Advertisement
Teater Kubur dari Jakarta saat menghadirkan pertunjukkan Ritus Operasi Bocor di Gedung Serba Guna Gabus pada Sabtu, 31 Desember 2022. (sumber foto: suaramerdeka-muria.com/Beni Dewa) |
Oleh: Zackir L Makmur*
Gedung Serbaguna Gabus, umumnya gedung di sebuah desa yang dinilai lewat piranti bagunan perkotaan –terlebih Kota Jakarta—sangat sederhana. Namun gedung yang ada di Desa Gabus, Pati, Jawa Tengah, ini yang jelang tutup tahun 2022 dipadati oleh ratusan warga –bahkan ada di antara mereka anak-anak. Mereka memadati gedung ini untuk menonton pertunjukan teater dari Jakarta.
Pertunjukan teater yang mereka tonton bukanlah sebuah sandiwara yang menggunakan tutur kata bahasa ibu –Jawa. Bukan. Melainkan pertunjukan ini menggunakan bahasa tubuh, dengan judul Ritus Operasi Bocor produksi Teater Kubur, bertindak selaku penulis dan sutradara Dindon W.S.
Di dalam jagat perteateran kontemporer Indonesia, salah satu pertunjukan yang sangat sulit “dimengerti” adalah pertunjukan dari Teater Kubur. Teater yang didirikan dekat kuburan masyarakat Jakarta Timur, pada 13 Juli 1983, ini menampilkan pementasan yang bertumpu pada kebudayaan tubuh. Mulai dari naskah perdananya berjudul Sirkus Anjing (1987). Kemudian karya ini diperbaharui pada tahun 2004 untuk dipentaskan dalam Festival Art Summit di Jakarta.
Setelah “Sirkus Anjing”, lantas muncul lagi pementasan yang berjudul Tombol 13 (1993), Sandiwara Doll (1998), Danga-Dongo (2000), Jas Dalam Toilet (2004), On/Off (2008), Rumah Bolong (2010), dan lain-lain, termasuk Ritus Operasi Bocor (2022) yang tampil di Desa Gabus itu. Apa boleh buat bahwa masyarakat di desa ini, sangat mungkin seperti masyarakat desa lainnya, sentuhan-sentuhan terhadap literasi teks harus mengalami jenjang strata. Jadi ketika mereka terbilang tidak buta huruf, bukan berarti mereka mengerti teks di luar teks. Bahkan untuk kota yang terpelajar saja bingung untuk menyerap memahami teks di luar teks, yang di dalam pementasan Teater Kubur saya menyebutnya Kebudayaan Tubuh.
Lantaran Teater Kubur punya sistem nilai Kebudayaan Tubuh yang demikian lama disetubuhinya, maka ia pun begitu fasih menyampaikan idiomatik Kebudayaan Tubuh yang bernama “bahasa tubuh”, dan ini bahasa universal. Orang-orang Desa Gabus itu, yang menikmati pertunjukan Ritus Operasi Bocor sangat mungkin tidak banyak mempunyai referensi dan literasi terhadap pertunjukan teater modern sebagaimana lazimnya warga kota. Tetapi satu hal tidak bisa diremehkan: mereka mengerti bahasa tubuh.
Filsafat Kebudayaan Tubuh
Lewat pemahaman yang sangat halus terhadap bahasa tubuh, penonton tahu gerak-gerik tubuh dan ekspresi pemain. Berhubung orang-orang Desa Gabus yang menikmati pertunjukan Ritus Operasi Bocor itu bagian dari bangsa Indonesia –sebuah bangsa yang menanamkan akar filsafat kebudayaan tubuh sudah ratusan tahun—maka menjadi lumrah bila mereka tahu gerak-gerik atau tata laku dalam bahasa tubuh di pertunjukan itu.
