Advertisement
Teater keliling melatih eskul SMA di Jakarta dan setiap tahun pentas. Foto tahun 1999 (dok. Rudolf Puspa/Teater Keliling) |
Di Jakarta Teater keliling tanggal 13 Pebruari 1974 di bidani oleh Dery Syrna, Buyung, Paul Pangemanan, Rudolf Puspa yang didukung sepenuhnya oleh Jajang C Noer, Saraswaty Sunindyo, Willem Patirajawane, RW Mulyadi, Syaeful Anwar, Ahmad Hidayat.
Awalnya Rudolf Puspa membaca sejarah teater Indonesia yang ditulis Boen Oemarjati terkesan kepada sebuah grup sandiwara Dardanella. Sebuah kelompok sandiwara yang didirikan di Sidoarjo, Jawa Timur pada tanggal 21 Juni tahun 1926. Didirikan oleh Willy Klimanoff, pendatang berdarah Rusia yang lahir di Penang, Malaysia. Selanjutnya Willy berganti nama, lebih dikenal dengan nama A. Piedro. Kelompok sandiwara Dardanella ini mungkin adalah rombongan kelompok kesenian pertama di Indonesia yang memiliki reputasi internasional. Terlihat dari riwayat pertunjukannya yang menjelajah hingga empat benua,mulai dari Singapura, Rangoon, Madras, Calcuta, NewDelhi, Bombay, Baghdad, Basra, Kairo, Roma, Muenchen, Warsawa, Amsterdam, hingga kota-kota di Amerika. Dardanella dianggap sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan opera, seperti: membuat pembagian episode yang lebih ringkas, menghapuskan adegan perkenalan para tokoh sebelum bermain, menghilangkan selingan nyanyian atau tarian di tengah adegan.
Dardanella mengetengahkan seorang bintang yang sedang menanjak namanya yaitu Tan Tjeng Bok, yang khusus memerankan tokoh pahlawan yang pandai memainkan pedang. Dalam perkembangan selanjutnya, bintang-bintang seperti Devi Dja (lebih dikenal dengan Miss Dja) dan Astaman bergabung ke Dardanella. Menyusul pula Andjar Asmara dan Njoo Cheong Seng bergabung sebagai penulis naskah. Kedua penulis naskah itu berani menyajikan cerita-cerita yang agak "berat" dan "problematik" karena mereka menyadari bahwa penonton rombongan sandiwara itu ada yang dari golongan terpelajar. Meski demikian, Dardanella tidak melupakan motto yang dipakai dalam pertunjukannya, yaitu "memberi tontonan yang memuaskan publik".
Menjelang dan saat-saat Sumpah Pemuda digelar pada Oktober tahun 1928, rombongan sandiwara Dardanella sedang sibuk-sibuknya pentas keliling kota-kota di Nusantara. Sebuah kerja artistik yang tak banyak diketahui, juga bermuatan dan menyebarkan semangat kemerdekaan, bahkan mempraktikkan gagasan tentang Tanah Air, bangsa, dan bahasa yang satu: Indonesia.
Jika di zaman perang merebut kemerdekaan saja ada kelompok sandiwara yang mampu pentas keliling bukan hanya di Nusantara namun merambah ke mancanegara dan membawa semangat menjadi bangsa Indonesia yang merdeka; maka gagasan utama kelahiran teater keliling lebih kurang sangat dekat dengan Dardanella. Jika Dardanella mampu from Sidoarjo to the world maka Teater keliling harus bisa from Jakarta to the world. Problem politik yang dirasakan Dardanella hampir sama dengan awal bernafasnya teater keliling 1974-1998. Singkat kata seperti apa yang pernah dipidatokan Bung Karno kira2 begini: “Musuh kami lebih mudah yakni penjajah dari luar. Tapi kalian akan lebih sulit karena dari dalam negeri sendiri”. Maka bisa dirasakan semangat kemerdekaan yang sama dalam arti merdeka dari penjajahan apapun bentuk dan darimana datangnya.
1979, pertama kali diterima pentas di teater tertutup TIM (dok. Rudolf Puspa/Teater Keliling) |
Citra memuaskan publik yang dalam bahasa Teater keliling disebut “menyenangkan” bukan hanya publik namun diawali oleh pemain teater keliling . Dalam kehidupan sehari2nya teater keliling selalu memompa diri mengenal dan menjalankan serta menyentuhkan ke publik “semangat kemerdekaan” dalam arti membangun jati diri bangsa yakni cinta tanah cinta air jadilah cinta tanah air. Semboyan ini menjadi landasan kegiatan teater keliling sehingga bukan hanya bagaimana menyiapkan anggota namun juga penonton untuk berada dalam satu ruang bersama. Penonton adalah bagian yang sama utamanya dengan pemain. Terjadinya karya teater adalah cerita, pemain dan penonton. Maka sikap berbagi dan peduli adalah desah nafas teater keliling.
