Advertisement
Pementasan Opera Kecoa 2003 produksi Teater Koma (sumber foto: Teaterkoma.org)
Oleh: Zackir L Makmur*
Pojok Seni - Secara faktual Roima dan Julini, boleh sepasang “suami istri” ini otaknya tidak berjalan ide-ide revolusi sosial. Roima, seorang bandit kelas teri, sedangkan Julini, seorang waria. Lantas keduanya hidup di dalam lorong kota besar bersama dengan pekerja seks komersial, pemulung, orang-orang terlantar, maupun gelandangan. Semiotika ini saja sudah mengabarkan: problematika hidup mereka urusan “perut” bukan “otak”.
Tapi tidak bisa terabaikan, realitas itu bukan sekadar ada di pentas Opera Kecoa produksi Teater Koma. Melainkan suatu perkara yang bisa kita temukan dalam realitas kehidupan nyata. Maka tiba-tiba saja hidup ini menjadi pementasan, di mana realitas dalam Opera Kecoa, Bom Waktu, Opera Julini, maupun J.J. Sampah-Sampah Kota bisa dikenali secara nyata dan dekat. Dan, risih.
Oleh karenanya Roima dan Julini (Opera Kecoa), maupun Jiah dan Juhro (J.J. Sampah-Sampah Kota) mulanya hidup di dalam realitas panggung –tetapi berhubung realitas ini nyata dan dekat, maka dunia yang suram di sana begitu nyata dan dekat pula. Ini selain membuat risih, menyesakkan dada pula.
Mereka itu ada pada sebuah dunia imajinasi, yang direalitaskan menjadi pementasan. Tapi kita risih: karena realitas mereka, menjadi realitas kita. Dan realitas kita, menjadi imajinasi mereka. Pemindahan ulang-alik realitas, atau pertukaran realitas, memang menjadi kelihaian Teater Koma. Dan Nano Riantiarno, sang pencipta pertunjukan realitas itu, penuh kasih sayang mempertontonkannya. Tentu saja ini jadi kocak.
Relevansi Terhadap Realitas
Pementasan Bom Waktu produksi Teater Koma | 1982 (Foto. www.teaterkoma.org) |
Pentas Opera Kecoa pertama kali digelar Teater Koma pada 1985, di Graha Bhakti Budaya, Jakarta. Kemudian pada 1990, lakon ini dilarang pentas di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), dan tidak diberi ijin pentas keliling di Jepang. Kemudian di tahun 1992, dipentaskan dengan judul "Cockroach Opera" oleh Belvoir Theatre di Sydney, Australia. Lalu pada 2003 lakon ini dipentaskan lagi di GKJ. Dan tahun 2016, Teater Koma memanggungkan kembali lakon ini di Graha Bhakti Budaya, tempat lakon tersebut pertama kali dipentaskan.
Perjalanan panjang Opera Kecoa ini menandakan ia mempunyai ide-ide yang selalu penya relevansi terhadap realitas kekinian. Sehingga sebagai realitas panggung bahwa Roima, Julini, Tuminah, pekerja seks komersial, gelandangan, maupun orang-orang sialan lainnya –pada bisa ngomong, pada bisa merepresentasikan kritik-kritik sosial dan sekaligus menyelipkan ide-ide revolusi sosial –serasa terus hidup.
Mereka bisa demikian, karena “dihidupkan” oleh sang penulis lakon, N. Riantiarno –yang sekaligus bertindak selaku sutradara. Dalam kondisi yang hidup ini, apa yang dilontarkan menjadi diksi-diksi yang bengkok dan lancip lantas dipakai untuk menusuk problema kesenjangan rakyat, ataupun membela kaum minoritas, hingga secara kocak mencemooh rakyat kelas atas yang hidupnya justru menyimpang.
Secara kocak, karena dalam pementasan ini konsepsi revolusi sosial dimaknai sebagai suatu upaya perubahan hidup diri sendiri, di mana Roima dan Julini bekerja dengan cara masyarakat kelas bawah. Dan puncak kekocakan ide revolusi sosial ini justru dipresentasikan bukan pada suatu upaya gerakan struktur masyarakat menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan.
Namun demikian ide-ide revolusi sosial justru dikemasnya dengan cara-cara menertawakan kepongahan feodalisme, lantas mengejek kesewenang-wenangan kekuasaan dengan jenaka, serta memperlihatkan upaya-upaya menghadapi kekerasan hidup riang gembira, seraya bernyanyi-nyanyi: “Ngumpet di gorong-gorong//Makan tidur di dalam got//Merangkak-rangkak di dalam gelap//Dalam gelap, ya sayang, dalam gelap.”