Di sinilah kekuatan pentas-pentas Teater Kubur yang bertumpu pada filsafat Kebudayaan Tubuh, yang punya bahasa universal tanpa teks-teks. Pertunjukan ini jadi indah dan memperkaya jiwa, tanpa disadari orang-orang desa pun turut terpukau. Mereka semacam menemukan ekspresi “bahasa” yang sangat jelas maknanya dan mudah dimengerti. Dalam pengertian itulah apa yang dikatakan Eric Hoffer (1902-1983), penulis dari Amerika Serikat, "Bahasa diciptakan untuk mengajukan pertanyaan. Jawaban dapat diberikan dengan geraman dan gerak tubuh, tetapi pertanyaan harus diucapkan," menjadi relevan.
Pementasan On/Off Teater Kubur (sumber foto: cemaragunung.blogspot.com) |
Dalam tradisi Kebudayaan Nusantara, diberitahukan pula bahwa bahasa tubuh, sebutlah, pada seseorang telunjuknya mengacung, mengepalkan tangan, melambaikan tangan, atau membuat tanda dengan jari jempol –semuanya menjadi tata laku dalam bahasa tubuh yang mudah dimengerti apa maksud dan maknanya.
Demikian pula sejauh mana bahasa tubuh bisa dibaca pada lengan, kaki, mata, bahkan mulut. Tanpa teks tetap mengandung makna. Dalam bahasa tubuh, ketika kaki disilangkan menunjukkan ia sedang membutuhkan privasi. Lalu bersamaan pula menggerakkan jari atau menggerakan kaki dengan cepat menunjukkan perasaan gelisah, bosan, tidak sabar, atau tertekan.
Bahkan menyangkut bahasa tubuh terhadap gerakan mata, Kebudayaan Nusantara memberi ungkapan: “mata adalah jendela hati” yang selalu punya daya aktualitas dan relevansinya. Lantaran yang bernama “mata” mampu menunjukan hal-hal yang sedang dirasakan ataupun dipikiran oleh seseorang. Penyair sufi Jalaluddin Rumi (1207-1273) berkaitan dengan esensi mata menyebutnya dalam bahasa lebih puitis: "Selamat tinggal hanya untuk mereka yang suka dengan mata mereka."
Begitu juga terhadap mulut. Boleh—boleh saja mulut bertutur atau berkata-kata, tapi tak sepenuhnya bisa dipercaya. Peribahasanya: “mulut manis jangan percaya, lepas dari tangan jangan diharap”. Beda dengan mata, ia “bicara” pasti jujur. Membaca bahasa tubuh lewat tatapan mata, justru lebih peka dan sensitif.
Itu semua adalah realitas bahasa tanpa teks. Maka sangat bisa dimengerti bila kemudian Dindon mengatakan kepada wartawan, bahwa “Ritus Operasi Bocor merupakan upaya dari para pegiat Teater Kubur untuk menangkap realitas yang saat ini tengah terjadi.” Dan Dindon memang cerdik, dia olah “realitas yang saat ini tengah terjadi” dalam sistem nilai filsafat Kebudayaan Tubuh –suatu filsafat yang sudah kenal bangsa ini ratusan tahun lampau.
Rahasia Makna Tubuh
Jadi ketika aktor-aktris Teater Kubur menampilkan gerak-gerik dan ekspresi dalam pementasan, orang-orang “sekelas” desa pun bisa mengerti arah dan makna gerakan dan ekspresi itu. Karena dalam realitas keseharian, mereka (atau kita), telah diajarkan oleh keluhuran kebudayaan terhadap bahasa tubuh.
Oleh karenanya apa yang menjadi emosi bernama bahagia, sedih, marah, heran, takut, bingung, kaget, mengumpat, atau menghardik, sangat terlihat lewat tubuh. Pertunjukan ini semacam pertunjukan aktor-aktris yang mumpuni untuk memberitahukan segala onderdil tubuh mampu memberikan teks: “ekspresi wajah, kredibilitas, keramahan, dan kecerdasan.”