Dery Syrna memimpin teater keliling 1974-2013 berada dalam kisaran perjuangan menjadikan yang tidak ada menjadi ada. Sebuah “kegilaan” kerja yang sulit karena masih belum bisa diterima di khalayak pebisnis dengan alasan yang bisa dipahami bahwa mereka belum melihat keuntungan finansial apa yang bisa didapatkan. Ditambah lagi suasana perpolitikkan penguasa yang tidak bersahabat. Kecurigaan bahwa teater adalah sebuah kelompok yang melawan pemerintah resmi dengan pentas2 yang membakar rakyat untuk berontak. Teater keliling mengalami dan merasakan bagaimana selama keliling selalu diikuti oleh intel2 yang sering akhirnya kami kenal dan ngobrol namun keesokannya sudah ganti petugasnya. Bahkan ketika di Rumania salah seorang pejabat bertanya “bagaimana sampai bisa dapat ijin untuk ikut festival teater di Rumania?
Dery mengendalikan teater keliling selama 44 tahun dimana yang 24 tahun berada di semak belukar yang penuh duri sehingga bukan hanya mencari dana yang sulit namun mendapatkan kepercayaan bahwa apa yang dilakukan adalah untuk turut hadir membangun karakter generasi muda menjadi putra putri bangsa yang punya daya sadar budaya dan sejarah bangsa. Namun ternyata justru mengenal sejarah bangsa itulah yang sering terasa sulit untuk disampaikan. Padahal kami mencatat setiap menyelipkan kalimat atau kata yang merupakan semangat sadar sejarah justru mendapat aplaus sangat meriah. Walaupun disusun sedemikian rupa dalam tata bahasa Indonesia yang santun indah.
Selama 44 tahun mau tidak mau harus memilih mengikuti system yang sedang berlaku yakni top down untuk tidak mengatakan otoriter. Semua aturan diikuti karena kami memilih untuk tidak melakukan cara berkarya yang “bergerilya”; apalagi keliling membawa rombongan tentu banyak aturan2nya. Rekomendasi dari pusat diperlukan sehingga Dery harus melakukan pendekatan kepada berbagai kementerian untuk mendapatkan secarik rekomendasi berupa dukungan sehingga memudahkan mendapat izin pementasan di daerah2. Di daerah tentu juga memerlukan rekomendasi pemerintah daerah yang berjenjang mulai gubernur ke bupati/walikota terus ke camat, lurah. Pangdam ke korem kodim sehingga dari segi keamanan terjamin. Demikian pula kepolisian setempat pun ada yang harus mendapat perizinannya. Tentu hal ini memakan waktu dan tenaga karena sangat jarang bisa selesai satu hari.
Setelah semua itu dijalani maka baru teater keliling menjalin hubungan dengan grup2 teater setempat untuk menjadi penyelenggara langsung atau sebagai pelaksana dari Gubernur, bupati atau walikota. Di tahun2 tersebut hampir rata2 grup2 di daerah sedang telungkup cukup lama. Hidup segan matipun tak mau namun sulit untuk bernafas. Begitu gembira ketika kami datang dan membangunkannya. Bahkan banyak anggota mereka yang selanjutnya ikut bergabung dan keliling bersama kami. Kami syaratkan agar selama 2-3 tahun berkeliling kemudian kembali ke daerahnya dan menghidupkan grupnya. Namun ada juga yang terus menetap di Jakarta karena merasa tak mampu bergerak di daerahnya.
Begitu keras dan tajamnya batu2 yang harus dilewati namun sering juga bukan mendapat acungan jempol namun ketika kembali ke ibukota justru nyinyiran negatif banyak muncul. Dikatakan teater plat merah karena kerja dengan kantor2 pemerintah. Dibilang melacur karena pentas bawa2 spanduk dan poster perusahaan sehingga tidak murni berteater. Dikatakan bukan teater remaja karena belum pernah ikut festival teater remaja; sementara juga bukan teater senior karena belum lulus tiga kali festival teater remaja. Ketika kami berhasil membeli mobil VW Combi bekas dikatakan teater borjuis. Dikatakan menggampangkan seni teater karena dalam latihan sutradara banyak bercandanya, tidak serius. Merekapun tidak mau nonton karena pasti hasilnya buruk. Sungguh nyinyiran seperti ini tentu sangat menyakitkan pada awalnya, namun lama-lama kami bersyukur bahwa minimal eksistensi teater keliling diakui ada dan sedang meng ada.
Teater keliling yang rasanya merupakan titisan sandiwara Dardanella telah ada dan kini dengan terjadinya regenerasi dadakan terus bergerak semakin cepat. Kami katakan mendadak karena memang sejak awal tidak pernah mempersiapkan adanya regenerasi melihat pengalaman yang terjadi grup teater yang pendirinya wafat maka teaternya pun turut serta. Namun di tahun 2013 tiba-tiba Dolfry Inda Suri yang telah menyelesaikan kuliah di FISIP UNPAD jurusan hubungan internasional datang dan menyatakan penyesalannya ketika SMA sangat tidak suka mata pelajaran sejarah. Ia menyadari bahwa keruwetan bangsa ini terjadi karena tidak sadar sejarah bangsa sendiri. Maka ia berkeinginan melalui teater keliling membuat pementasan dengan cerita sejarah.
Mulai tahun 1990, Pusat Bahasa mengirim teater Keliling memberi lokakarya teater dan sastra ke seluruh Indonesia (dok. Rudolf Puspa/Teater Keliling) |
Kami memulai bersama menulis skrip “Jas Merah” dan pentas di Jakarta serta beberapa kota di Jawa dan Sumatera maka semakin terasa keyakinan bahwa pilihan ini tidak salah. Setelah menjadi pimpro akhirnya Dolfry Pun mendirikan Yayasan teater keliling dan ia menjadi ketua umumnya. Bersama teman2 teater keliling dari kalangan milenial ia bergerak menjadi lokomotif team produksi selanjutnya. Tentu saja Derry tidak bisa lepas tangan karena bagaimanapun pikirannya masih diperlukan karena seorang presiden direktur atau pemimpin usaha atau general manager ternyata selain ilmu juga dibutuhkan bakat khusus yang tak ada sekolahnya.
Generasi kedua yang meluncur cepat berkiprah dengan memulai pentas drama musikal. Yang pertama dibuat adalah karya Prof DR Wardiman Djojonegoro berjudul “Takdir cinta pangeran Diponegoro”. Peter Brian Ramsey Carey sejarawan dari Inggris yang 25 tahun meneliti sejarah Diponegoro membantu dengan memberikan hasil penelitiannya. Awal dari drama musikal yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta ini membuka mata hati segenap pemain dan tim artistik serta produksi menjadi semakin tertarik menggali tokoh2 sejarah bangsa yang terpendam. Nilai2 filosofi kesejarahan seorang tokoh dalam perjuangannya melawan penjajah ataupun cerita2 rakyat seperti Keong Mas, Putri Mandalika, Calonarang, Rahwana dapat ditemukan yang kemudian ditarik ke pemikiran modern sehingga menjadi dekat dengan penonton muda yang mulai menyenangi nonton teater.
1980, Teater Keliling pentas untuk karyawan Istana Negara tiap hari Jumat (dok. Rudolf Puspa/Teater Keliling) |
Kini dalam memperingati 49 tahun teater keliling, telah mempersiapkan pentas ulang musikal The Great Rahwana. Sebenarnya sudah seharusnya pentas ulang dua tahun lalu namun pandemik datang dan harus berhenti walau sudah banyak yang beli tiket. Bersyukur bersedia menunggu waktu ulang pentas tiba. Pementasan akan dilakukan 4 Maret 2023 di teater besar Taman Ismail Marzuki pukul 14.00 dan 20.00 WIB. Untuk memesan tempat duduk sudah bisa dilakukan dan silahkan buka Instagram teaterkelilingind.
Teater Keliling Mementaskan Sang Saka pada tahun 2018 (dok. Rudolf Puspa/Teater Keliling) |
Demikianlah sepenggal cerita perjalanan teater keliling 49 tahun yang tentu penggalan2 lain masih akan kami kabarkan. Sangat banyak cerita yang menarik untuk kita simak bersama sehingga semakin yakin bahwa teater Indonesia modern sudah ada dan sedang bergerak dalam suasana kehidupan bangsa yang semakin merdeka untuk berkarya.
Salam jabat merdeka berkarya.
Jakarta 10 Februari 2023.
Rudolf Puspa
Sutradara teater keliling.
Email: pusparudolf@gmail.com