Membedah Tahapan Noël Carroll Memberi Batasan Seni dan Bukan Seni? -->
close
Adhyra Irianto
24 January 2023, 1/24/2023 04:52:00 PM WIB
Terbaru 2023-01-24T11:03:23Z
EstetikaUlasan

Membedah Tahapan Noël Carroll Memberi Batasan Seni dan Bukan Seni?

Advertisement
apa batasan seni dan bukan seni
"Karya" pisang dilakban bertajuk Comedian karya Maurizo Catelan dianggap sebuah karya seni, jadi apa batasan seni dan bukan seni?

Pojok Seni - Dimulai dari satu pertanyaan yang simpel namun cukup sulit untuk dijawab secara konkrit. Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya batasan antara seni dan bukan seni? Dari pertanyaan tersebut muncullah pertanyaan lain yang lebih menjurus, seperti apa perbedaan tembikar buatan Hans Coper dengan tembikar buatan pabrik? Apa yang membedakan boks buatan Andi Warhol dengan boks buatan mesin? Dan lain-lain.


Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita bisa menyikmak pendapat Noël Carroll, seorang filsuf Amerika yang dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam perkembangan filsafat seni kontemporer. Noël Carroll juga seorang profesor filsafat dari City University of New York (CUNY) Graduate Centre. Salah satu buku pengantar tentang filsafat seni berjudul Philosophy of Art: A Contemporary Introduction (buku ini bisa Anda unduh di Perpustakaan Pojok Seni).


Ada tahapan perkembangan teoritik untuk distingsi antara seni dan bukan seni dipaparkan oleh Carroll. Secara sekilas, sudah dibahas di artikel berjudul Apakah yang Membedakan Seni dan Bukan Seni? dan juga sekilas dibahas di artikel berjudul Seni Membuat Pedang dan Distingsi antara Pandai Besi dan Seniman Pembuat Pedang


Noel Carrol


Teori Representasi


Teori paling pertama yang muncul adalah, seni merupakan representasi dan imitasi. Dengan batasan tersebut, maka bila "sesuatu" bukan sebuah representasi "kehidupan" atau bukan juga sebuah imitasi, maka hal tersebut bukan seni. Konsep dari teori representasi adalah "sesuatu" yang dimaksud merupakan sebuah objek empiris, entah itu manusia, barang, tindakan, peristiwa, dan lain-lain.


Atau, bila disebutkan dengan bahasa matematis:


X = "sesuatu" (objek empiris)


Bila X=imitasi, maka X=seni. Sedangkan bila X≠imitasi, maka X≠seni.


Karya Leonardo Da Vinci, Monalisa adalah suatu representasi dan mungkin imitasi dari seseorang. Akan sulit untuk menyatakan bahwa "sesuatu" ini bukan seni.


Namun, abad ke-19 ke atas, situasi mulai berubah. Ada teknologi kamera, serta muncul banyak "sesuatu" yang tidak menjadi sebuah representasi atau imitasi dari kehidupan. Karya yang termasuk dalam representasi kehidupan cenderung bergaya realis, dan kemunculan seni kontemporer khususnya avant-garde, maka teori ini memunculkan banyak problematika.


Sebagai contoh, lukisan Yves Klein berjudul Blue Monochrome yang menghadirkan "warna biru sebenarnya" dan tidak pernah ada sebelumnya. Juga munculnya teater absurd yang hadir di era 1950-an, berikutnya performance art dan sebagainya. Hal tersebut bukan sebuah representasi dan imitasi kehidupan, melainkan sebuah stilistika. 


Karena itu, menurut Carroll batasan tersebut sudah mulai bias. Dan teori representasi sejak abad ke-19 dianggap sudah tidak relevan lagi. Karena itu muncullah beberapa teori lain yang bisa "digabungkan" menjadi satu "rumpun" yang disebut teori ekspresi.


