Advertisement
Ratna Indraswari Ibrahim: Inspirasi dari Atas Kursi Roda |
Oleh: Zackir L Makmur*
Tuhan menambahkan karunia besar untuk Ratna Indraswari Ibrahim, terhadap dua hal, yakni kekayaan imaji dan energi keberanian.
Kekayaan imaji Ratna demikian sublimatif –karenanya indah-- dan di luar perkiraan banyak orang karena tersanding dalam karya-karya sastranya yang bermutu. Lantaran bermutu pula hampir setiap tahun cerita pendek (cerpen) karyanya dari kurun 1992-2001 selalu dibukukan Kompas sebagai buku kumpulan cerpen pilihan.
Tahun 2004, ia memperoleh penghargaan dari Kompas sebagai penulis cerpen yang dianggap setia dalam berkarya. Sedangkan buku kumpulan cerpennya berjudul Namanya Massa mendapat penghargaan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional (2004).
Kekayaan imaji Ratna dalam karya-karya sastranya demikian sublimatif dan indah bersemayam pula pada cerpen Klown dengan Lelaki Berkaki Satu, teruntai begini: “Sesungguhnya air mata itu seperti rangkaian bunga melati yang harum dan jatuh satu per satu!”
Hal demikian sebagai imaji yang begitu sublimatif terhadap sikap hidup yang kukuh, tabah, dan ikhlas. Dengan mentalitas dan spiritualitas ini menjadi landasan menghadapi problema kehidupan. Lewat tokoh Pak Klown, imaji ini memberitahukan bahwa untuk menangis, ya, menangislah karena air mata adalah doa di saat tak mampu lagi bicara. Dan sebagaimana doa, “air mata yang harum” datang dari hati.
Secara harfiah epistemologis, air mata adalah kelenjar yang diproduksi oleh proses lakrimasi, dan kata lakrimasi ini dapat digunakan untuk merujuk pada menangis. Tetapi semiotika “air mata yang harum” adalah simbol menangis bahagia, bukan tangis nestapa, karena di dalam “air mata bahagia” ada pesan kebahagiaan luar biasa. Kohesi ini yang dibilang oleh seniman Leonardo da Vinci, "Air mata datang dari hati dan bukan dari otak."
Proses faal ini ketika dipahami membutuhkan kepekaan yang halus dan konsisten. Cuma orang yang kepekaannya halus mampu memahami ini, karena ia peka pula terhadap lingkungan sekitar dan berjiwa sosial tinggi.
Ratna boleh jadi berkategori semacam ini, dengan kepekaan halus ia mengolah imaji-imaji sublimatif itu, menjadi inspirasi buat kita. Dan dengan berjiwa sosial tinggi pula ia melindungi dan membela para penyandang difabel.
Apalagi Ratna Indraswari Ibrahim memang penyandang difabel. Betapa ia tahu langsung realitas yang terjadi: penyandang disabilitas didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang cacat dan dianggap tidak normal.
Eksistensi Penyandang Disabilitas
Nyaris menjadi kelaziman bahwa keberadaan penyandang disabilitas melalui konsep biopolitik, oleh sebagian besar masyarakat dipahami berdasarkan perbedaan bentuk dan kapasitas tubuh. Ironis.
Begitu gampang mereka memperlakukan kaum disabilitas adalah manusia tidak berdaya, lemah, dan bego. Stereotype ini makin menguat dan mengerikan ketika penyandang disabilitas itu adalah seorang perempuan.
Betapa kita wajib berta-tanya kok dalam negara yang berfalsafah Pancasila yang doktrin utamanya adalah nilai-nilai kemanusiaan dan beradab, yang bersendikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, justru di sini penyandang disabilitas rentan mengalami tindakan diskriminatif.
Dan parahnya diskriminatif ini merambah dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain dapat ditelisik pada sektor pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, kesehatan, hingga politik. Malah ini dianggap bukan perkara tragedi kebangsaan.
Bersama itu penyandang disabilitas rentan mengalami eksploitasi berbagai bentuk kekerasan, sebagaimana ini banyak diberitakan media massa. Ada begitu banyak kasus dan korban, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang tahun 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas yang dialami oleh 264 anak laki-laki dan 764 anak perempuan. Data yang sama mengungkapkan, jenis kekerasan yang paling tinggi jumlah korbannya adalah kekerasan seksual, yaitu 591 korban.
Ratna Adalah Inspirasi
Ratna Indraswari Ibrahim adalah perempuan cacat, difabel, ada di atas kursi roda. Walau begitu ia mahir memberi imaji-imaji yang penuh renungan dan merangsang pemikiran baru, hingga ini menjadi inspirasi untuk kita.
Lewat sejumlah karyanya, tokoh cerita yang tabah, cekatan dan visioner, adalah imaji-imaji yang diberikan Ratna penuh inspirasi dalam menghadapi problema kehidupan.
Padahal kehidupan ia ada di atas kursi roda. Wanita kelahiran Kota Malang, Jawa Timur, 24 April 1949, yang fisiknya nyaris tidak berfungsi ini punya kesetiaan berkarya, menghasilkan lebih dari 400 karya cerpen dan novel yang sudah banyak diterbitkan menjadi buku.
