Membaca Bus Jalur Wajan Penyok: Kritisi Distribusi Keilmuan, Relasi Kuasa, dan Kekerasan Seksual -->
close
Pojok Seni
02 January 2023, 1/02/2023 04:17:00 AM WIB
Terbaru 2023-01-01T21:25:08Z
ArtikelUlasan

Membaca Bus Jalur Wajan Penyok: Kritisi Distribusi Keilmuan, Relasi Kuasa, dan Kekerasan Seksual

Advertisement
Pertunjukan Bus Jalur Wajan Penyok
Pertunjukan Bus Jalur Wajan Penyok (Sumber: Youtube)

Oleh: Adhyra Irianto

Pojok Seni - Panggung bisa di mana saja, dan tidak ada sepetak tanah pun yang tidak bisa dijadikan panggung. Seperti itu manifesto metateater, yang salah satu perangkatnya adalah "menghancurkan dinding keempat". Dan, yah... bentuk-bentuk post-modern menjanjikan lebih banyak eksperimentasi, dan tontonan yang jauh lebih provokatif, terutama dalam wujud dan simbol. 

Tentu, ada lebih banyak alasan kenapa pilihan eksperimental dilakukan. Mulai dari kejenuhan seniman dan (mungkin) penontonnya, tentang panggung yang statis dan kaku. Maka, tempat-tempat lain bisa dipilih untuk menjadi ruang pentas. Pun, bisa pula pilihan dan strategi dramaturgi lainnya dipilih dengan berbagai alasan lain. Misalnya, agar interaksi ruang dan tubuh lebih terkoneksi secara alami. 

Ketika sahabat saya dari Surabaya, Arung Wardhana Ellhafifie meminta pendapat saya tentang pertunjukan yang disutradarainya berjudul "Bus Jalur Wajan Penyok (Surabaya-Bangkalan)", saya menemukan hal yang unik lewat video yang disiarkan via YouTube tersebut. Sebuah pertunjukan yang digelar (secara daring) di atas bus yang bergerak. Narasi dan gerak, serta semerawut gelantungan pakaian (hingga pakaian dalam) di dalam bus yang sudah disulap menjadi sebuah "panggung" juga wajan penyok yang berserakan di sana-sini. 

Bus tersebut berjalan dari Surabaya hingga Bangkalan (Madura), dan sempat merencanakan untuk berhenti di beberapa titik untuk sekedar interview. Di dalam bus; narasi, gerak, ekspresi, dan semerawutnya gelantungan pakaian dalam berpadu jadi suatu simbol. Ini menjadi intro dari pertunjukan ini, sebelum akhirnya narator membuka diskusi bertema politik identitas dan relasi kuasa bekerja pada semesta penari dan perempuan, melalui institusi di Jawa Timur. Pembicaraan tentang kekerasan seksual, juga kesadaran tentang distribusi dan sirkulasi keilmuan.

"Mau D apa A? Yuk, gerak lagi. Ayo, institusi loh, intitusi loh," teriak narator.

Menariknya lagi, ada interaksi dengan penonton (via Zoom), serta pantulan-pantulan dari Afrizal Malna, Anwari, dan sejumlah seniman lain yang bergabung lewat Zoom. Sangat disayangkan, di saat bersamaan itu, saya sedang memiliki jadwal yang bertabrakan di kampus saya. 

Tidak hanya di bus, tapi pertunjukan ini berlanjut di berbagai tempat di luar bus. Di tengah perjalanan, mereka berhenti di berbagai tempat, dan melanjutkan bentuk-bentuk teatrikal tersebut di tempat umum. Wajan, kaleng kerupuk, kuali, dan benda-benda "penyok" lainnya menjadi handproperty yang digunakan untuk menyimbolkan permasalahan yang mereka angkat tidak pernah bertemu solusi. Semakin keras dibenturkan, hanya menimbulkan penyok di sana-sini.

