Advertisement
Pojok Seni - Di sebuah kelas menulis beberapa waktu lalu, saya cukup tergelitik dengan pertanyaan salah satu peserta belajar. Ia bertanya, apakah untuk membuat puisi yang bagus harus menggunakan diksi yang jarang digunakan oleh orang lain? Khususnya dalam bahasa sehari-hari?
Saya langsung menjawab dengan potongan puisi karya Sapardi Djoko Damono (SDD) berjudul Aku Ingin.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
........
Sekarang, coba lihat deretan kata-kata yang digunakan dalam puisi SDD tersebut, apakah kata-kata yang digunakan merupakan kata-kata yang tidak pernah digunakan oleh orang lain di sehari-hari?
Aku, ingin, mencintai, dengan, sederhana, kata, yang, tak, sempat, diucapkan, kayu, kepada, api, menjadikannya, abu.
Jawabannya, kata-kata tersebut adalah kata-kata yang biasa digunakan sehari-hari. Lantas, bagaimana menjadikan kata-kata sehari-hari bisa menjadi puisi yang indah?
Jawabannya adalah, gaya bahasa (stilistik) yang menjadikan bahasa puisi berbeda dengan bahasa baku (yang diatur dalam PUEBI) misalnya. Karena, ada nilai artistik yang dibawa dalam satu kalimat atau larik-larik puisi. Sering kita menemukan "penyimpangan" bahasa yang ditujukan untuk efek tertentu, secara artistik. Ada juga licentia poetika yang masih diperdebatkan hingga hari ini yang menjadi landasan "penyimpangan" tersebut.
Intinya adalah, bukan "kata-kata" yang paling penting dan menjadi kekuatan sebuah puisi. Tapi, justru di gaya bahasa (stilistik). Kemampuan meramu kata-kata menjadi sebuah kalimat puisi disebut sebagai "kepengrajinan penyair".
Kau perlahan menjadi api, yang membakar dalam diam.
Deretan kata-kata di atas merupakan kata-kata biasa. Penggunaan majas tertentu demi mendapatkan efek artistik yang diinginkan penyair menjadikan kalimatnya bukan "kalimat biasa", melainkan "kalimat yang telah distilistisasi".
Jadi sekali lagi, bukan kata-kata yang menjadi kekuatan utama pada puisi. Tapi, kemampuan meramu kata-kata tersebut. Itu kuncinya.
Lihat potongan puisi WS Rendra berjudul Temperamen ini:
....
Asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
ia mengikuti hidup manusia
dan kalau hidup sendiri telah gugur
gugur pula ia bersama sama.
....
Kata-kata biasa menjadi sebuah "kata yang tidak biasa" setelah diramu oleh tangan penyair. Kemampuan penyair mengaransement satu kalimat tentunya jauh lebih menentukan, ketimbang "hanya" pilihan diksi.
Bagaimana dengan kata-kata yang katakanlah jarang digunakan? Bila digunakan dalam bentuk kalimat biasa (konvensional), tentu juga tetap tidak menjadikan sebuah karya tulis menjadi puisi.
"Buku ini mengejawantahkan argumentasi yang selama ini terkungkung di kepala kaum agnostik".
Coba lihat potongan kalimat di atas. Bukankah diksi yang digunakan merupakan kata-kata yang "jarang digunakan"? Apakah ia menjadi puisi yang indah?
Pemilihan diksi tentunya akan tetap memperhatikan chronotope. Chronotope adalah alur narasi ruang dan waktu. Selain itu, pemilihan diksi juga akan memperhatikan sejumlah hal, seperti ketepatan, kepatutan, penyampaian pesan ke pemirsanya, atau ke penghayat secara estetik. Estetik yang dimaksud juga sekaligus kedua hal, baik estetika poetika, maupun estetika makna.
Dengan kata lain, bukan berarti diksi tidak penting. Diksi juga penting, namun kemampuan penyair mengaransemen puisi tersebut menjadi sebuah karya yang memukau juga menjadi poin paling penting.