Advertisement
Pentas Aum (karya/sutradara: Putu Wijaya) oleh Teater Mandiri |
Oleh: Simon Karsimin*
Pojok Seni - Rabu, (4/1/2023) malam, dibawah guyuran hujan sembari kuliah secara online saya menuju Teater Kecil Taman Ismail Marzuki untuk menyaksikan pertunjukan Teater Mandiri lewat lakon AUM karya dan sutradara Putu Wijaya.
Absurd, sebuah kata yang terucap. Absurditas ada dalam pertunjukan ini, penonton yang hadir menikmati adegan-adegan yang memukau dan komikal yang menjadi ciri khas Teater Mandiri. Penonton di teror selama 90 menit dengan pikiran-pikiran ganjil, ruwet terhadap masalah-masalah sosial.
Dikisahkan sekelompok warga dari daerah terpencil yang menanyakan kepada Bupati sesuatu hal yang mereka tidak tahu apa yang harus mereka samapaikan karena kebingungan mereka terhadap apa yang mereka alami. Singkat cerita, rombongan yang tidak paham dengan yang mereka hadapi itu akhirnya bertemu Pak Bupati saat sedang lari pagi. Dialog dan adegan-adegan yang lucu dan menggelitik pun bergulir. Tapi, pertanyaan tak kunjung terlontarkan, Pak Bupati yang mencoba mendengar aspirasi pun kebingungan, hingga akhirnya terjadilah bunuh diri massal.
Putu Wijaya, sebagai penulis dan sutradara mengungkapkan bahwa pementasan lakon AUM merupakan sebuah bentuk kritiknya terhadap ketidaksiapan masyarakat dan kurang meratanya infrakstruktur kemajuan teknologi saat ini.
"Kita digempur oleh informasi yang bermacam-macam dari teknologi yang masuk, orang yang tidak siap jiwanya bisa rusak, dan harus ditemani. Ini bukan hanya kebebasan memberikan informasi saja, tapi juga kebebasan untuk menolak informasi yang tidak baik," papar Putu Wijaya kepada Media.
Lakon AUM terinspirasi dari kasus yang terjadi di Guyana, Amerika Selatan pada 1978 saat para pengikut sekte People's Temple Stones melakukan bunuh diri massal di bawah arahan pemimpin mereka, Jim Jones. Total, terdapat 900-an orang meninggal akibat kejadian itu.
Ada satu fenomena yang boleh saya katakan dalam pertunjukan AUM oleh Teater Mandiri yaitu pesan Kekerasan Simbolik. Kekerasan Simbolik adalah tindakan yang memanfaatkan berbagai sarana (Media) untuk menyakiti hati dan merugikan kepentingan orang lain , memang kekerasan ini tidak langsung dan disadari oleh korban namun sangat menyakiti hati dan berlangsung sangat lama.
Menurut Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik adalah kekuasaan yang dapat di kendali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan.
Derasnya kemajuan teknologi dapat merentang dalam kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, budaya, agama atau lainnya) yang memiliki kekerasan atau kesewenang-wenangan.
Jika kita menggali teori Pierre Bourdieu , dalam kehidupan sehari-hari, media sosial terbuka lebar untuk menguasai segala aspek kehidupan. Ketika informasi yang belum jelas kesahiannya , di share melalui media sosial ( WAG, FB, IG dll), pelan tapi pasti masyarakat akan terpengaruh apalagi jika menjadi viral.
Dalam kuliahnya di Sekolah Basis, Romo Haryatmoko mengungkapkan bahwa media sebagai alat komunikasi seharusnya bersifat netral.. Artinya , media massa harus menyajikan berita-berita yang bersifat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seringkali berita-berita di media sosial hanya sebuah pendapat, bukan fakta. Apalagi jika disampaikan oleh pemegang kekuasaan sehingga masyarakat cenderung menerima informasi itu sebagai berita yang benar.
Terima kasih untuk suguhan yang menarik dari Teater Mandiri, sebuah kritik sosial yang terus menggelitik.
*Simon Karsimin adalah pendidik, dan sutradara Teater Asa Jakarta