Ide Revolusi Sosial
Nano Riantiarno selaku penulis naskah, sebagaimana umumnya ia menuliskan ratusan naskah pentas Teater Koma, sepertinya begitu lihai menyuguhkan ide-ide revolusi sosial secara kocak –tapi begitu sarat makna. Hal ini bukan saja pada Opera Kecoa saja, melainkan pula pada Bom Waktu, maupun Opera Julini. Trilogi ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki tahun 1985.
Letupan ide-ide revolusi sosial juga masih bersemayam pada pentas lakon Banci Gugat (1989), Konglomerat Burisrawa (1990), Semar Gugat (1995), Opera Sembelit (1998), maupun Republik Bagong (2001). Disini, Nano Riantiarno selaku penulis lakon begitu terampil dan tangkas mengolah onderdil-onderdil ide revolusi sosial, antara lain memindahkan realitas ketidakmerataan penyebaran ekonomi kapitalis yang membuat jurang lebar si kaya dan si miskin, ketidakadilan, dan kesewenangan-wenangan ke atas pentas. Semua ini diejek penuh senda gurau. Gila, justru penonton pun tertawa –bahkan tertawa terbahak-bahak.
Padahal, secara tidak langsung, sangat mungkin yang ditertawakan adalah diri mereka sendiri. Dan ini menandakan betapa efektif “pertukaran” realitas manusia di panggung, menjadi realitas manusia yang menonton. Menurut pengakuan Nano Riantirano, “Saya tak pernah mengarang cerita. Lakon-lakon yang saya tulis merupakan realita di kiri-kanan kita” (Mengenang Opera Salah Kaprah Teater Koma, Kompas, 29 Januari 2023).
Basis Perkotaan
Penonton Teater Koma, umumnya, datang dari kota –sebuah wilayah yang lebih awal bersentuhan dengan modernisasi yang begitu masif. Tapi wilayah ini juga yang begitu kasar memunculkan ketimpangan ekonomi, sehingga begitu banyak warga miskin di kota-kota. Di sini progresivitas perubahan struktur masyarakat, perubahan kelas, perubahan politik, dan bahkan perubahan sosial begitu sangat cepat. Maka ini potensi meletus revolusi sosial.
Tetapi Nano Riantiarno menempuh jalan berbeda untuk mencecap perkara itu, sehingga setiap lakon-lakon ciptaannya –walau penuh kritik sosial—tidak mengusung pertentangan kelas sampai kepada tahap hukum dialektika, di mana sebuah masyarakat akan bekerja bersama dan memiliki alat serta hasil produksi bersama.
Bila mengikuti jalan pikiran tokoh gerakan Revolusi Sosial, Tan Malaka, ide-ide revolusi sosial dalam pentas-pentas Teater Koma tidak bersumbu pada inspirasi massa aksi. Atau memang Nano Riantirano tidak sedemikian radikal seperti halnya Tan Malaka, yang menandaskan ide revolusi sosial menuju masyarakat Indonesia sosialis. Pokok pikiran Tan Malaka ini sangat jelas tertuang dalam buku Negara dan Revolusi Sosial karya Fahsin M. Fa'al (2010).
Dengan demikian kritik-kritik sosial yang dilontarkan dalam sejumlah pentas Teater Koma, sama sekali tidak memberikan inspirasi massa aksi. Pertarungan idenya sampai sebatas kritik sosial yang pedas dan jenaka. Dan ide-idenya pun dalam memahami suatu realitas, seperti selaras progresivitas Soekarno ketimbang progresif Tan Malaka. Dimana Soekarno pernah berkata: "Masyarakat keadilan sosial bukan saja meminta distribusi yang adil, tetapi juga adanya produksi yang secukupnya," nyaris senafas premis lakon J.J. Sampah-Sampah Kota.
Lakon ini pertama dipentaskan tahun 1979, yang kemudian dipentaskan lagi oleh Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (7/11/2019), bertindak selaku sutradara Rangga Riantiarno. Lakon ini berkisah tentang sepasang suami istri bernama Jian dan Juhro yang hidup di gubuk kolong jembatan bersama orang-orang miskin lainnya.
Dari sana begitu kental tuntutan sebuah “Masyarakat keadilan sosial bukan saja meminta distribusi yang adil, tetapi juga adanya produksi yang secukupnya,” yang disampaikan Nano Riantiarno lewat Teater Koma. Lewat lakon-lakonnya yang penuh kritik sosial ini pula apa yang dimaksudkan ide revolusi sosial, sebagai bagian keinginan masyarakat untuk adanya perubahan.