Pernah saya dalam suatu kesempatan mengantar Bang Amien Kamil mencetak poster di rumah Mas Rik Sakri, berjumpa dengan aktor senior Teater Kubur, Andi Bersama. Lalu berbincang-bincang. Dalam perbincangan ini saya ingat yang garis besarnya bahwa latihan olah tubuh di Teater Kubur penuh intensitas tinggi. Boleh jadi karena punya intensitas latihan olah tubuh yang demikian berkesinambungan, aktor-aktris Teater Kubur lihai memainkan “tubuh” sebagai “teks-teks.” Dalam bahasa Dindon, “menangkap realitas yang saat ini tengah terjadi”.
Oleh karena itu tubuh tidak semata bisa dilihat, melainkan harus dipahami menjadi teks kehidupan. Dalam tataran inilah mengapa penyair Wallace Stevens begitu puitis mengungkapkan, bahwa "Apa yang dilihat mata kita mungkin merupakan teks kehidupan." Maka dalam kehidupan ini bahasa tubuh, justru ketika dibaca dalam postur tubuh, menemui hal-hal faktualnya untuk menunjukkan kepribadian seseorang dalam kehidupan. Realitas ini yang diperbesar dan diperjelas oleh sejumlah pementasan Teater Kubur yang bertumpu pada Kebudayaan Tubuh.
Tubuh Butuh Roh
Tubuh membutuhkan roh, tapi roh tidak membutuhkan tubuh. Ketika tubuh bergerak tanpa roh, dan roh bergerak tanpa tubuh, maka terjadi pergeseran kebudayaan. Pergeseran kebudayan ini yang tampak secara faktual seperti terjadi dalam film atau sinetron, di mana tubuh bergerak tanpa roh namanya zombie atau kuntilanak, dan roh bergerak tanpa tubuh bernama dedemit atau malaikat.
Padahal tidak begitu karena kebudayaan tubuh dan kebudayaan roh, dalam tradisi kebudayaan bangsa Indonesia sejak ribuan tahun sudah dikenal. Dalam kebudayaan tubuh, di mana laku (pergerakan tubuh) terfokuskan pada ajaran budi pekerti. Manusia yang pergerakan tubuhnya tidak serampangan, sembrono, dan ugal-ugalan, nyaris manusia tersebut mempunyai laku budi pekerti yang halus dan baik.
“Realitas yang saat ini tengah terjadi” semacam itu pula yang dipotret sejumlah pementasan Teater Kubur. Dalam pementasan Ritus Operasi Bocor ada kebudayaan roh yang direpresentasikan sebagai moral transendental. Hal ini dalam kebudayaan Indonesia dikenal dalam pameo yang berbunyi: “laku adalah ilmu.” Laku, maksudnya adalah “kelakuan” atau “perbuatan” dan ini erat kaitannya dengan teks tubuh. Maka gampangnya mau tahu “orang berilmu”, gerak-gerik tubuhnya mencerminkan manusia berilmu apa tidak.
Inilah mengapa Kebudayaan Tubuh membutuhkan Kebudayaan Roh agar punya moral transendental ketika tubuh “berbicara”. Pementasan Teater Kubur lebih banyak pula berpijak dari strategi kebudayaan ini, maka Kebudayaan Roh pada Teater Kubur menyimpan moral transendental–suatu filsafat yang meyakinkan, yang telah diajarkan leluhur bangsa ini.
Sangat mungkin karenanya orang-orang Desa Gabus itu bisa demikian akrab pada teks-teks Kebudayaan Tubuh yang ditampilkan Teater Kubur. Dalam khasanah kebudayaan Indonesia (Nusantara) filsafat Kebudayaan Tubuh ini sangat halus, saking halusnya apa yang bernama “bahasa tubuh” bisa dimengerti oleh orang yang perasaannya tidak kasar. ***
* Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020). Baca tulisan-tulisan dari Zackir L Makmur di PojokSeni di sini: Tulisan Zackir L Makmur.