Teori Ekspresi


Dalam teori ekspresi ini, terbagi menjadi dua premis utama, yakni tujuan pembuatan "sesuatu" tersebut, dan seni mesti "mengekspresikan sesuatu". Pada akhirnya, dua ide tersebut terpisah menjadi teori transmisi dan teori ekspresi.


Teori transmisi menyebutkan bahwa sesuatu termasuk dalam seni, apabila memang diniatkan atau ditujukan menjadi sebuah seni. Dengan kata lain, apabila pengkarya memang menyengajakan diri untuk membuat sesuatu dengan maksud tertentu, dan ditransmisikan ke audience. Masih ada syarat lagi dari teori transmisi ini, yakni ada perasaan estetis yang dirasakan penonton, dan perasaan tersebut sama dengan yang dialami oleh pengkarya. Berikutnya, proses transmisi tersebut menggunakan berbagai media, mulai dari tindakan, kata-kata, suara, bentuk, garis, warna, dan sebagainya.


Hal tersebut memberi batasan seni dengan non seni secara tegas. Misalnya seorang membuat ukiran kayu berbentuk kursi, maka benda yang dibuatnya bukan seni. Karena, tujuan dari pengkarya bukan untuk mengekspresikan sesuatu, dan/atau tidak ada proses transmisi perasaan tersebut (baik sengaja/tidak) ke pemirsanya. Namun, teori ini juga bukan tidak memiliki kendala.


Mulai dari karya-karya Franz Kafka berjudul The Metamorphosis, karya Albert Camus berjudul Le Premier Homme, dan sejumlah judul karya lainnya ternyata tidak dengan sengaja dipublikasi oleh pengkarya. Apakah hal tersebut tidak termasuk karya seni?


Karena itu muncul lagi teori ekspresi, untuk melengkapi teori transmisi. Menurut teori ekspresi, sesuatu bisa menjadi karya seni apabila ia mengekspresikan sesuatu. Hal tersebut tetap berlaku meski pengkarya tidak meniatkan untuk publikasi atau tidak, juga pemirsa merasakan perasaan tersebut atau tidak. 


Hal itu menyebabkan sejumlah karya yang mengekspresikan sesuatu menjadi sebuah karya seni, terlepas pembaca atau pemirsanya merasakan perasaan yang diekspresikan atau tidak.


Masalah kemudian muncul kembali, karena karya seni di abad ke-20 ternyata tidak lagi "mengekspresikan perasaan tertentu". Tapi, justru menawarkan ide dan gagasan. Apakah hal tersebut tidak termasuk seni?


Untuk mengakomodir perkembangan seni kontemporer, muncul lagi teori "Bentuk Bermakna". Teori ini dipaparkan oleh Clive Bell yang sekilas sudah dibahas Pojok Seni dalam artikel berjudul Sifat Apa yang Dikandung Sebuah Objek Hingga Memicu Emosi Estetis?


Intinya, dalam artikel tersebut, Clive Bell menjelaskan sebuah karya seni memiliki bentuk yang bermakna, dan bentuknya mesti "signifikan". Variabel berikutnya adalah, apa batasan signifikan dan tidak signifikan? Ternyata, bentuk signifikan yang dimaksud adalah "bentuk" yang mampu memicu perasaan estetis.  Masalah berikutnya yang hadir adalah, apakah sebuah karya yang bahkan tidak memiliki bentuk sama sekali bisa Anda lihat di video bawah ini, sebuah karya musik berjudul 4'33 karya John Cage.

    

Lagi-lagi teori "bentuk bermakna" atau teori formalisme ini bertemu jalan buntu. Kemudian, muncul rekonstruksi dari formalisme yang kemudian disebut dengan neoformalisme. Bagaimana menjelaskan "isi" dari sebotol air mineral? Tentunya, dengan cara dituangkan. Saat di botol air mineral, "isi" tadi berbentuk botol, ketika dituang ke gelas, maka akan berbentuk gelas. Sedangkan bila dituangkan ke lantai, maka tidak akan ada bentuk apapun lagi. Sekarang, mana yang penting, bentuknya atau air mineral itu sendiri?