Kompleksitas problema hidup dan kehidupan dalam Bom Waktu, Opera Kecoa, maupun Opera Julini, menyangkut problem moral, intelektual, kultural, maupun spiritual. Berat, tapi disampaikan secara berkelakar. Bahkan ketika di antaranya terselip kemunculan ide-ide revolusi sosial –bukan semata kritik sosial—terasa kocak. Di tangan pementasan Teater Koma ini ide berat dan berbahaya itu bisa dikemas penuh kelakar –sekaligus bandel –seperti kurang ajarnya kecoa menempel di bibir perempuan.
Pertukaran Realitas
Ide revolusi sosial, kadang kocak. Karena ia tidak mampu memperdagangkan ajaran gerakan-gerakannya. Ini lebih bersifat integral fisik revolusi, butuh figur agar tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Venezuela, pada Hugo Chavez.
Tapi karena ketidakmampuan memperdagangkan gerakan-gerakan, revolusi menjadi kocak dan sekaligus memberi keyakinan terhadap sebuah perubahan –walau masih gelap. Tampak nian ini pada kisah nyata dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia, di mana revolusi mengakibatkan perubahan struktur sosial di Indonesia; kekuasaan raja-raja, maupun kaum borjuasi, mulai dikurangi atau dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan revolusi sosial tiga daerah, yakni Brebes, Tegal, dan Pemalang.
Revolusi sosial mewarnai hampir setiap daerah di Indonesia. Di daerah Sumatera Timur, revolusi sosial ini juga memakan “anaknya” yang bernama Amir Hamzah, seorang penyair besar. Pergolakan sosial ini berlanjut sampai 8 Maret 1946. Sultan Bilah dan Sultan Langkat ditangkap lalu dibunuh.
Sedangkan di Jawa, peristiwa semacam ini dikenal sejarah sebagai peristiwa tiga daerah. Tiga daerah itu antara Tegal, Brebes, dan Pemalang. Peristiwa yang terjadi pada bulan Oktober-Desember 1945 ini, adalah salah satu bentuk rasa sakit hati rakyat terhadap pejabat dan penguasa (daerah).
Banyak daerah di Indonesia terjadi Revolusi Sosial yang dilatarbelakangi penyebab yang hampir sama: kondisi ketimpangan di segala aspek kehidupan masyarakat. Ketimpangan ini terlihat sangat mencolok terutama antara rakyat kelas bawah dengan para pengusaha, bangsawan, dan pejabat pemerintah.
Selain ketimpangan dalam segala aspek juga muncul rasa ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap golongan atas. Keadaan ini juga didukung provokasi dari pejuang-pejuang gerakan bawah tanah kepada masyarakat akan kondisi ketidakadilan ini.
Semua itu dipotret Nano Riantiarno dalam sebentuk ide, yang kemudian menjadi realitas yang selalu relevan yang bisa ditelisik akar penyebabnya, dan aktual mendeteksi persoalan-persoalannya. Realitas semacam ini dipentaskan Teater Koma, sebuah teater yang cukup berumur. Teater Koma didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977 oleh Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno. Dan Nano Riantiarno berpulang ke alam keabadian, Jumat, 20 Januari 2023, meninggalkan rasa kehilangan yang sangat dalam bagi masyarakat teater Indonesia.
Ketika Nano Riantiarno menuliskan naskah-naskahnya dimulai tahun 1975-an bukan tahun 1945-an, namun kompleksitas persoalan sosial jelang munculnya revolusi sosial di era 1945-an itu tetap bisa dikenali, begitu relevan dan aktual. Tapi Nano Riantiarno menyuguhkan ide-ide revolusi sosial tidak setandas progresifitas Tan Malaka untuk menuju Indonesia sosialis.
Kendati demikian sangat mungkin berkesesuaian dengan premise Soekarno: “Masyarakat keadilan sosial.” Konsepsi ini membuat Jian dan Juhro (J.J. Sampah-Sampah Kota) bukan lagi orang-orang miskin yang mati akal pikirannya, melainkan sudah menjadi orang-orang cerdas yang omongannya bermutu. Ini mengganggu orientasi rezim, mengganggu stabilitas orientasi kemapanan berpikir.
Tapi ketika tangan-tangan kekuasaan mencekik leher kebebasan, realitas yang ada di sekitar kita menjadi imajiner dan imajiner kita menjadi realitas. Oleh kerana itu pentas semacam Opera Kecoa dan J.J. Sampah-Sampah Kota, menjadi sebuah realitas kita –suatu kepedihan hidup menjadi kocak. Maka secara tiba-tiba hidup ini menjadi pementasan.
Pemindahan ulang-alik realitas, atau pertukaran realitas, memang menjadi kelihaian Teater Koma. Dan Nano Riantiarno, sang pencipta pertunjukan realitas itu, penuh kasih sayang mempertontonkannya. Lantas, kita bingung mempersoalkan realitas kita yang asli yang mana? –apakah ini tidak kocak? ***
Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku 78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa