Apa yang Dimaksud Karl Marx Agama adalah Candu? -->
close
Adhyra Irianto
20 February 2023, 2/20/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-02-20T01:00:00Z
ArtikelNarasiOpini

Apa yang Dimaksud Karl Marx Agama adalah Candu?

Advertisement
Karya Lorenzo Bernini berjudul Ectasy of Saint Teresa
Karya Lorenzo Bernini berjudul Ectasy of Saint Teresa yang berada di santa Maria della Vittoria di Roma
(Sumber: Wikipedia)

Pojok Seni - Dalam karya terkenal Karl Marx berjudul A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right, Marx menulis Die Religion... ist das Opium des Volkes atau artinya Agama (...) adalah opium/candu bagi masyarakat.


Sekarang, apa titik-titik (...) tersebut? Ketika diambil kalimat aslinya, maknanya cukup jauh berbeda dari apa kutipan pendek tersebut. 


"Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.


Teks asli yang memuat kutipan Agama adalah Candu
Teks asli karya Karl Marx yang memuat kutipan Agama adalah Candu


Sebenarnya, menilik dari teks yang lebih panjangnya, Karl Marx sebenarnya bukan berbicara tentang atheisme. Karl Marx menulis teks tersebut di dalam dua kondisi; 


Pertama, masyarakat Eropa sedang diserbu habis-habis dengan industrilisasi dan kapitalisme. Untuk mengurangi rasa sakit dan depresi atas penderitaan hidup, maka mereka membutuhkan agama. Menurut Karl Marx, agama dalam posisi ini mirip seperti penggunaan opium untuk meredakan luka, cedera, atau menderita sakit yang perlu dioperasi. Opium ini yang membuat si korban bisa melupakan rasa sakitnya dan merasakan secercah harapan. Agama memberikan alasan bagi orang-orang yang tertekan (misalnya orang miskin) untuk bisa dengan pasrah dan berterima pada keadaan hidupnya.


Hal ini yang kemudian dikritisi oleh Nietzsche, Camus, dan filsuf di era berikutnya. Camus misalnya, menganggap menggunakan "candu" agama untuk lari dari kenyataan hidup adalah bunuh diri secara filosofis.


Kedua, Karl Marx tidak menentang agama atau malah anti agama. Karl Marx justru sering mengkritisi penyalahgunaan agama oleh gereja Eropa abad ke-19 yang "berkomplot" dengan pemegang kekuasaan di era tersebut untuk kepentingan pribadi. Agama, menurut Karl Marx, mesti dijelaskan secara transparan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, tidak serta merta hanya bicara dosa-pahala, surga-neraka, tanpa mempertimbangkan pemikiran baru, penemuan baru, dan keadaan terkini.


Justru pemikiran Lenin dalam Socialism and Religion yang membuat teks "Agama adalah candu" menjadi kentara. Lenin tentunya punya maksud sendiri dengan memotong kutipan Karl Marx tersebut.


Tapi, kenapa agama bisa menjadi seperti "opium" atau katakanlah obat bius bagi keadaan masyarakat hari ini yang sedang "cedera" karena kesulitan hidup, bencana alam, rutinitas yang membosankan, dan lain-lain?


Sejumlah Penelitian tentang Aktivitas Relijius


Untuk menjelaskan hal tersebut, menarik untuk melihat hasil penelitian Andrew Newberg, seorang dokter di Thomson Jefferson University Hospital sekaligus direktur riset Marcus Institute of Integrative Health.


Andrew Newberg melakukan scanning pada otak seorang sister Fransiskan yang menghabiskan banyak waktunya untuk berdoa di biara. Setelah berdoa, terlihat ada banyak bagian yang teraktivasi di otak biarawati tersebut. Utamanya, di bagian perhatian, konsentrasi, dan bahasa. Penurunan justru terjadi pada bagian otak yang fokus pada orientasi (kesadaran pada ruang & waktu). Namun demikian, bisa dikatakan bahwa sebagian besar fungsi otak akan meningkat dan aktif pasca berdoa atau meditasi. Hal yang sama biasa ditemukan seperti ketika otak manusia berinteraksi dengan musik, seperti musik klasik misalnya.




Berikutnya, ada penelitian yang dilakukan oleh Jordan H Grafman, seorang ahli psikologi syaraf, Profesor Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di Fakultas Kedokteran Feinberg di Universitas Northwestern, dan Direktur Penelitian Cedera Otak di Shirley Ryan AbilityLab. 


Hasil penelitian dari Jordan Grafman dan kawan-kawan, menunjukkan beberapa bagian otak meningkat aktivitasnya pasca berdoa atau melakukan aktivitas relijius. Beberapa bagian seperti bagian kontrol kognisi, pemrosesan makna (semantik) bahasa, motivasi, intergrasi multi sensor, deteksi konflik dan teori of mind. Bagian theory of mind menjadikan manusia lebih berempati dan mencoba memahami orang lain. Hal ini sama dengan hasil dari proses komunikasi interpersonal yang lebih dalam. Sebab, proses "berdoa" memang menjadi sebuah proses bagi seseorang untuk berbicara dengan "sesuatu" (katakanlah Tuhan) yang diabstraksikan oleh pikirannya.




Hal itu sama seperti ketika Anda sedang mencurahkan perasaan, menceritakan masalah Anda pada seseorang yang ingin mendengarkan, katakanlah sedang curhat semua masalah dan kebimbangan yang ada di diri Anda pada seseorang yang Anda percaya. Maka, hal itu akan menyebabkan perasaan sakit yang diterima seseorang secara psikis akan terasa berkurang. Hal ini sama juga dengan hasil dari ketika otak mendapatkan kenikmatan dari minum kopi, makan cokelat, hingga berhubungan intim.


Bisa kita simpulkan bahwa apa yang terdampak pada otak manusia pasca berinteraksi atau melakukan hal-hal relijius? Yah, berbagai bagian otaknya teraktivasi, dan merasakan ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Hal ini sama dengan perasaan yang didapatkan ketika mendengarkan musik, menikmati pemandangan alam, dan sebagainya. 


Karena itu, sepulang dari mendengarkan ceramah, atau mengikuti pengajian, atau dari gereja, dari wihara, dari pura, atau dari melakukan sejumlah kegiatan relijius, maka otak manusia sedang berbahagia. Otak memproses hal-hal yang membahagiakan tersebut sebagai "hadiah", dan menjadikan Anda merasa damai dan bahagia. Namun, tentunya untuk mendapatkan hal yang serupa, Anda harus tetap mengulangi melakukan kegiatan relijius tersebut, bahkan sampai ke level "ekstase". Istilah "ectasy" bahkan awalnya digunakan untuk pengistilahan pengalaman relijius yang menghilangkan kesadaran, dan masuk ke alam bawah sadar. Hal itu yang kemudian diserap ke bahasa Inggris, juga bahasa Indonesia menjadi ectasy (ekstasi) yang merupakan obat penenang.


Agama akan tetap menjadi candu belaka, bila tidak "digunakan" untuk membebaskan manusia dari penindasan. Agama juga hanya akan menjadi candu, bila logika telah ditiadakan dari agama, dan hanya berwujud kepatuhan, tanpa pertanyaan, dan tanpa dialektika. Hal tersebut akan menjadikan orang-orang mencoba berlari ke agnostik, karena bukan "Tuhan" yang sedang dikritisinya, melainkan sistem agama tersebut.


Sumber: 


  1. SPECT Images — Andrew Newberg
  2. Jurnal: The Neural Basis of Religious Cognition - Jordan Grafman, Irene Cristofori, Wanting Zhong, Joseph Bulbulia, 2020
  3. Jurnal: Effects of oxytocin administration on spirituality and emotional responses to meditation
  4. Jawaban Himawan Pridityo untuk Apa Maksud Perkataan Karl Marx "Agama adalah Candu Masyarakat"? di Quora


Ads