Sebanyak itu karya-karyanya dihasilkan sejak usia remaja hingga akhir hayatnya, 28 Maret 2011, wafat dalam usia 62. Tetapi secara nilai ia tidak mati, masih hidup dengan esensi spiritualitas dan intelektualitas yang kita sebut: inspirasi.
Dan inspirasi ini mampu menjadi api energi pembakar semangat saat para penyandang difabel dipinggirkan, ataupun didiskriminasikan, guna membuktikan eksistensi sebagai manusia berfaedah. Atau secara holistik, menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan yang disergap problema kehidupan untuk bangkit dan tegar, betapa perempuan difabel itu mampu membuktikan esensi manusia yang utuh. Maka Ratna Indraswari Ibrahim adalah inspirasi yang menakjubkan.
Secara umum pula inspirasi ini menjadi stimulasi mental demi melakukan, atau merasakan sesuatu, khususnya melakukan sesuatu yang kreatif. Inspirasi ini memberi kita pemahaman bahwa keterbatasan fisik bukanlah instrumen utama bagi kemandirian berkarya, ataupun halangan berpartisipasi membangun kebersamaan di tengah masyarakat.
Di sisi lainnya inilah inspirasi yang menakjubkan untuk pihak-pihak yang berkompeten, agar tidak mencap dan memperlakukan orang cacat –apalagi perempuan cacat--- dalam posisi yang tidak penting, terbelakang, dan bodoh.
Ratna Indraswari Ibrahim melihat, bahkan langsung merasakan orang cacat diperlakukan tidak adil, betapa keberaniannya berkobar-kobar menuntut kesetaraan, menuntut keadilan perlakuan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dan ia pun inspirasi menakjubkan yang memberi energi keberanian merubah (atau melawan) pandangan masyarakat yang masih memperlakukan orang cacat –dan perempuan cacat— tidak manusiawi. Tuhan memberikan Ratna kekayaan imajinasi, juga keberanian. Dan anugerah ini ia olah untuk kita, jadi bernama: inspirasi.
Inspirasi Keberanian
Inspirasi yang diberikan Ratna bukan semata keberanian berkarya mengusung tema-tema peka dan sensitif, serta mengkritik hegemoni kebudayaan maskulinitas yang telah tumbuh cukup lama di negeri ini, ataupun ia menginspirasi agar lebih kreatif berkarya dalam keterbatasan fisik, tidak semata itu.
Melainkan memberi inspirasi secara riil: lewat Bakti Nurani ia berani memberikan perlawanan di mana keberadaan perempuan penyandang disabilitas semakin terpinggirkan terutama dalam ranah sosial bermasyarakat.
Penyandang difabel rentan mengalami tindakan diskriminatif dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam sektor pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, kesehatan, bahkan politik –ia bela.
Disabilitas mengalami diskriminasi berganda: diskriminasi simetrikal dan asimetrikal. Dua bentuk diskriminasi ini, menurut analisa Saharudin Daming, aktivitas Hak Asasi Manusia, dalam suatu kesempatan diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, beberapa waktu lampau, menjelaskan bahwa bentuk diskriminasi simetrikal adalah kesulitan kaum disabilitas di Indonesia adalah dunia kerja.
Disabilitas dianggap tidak layak di dunia kerja. Dan bentuk diskriminasi simetris, menurut Saharudin, adalah negara dengan menerbitkan aturan tidak adil. Utamanya soal persyaratan kesehatan fisik saat seleksi sebuah pekerjaan di sektor swasta maupun menjadi abdi negara.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ditegaskan bahwa seseorang tidak boleh dipecat karena kondisi disabilitasnya.
Tetapi amanat undang-undang itu tidak sepenuhnya menyentuh jutaan penyandang difabel –yang jumlahnya berdasarkan data berjalan 2020 dari Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen.
Tambahan lagi ada dua aturan menghalangi para penyandang disabilitas bersaing di dunia kerja. Yakni Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 1977 tentang pemeriksaan kesehatan bagi CPNS dan pejabat negara, serta Peraturan Menteri Kesehatan nomor 143 tahun 1977 tentang tim pemeriksa kesehatan CPNS dan jabatan menteri.
Responsif terhadap sejumlah perkara-perkara yang beresensi itu Ratna wujudkan dengan mendirikan Bakti Nurani. Organisasi penyandang cacat di Kota Malang, Jawa Timur, ini yang pada tahun 1977—2000 ia nakhodai membangun jaringan keluar dengan berbagai organisasi untuk membangun kekuatan sampai luar negeri.
Dan tahun 1993, ia diundang untuk hadir dalam seminar Hak Asasi Manusia di Sydney, Australia, sebagai delegasi dari Indonesia. Dunia pun terbelalak.
Inspirasi-inspirasi dari Ratna itu menguatkan energi keberanian kita, siapa saja, untuk mengubah pandangan masyarakat –bahkan negara—yang keliru memperlakukan penyandang disabilitas.
Dan ini menegaskan bahwa disabilitas bukanlah halangan untuk tidak berkarya, ataupun minder berpartisipasi membangun kebersamaan di tengah masyarakat. Para penyandang disabilitas juga mempunyai potensi besar. Ratna Indraswari Ibrahim telah membuktikan itu. ***
*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku kumpulan cerita pendek Kota Ini (2020)