Maka dirumuskan seperti ini, suatu karya bisa disebut karya seni bila memiliki bentuk dan makna, dan keduanya (bentuk dan makna) saling berhubungan satu sama lainnya.

Namun, perjalanan teori ini kembali terkendala. Karena di era post-modern, ternyata karya seni datang bukan dengan "makna", tapi justru menawarkan "bentuk-bentuk" baru. Kemudian, teori estetika datang untuk "menyelesaikan masalah tersebut".

Teori Estetika


Secara umum, teori ini menyebutkan bahwa "sesuatu" bisa disebut karya seni, apabila diciptakan dengan kemampuan tertentu yang ditujukan untuk memberikan pengalaman estetis. Maka apapun itu, selama dibuat dengan kemampuan untuk memberikan pengalaman estetis, akan dikategorikan sebagai seni.

Tapi, apakah sebuah karya yang tidak bisa dinikmati oleh orang lain, atau tidak menghadirkan pengalaman estetis tertentu akan "hilang" status "seni"nya? Apalagi, banyak pula muncul karya seni dengan tajuk utama "non-estetik", "anti-estetik", dan sebagainya?

Hasil dari Kegagalan Teori dan Definisi Seni Sebelumnya


Kegagalan definisi-definisi tersebut pada akhirnya membuat definisi seni menjadi benar-benar bias. Bahkan, Morrus Weitz mengatakan bahwa seni merupakan sesuatu yang terus berubah, karena prinsip keterbukaan, dan sifatnya yang ekspansif. Cara untuk mengidentifikasi karya seni berikutnya adalah dengan pendekatan paradigmatik. Bila ada karya seni sebelumnya yang memiliki kemiripan struktur, dan lain-lainnya dengan "sesuatu", maka "sesuatu" tersebut bisa dipostulasikan sebagai sebuah karya seni.

Apakah hal tersebut bisa diterima? Ternyata tidak semua bisa menerima. Terutama ketika karya Maurizio Cattelan membuat sebuah "banyolan" dengan menempelkan pisang dengan lakban di Art Basel Miami Beach pada tahun 2019 lalu. Dan hebatnya, karya berjudul Comedian tersebut dikategorikan sebagai karya seni. 

Jadi pertanyaannya adalah, siapa yang melegitimasi "sesuatu" menjadi karya seni atau bukan? Apa indikatornya?

Bagaimana keheningan dalam 4'33 karya John Cage menjadi sebuah karya seni? Pisang dilakban karya Maurizio Cattelan menjadi karya seni? Dan hebatnya, kejadian lucu seperti Kacamata Tertinggal di Galeri Seni, Justru Dikira karya Seni dan Dikerubungi banyak Orang.

Dan, yang hadir saat ini adalah, "seni menurut saya" yang tentunya sangat subjektif. Maka, Noel Carroll sampai ke kesimpulan bahwaseni merupakan sebuah "ruang bebas yang menggambarkan betapa tidak jelasnya manusia". 

Anda bebas menggunakan teori yang mana saja untuk memasukkan karya Anda sebagai seni atau tidak. Atau, Anda bisa menggunakan suatu lembaga/otoritas yang berwenang, untuk melegitimasi karya Anda termasuk karya seni atau bukan. 

Hingga saat ini, para pakar seni, filsuf, dan analis tentunya akan terus pusing dengan cara mendefinisikan seni. Dan yang terus terjadi adalah, karena begitu bebasnya ekspresi seni, maka hal-hal yang aneh-aneh pun bisa dilegitimasi sebagai sebuah karya seni, sedangkan hal lain yang tidak terlegitimasi, tak mampu menjadi sebuah karya seni.

Ads