Advertisement
Wayang Potehi (Sumber foto: Indonesiakaya.com) |
Pojok Seni - Potehi berasal dari kata "pou te hi" (布袋戲) dalam bahasa Tiongkok yang berarti wayang kantong kain, alias wayang-wayang yang terbuat dari bahan kantong kain. Hal itu menunjukkan asal-usulnya, bahwa Potehi berasal dari Tiongkok dan berbentuk kantong kain. Lebih tepatnya, berasal dari daerah Fujian, Tiongkok Selatan.
Sebagai "kantong kain", maka cara memainkan wayang boneka ini adalah menggunakan kelima jari. Dua jari untuk memainkan tangan (ibu jari dan kelingking), dan tiga jari untuk menggerakkan kepala. Kesenian ini pertama kali diperkenalkan pada publik di Tiongkok pada abad ke-9, yang berarti masa pemerintahan Dinasti Tang. Sumber lain menyebutkan bahwa kesenian ini sudah muncul di masa Dinasti Jin atau sekitar tahun 265-420 Masehi.
Diciptakan Oleh Lima Narapidana Vonis Mati
Sumber yang paling populer, diceritakan ada lima orang terpidana mati yang dikurung dan menunggu waktu eksekusinya. Kesedihan menunggu waktu dieksekusi mati, diisi oleh lima orang ini untuk menjahit boneka dari potongan kain, lalu memainkannya dengan iringan musik seadanya yang mereka temukan di ruang tahanan. Dua orang di antaranya memainkan wayang, sebagai dalang dan asisten dalang, sedangkan tiga lainnya memainkan musik. Jadilah pertunjukan tersebut dipertunjukkan di hadapan sipir, tahanan, dan narapidana dalam penjara.
Ternyata, pertunjukan tersebut sangat menghibur. Sampai raja saat itu penasaran dan meminta kelima orang terpidana mati tersebut mementaskannya di istana. Tak disangka, raja sangat terhibur dengan pertunjukan tersebut, lalu membebaskan kelima orang tersebut dari hukuman mati, asalkan terus memainkan teater boneka unik tersebut.
Pertunjukan tersebut menyebar ke mana-mana, dan terus lahir seniman yang baru. Sampai akhirnya, abad ke-16 sejumlah imigran asal Tiongkok ke pulau Jawa dan menyebarkan pertunjukan wayang potehi.
Awalnya, kelima orang terpidana yang menciptakan wayang potehi ini hanya untuk menghibur, mulai dari rekan-rekan, sipir, sampai menghibur raja. Kemudian, sebagai rasa terima kasih pada raja, juga kepada dewa karena mereka telah diselamatkan dari hukuman mati, maka wayang potehi berikutnya telah menjadi sarana yang memiliki unsur ritual di dalamnya.
Ketika dibawa ke pulau Jawa, wayang potehi sudah memiliki fungsi ritual. Karena itu, pertunjukan ini menjadi bagian dari ibadah, dan dipertunjukkan di sekitaran kelenteng. Kisah-kisah yang dibawakan pun merupakan lakon legenda atau mitologi Tiongkok. Beberapa judul yang biasa dibawakan antara lain; Sie Jin Kwie, Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, dan Poe Sie Giok (bila dipentaskan di kelenteng), dan cerita khas (mitologi) Tiongkok yang populer di masyarakat umum akan dipentaskan di luar kelenteng; Kera Sakti (Sun Go Kong), Sam Pek Eng Tay, hingga Si Jin Kui.
Alat musik yang digunakan mulai dari rebab tiongkok (hian na), suling tiongkok (bien siauw), gembreng besar (toa loo), dan alat lainnya. Seperti awal ketika diciptakan, pemain alat musik tersebut hingga saat ini tetap tiga orang, dengan satu orang memainkan lebih dari satu alat musik.
Ciri khas lainnya, pertunjukan tersebut akan dipentaskan di sebuah "miniatur panggung" yang disebut pay low dengan warna merah menyala. Biasanya, satu cerita akan menampilkan sekitar 20-an tokoh. Namun, satu pertunjukan hanya akan dipentaskan selama maksimal 2 jam. Bila ceritanya belum selesai, atau masih terlalu panjang, maka ceritanya akan dilanjutkan besoknya seperti serial. Maka, ada satu pertunjukan yang bahkan digelar selama 3 bulan penuh untuk bisa diselesaikan.
Era Modern Wayang Potehi: Pasca Pelarangan Orba
Pertunjukan wayang potehi (sumber foto: Indonesiakaya.com) |
Wayang Potehi mulai turun kepopulerannya pasca terjadi pelarangan terhadap budaya Tionghoa yang dilakukan rezim Orba. Padahal, sebelumnya sampai era 1950-an, pertunjukan ini sangat populer di era masyarakat Indonesia. Sampai tahun 1990-an, wayang Potehi nyaris tak terdengar di Indonesia, kecuali hanya dipentaskan di kelenteng.
Era reformasi membuka peluang hidup kembalinya wayang potehi. Tidak hanya itu, akulturasi dengan budaya Jawa juga terjadi. Mulai muncul seniman wayang potehi dari etnis Jawa, yang membawakan ceritanya tidak dalam bahasa Hokkien, melainkan bahasa Jawa hingga bahasa Indonesia. Alat-alat musik juga sudah mulai berkembang dengan masuknya alat musik Jawa, dan tembang-tembang Jawa di ceritanya.
Tahun baru Imlek biasanya akan menjadi penanda di mana pertunjukan Wayang Potehi akan dipentaskan di tempat terbuka, mulai dari kelenteng, sampai pusat keramaian dan pusat perbelanjaan. Tentunya, sangat menarik untuk menyimak pertunjukan Wayang Potehi, apalagi sudah terakulturasi dengan budaya setempat.
Rujukan dan bahan bacaan:
- Mastuti, Dwi Woro Retno. Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. 2014.
- Kuardhani, H, Bakdi S, Lono S, Timbul H. Legenda Penciptaan Teater Boneka Tiongkok dan Persebarannya di Nusantara. Published in Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol. 12, no. 1. Yogyakarta: ISI Yogyakarta. 2011.
Sumber internet:
- https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/wayang-potehi-persenyawaan-budaya-tionghoa-dan-nusantara/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_Potehi