Dari bus yang berjalan, semuanya sempoyongan, tak mampu berdiri bahkan duduk tanpa guncangan. Seorang perempuan bermain saron, kemudian dihentikan dengan plester di sana-sini, hingga tak mampu lagi bersuara. Sampai di sini, tergambar apa yang ingin disampaikan Arung yang berperan menjadi Wulan Destian Natalia. Ada dominasi secara frontal dari sesuatu yang sangat kuat di luar tubuh, hingga mereka harus "bergerak" tanpa kendali diri sendiri. Ditambah lagi dengan suara saron yang harus terhenti, karena sesuatu dari luar tubuhnya. 

Pertunjukan Bus Jalur Wajan Penyok
Pertunjukan Bus Jalur Wajan Penyok (sumber: YouTube)

Ini cara mereka menyampaikan sesuatu yang sangat gawat. Sejumlah aksi para aktivitis perempuan sudah dilakukan untuk menghentikan dan melawan, namun hanya berakhir pada "penyok" di "wajan" mereka. Kemudian, setelah sejumlah narasi, dan simbol "dihamburkan" seorang biduan muncul dan bernyanyi, sedangkan yang lain sedang asyik bergoyang sepenuh hati. Lebih banyak yang dipaksa bergoyang, sedangkan biduan yang disawer tutup gelas meesti terus bernyanyi di tengah keadaan bus yang terus bergoyang.

Secara umum, ada tiga masalah utama; kekerasan pada perempuan (khususnya penari), penyalahgunaan kekuasaan (khususnya institusi), dan terakhir distribusi keilmuan di institusi.

Diskusi tentang tari, berakhir pada video cuci pakaian dalam. Sulit sekali membedakan mana tari, dan mana gerak biasa. Latihan tari pun membingungkan, dan diskusi berakhir dengan omong kosong antara eksplorasi tari dan gerakan sehari-hari. Ada yang salah dengan distribusi keilmuan di kampus, sedangkan apa yang dibutuhkan baik secara akademik maupun praktik.

Apa yang sedang coba dibongkar dan ingin ditelanjangi lewat hal tersebut? Foucault (1926 - 1984) menyampaikan tentang sebuah konstruksi dari sistem institusi yang memengaruhi distribusi pengetahuan. Kehendak akan dibatasi oleh kekuasaan. Begitu juga diinstitusi, pendidikan seni tari dikonstruksi dengan "teori alternatif", berdasar "pengalaman" instruktur. Karena itu, yang ada hanya gerak-gerik, geal-geol, lenggak-lenggok, yang berarti para penari "bergerak" karena produksi dari sistem institusi. Dan, hal tersebut bisa disebut kegagalan, karena pikiran dan tubuhnya kering. 

Saya sebagai penonton, dengan sengaja membiarkan tulisan ini tidak tersusun secara linear. Loncat dari satu subtema ke subtema lainnya, lalu kembali ke subtema awal. Karena ketiga subtema umum yang saya tangkap dari pertunjukan yang digelar selama 7 jam (di video total 5 jam) ini juga berlompatan dari satu subtema ke subtema lainnya, namun saling berkelindan. Tiga masalah tersebut saling terkait, bahwa kekerasan terhadap penari perempuan kerap dilakukan oleh pemilik kuasa (mungkin pengajar, instruktur, senior, dan sebagainya), namun distribusi keilmuan dilakukan dengan cara yang kurang tepat. Satu premis yang terdiri dari tiga variabel. Kritik terhadap hal tersebut, disampaikan secara lugas lewat narasi, sedangkan simbol-simbol yang hadir di sekitaran narator menjadi penguat. 

Dan akhirnya, satu pertanyaan akhir adalah, apa yang akan dilakukan institusi untuk memperbaiki hal tersebut? Apakah institusi dengan sengaja menjadikan distribusi keilmuan menjadi terhambat, namun di sisi lain membiarkan kekerasan seksual tersebut terjadi?

Video pertunjukan "Bus Jalur Wajan Penyok" bisa Anda saksikan di pranala ini:

Ads