, setiap waktu.


Kemarahannya pada politisi menjadi-jadi, ketika tetangganya kehilangan anaknya. Anaknya terinjak-injak ketika sedang antri sembako yang digelar oleh Pak D, waktu itu menjadi calon presiden. Kebenciannya tambah menjadi-jadi. Teriakannya pada akhir drama disambut oleh tepuk tangan meriah oleh penonton.   


Mengantar Teater ke Medan Tempur Industri


Pertunjukan perempuan dan panci nasi

Akhir video, sutradara pertunjukan Willy Fwi berbicara tentang mengantarkan teater pada penonton, sebagai antitesis dari teater sebelumnya. Penonton mendatangi gedung teater, membayar tiket, dan duduk dengan tujuan utama menonton teater. Sutradara Willy Fwi berkata, seniman teater mesti memutar paradigma tersebut. Karena itu ia mencoba yang sebaliknya, mengantarkan teater pada khalayak.


Pertunjukan teater satu ini didukung oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Karena itu, penonton bisa datang ke Kampoeng Gallery tanpa membayar tiket, dan disuguhi pertunjukan teater yang menakjubkan. Selain itu, keputusan ini juga ditenggarai rasa kecewa terhadap amburadulnya revitalisasi Taman Ismail Marzuki.


Hasilnya? Yah, penonton berpendapat Willy Fwi berhasil mengantarkan teater ke publik. Satu hal yang membuat berkembangnya industri seni semacam musik dan film. Tentu saja, kemungkinan untuk menjadikan teater sebagai seni yang tidak ekslusif lagi juga sudah siap ditanggung oleh seorang Willy Fwi. 


Ia bahkan berkata, selama seniman merasa diri sebagai seniman yang ekslusif, harus selalu berhias dinding mewah gedung teater, dan tiket yang harganya mahal, maka selama itu pula apa yang ingin disampaikan oleh seniman tidak akan pernah sampai ke publik. Ia hanya menjadi sebuah angan-angan, mengambang di langit-langit gedung teater mewah.


Bagi saya, Willy Fwi tentu sedang mencoba mengantarkan teater ke panggung sebenarnya; publik. Tempat di mana ide-ide para seniman itu mengendap, mengantarkan publik berkontemplasi, meski tak serta merta mengubah perspektif mereka. Hal ini bisa saja mengundang pro dan kontra dari sesama seniman teater, maupun pemirsanya. Namun, Willy Fwi telah melakukan hal yang dianggapnya tepat.


Meski demikian, kita bisa melihat sejumlah penonton tak begitu siap dengan pertunjukan interaktif. Ketika pemain melakukan interaksi pada beberapa penonton, tak satupun yang memberi respon aktif. Semuanya memilih diam dan menahan setiap ekspresi yang sebenarnya ingin mereka sampaikan. 


Mungkin untuk awal, perlu satu atau dua orang yang sudah direncanakan sebagai "pemain" dan ditempatkan sebagai penonton. Mereka akan memberikan respon secukupnya, mungkin sekedar ekspresi, atau gerak seperti mengelus rambut -untuk menunjukkan empati-, atau memberi semangat, sebagaimana pada manusia pada umumnya. Karena, dalam kondisi ini, Willy Fwi berencana untuk menghapus jarak antara penonton dan pemain. Seperti yang direncanakan oleh Augusto Boal dalam teater of depressed-nya.


Hal itu mungkin bisa jadi pemantik bagi penonton yang lain untuk ikut memberi sumbangsih (tidak berbentuk uang tiket) pada pertunjukan. Empati kemanusiaan mereka akan ikut membangun atmosfer pertunjukan, dan terhindar dari keributan penonton. 


Ditambah lagi, beberapa ilustrasi musik benar-benar mendukung pertunjukan. Namun, di beberapa sisi, ilustrasi musik justru tidak mendukung pertunjukan. Ada beberapa part yang sebaiknya hening, dan ada beberapa lainnya yang sebaiknya di-backing dengan musik dengan warna dan intonasi lain.


Terlepas dari itu, ini sebuah pertunjukan yang memukau. Ini kali kedua saya menyaksikan Perempuan & Panci Nasi yang disutradarai oleh Willy Fwi, namun dengan aktor berbeda -dan dua-duanya virtual-. Saya harus jujur bahwa pertunjukan kedua ini lebih baik dari yang pertama, dari berbagai sisi. Saya yakin, eksperimen sutradara dalam pertunjukan ini, semakin lama semakin menemui formulasinya.

Ads