Advertisement
Pojok Seni - Estetika Yunani, Barat, hingga Asia Barat mengenal konsep kesempurnaan, keindahan, keanggunan, dan kemewahan. Anda bisa melihat betapa anggun dan megahnya panggung-panggung teater Yunani, juga kemewahan dari musik-musik klasik Barat, begitu juga tempat-tempat lain yang terpengaruh. Tapi, tidak dengan Jepang.
Estetika tradisional Jepang sudah lahir sejak dulu. Namun, kajian dari barat terhadap estetika tradisional Jepang baru dimulai 2 abad terakhir.
Berbeda dengan "kesempurnaan", "kemewahan", "keanggunan", dan "keindahan" di Barat, estetika Jepang tradisional justru tumbuh dari "ketidaksempurnaan", "kesederhanaan", "kecantikan dari dalam", dan "kefanaan atau keindahan yang hanya bersifat sementara". Bila dilihat dari sifat-sifat utama yang menjadi perangkat konstruksinya, apa yang dihadirkan oleh estetika tradisional Jepang justru merupakan antithesis dari estetika Barat. Inilah yang dikenal sebagai wabi-sabi (侘寂) yang menjadi karakteristik estetika Jepang tradisional.
Perbandingan Estetika Barat dan Estetika Yunani Klasik
Barat | Jepang |
---|---|
Kesempurnaan | Ketidaksempurnaan |
Kemewahan | Kesederhanaan |
Keanggunan | Kecantikan dari dalam |
Keindahan | Kefanaan (Keindahan sementara) |
Konsep estetika Jepang terdiri dari Wabi-Sabi-Yugen. Wabi diartikan sebagai kefanaan atau keindahan sementara, sabi diartikan sebagai keindahan alamiah (seperti indahnya menua, dan kematian), serta yugen berarti kelembutan yang mendalam. Tidak hanya dalam karya seni, tapi konsep ini juga dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Jepang sehari-hari.
Banyak sumber menceritakan tentang Myōan Eisai (明菴栄西) yang diperkirakan hidup sejak tahun 1141 hingga 1215. Ia seorang biksu Budha yang dikenal memperkenalkan ajaran Zen dan minum teh. Ajaran ini sebelumnya dipraktikkan di daratan Tiongkok, sebelum Eisai Zenji (berarti Guru Zen Eisai) membawanya ke Jepang. Sejak saat itu, cara minum teh ala Tiongkok dipraktikkan di Jepang.
Era Keshogunan Ashikaga (1338 - 1573), atau disebut Keshogunan Muromachi (karena pusat pemerintahan Jepang berada di daerah Muromachi, Kyoto), adalah pertama kalinya tradisi minum teh tersebut berubah. Adalah Sen no Rikyū (千利休) yang diperkirakan lahir pada tahun 1522 (meninggal 21 April 1591) menerapkan estetika kesederhanaan dalam upacara minum teh yang sederhana, yang kemudian disebut konsep wabi-sabi.
Dari upacara minum teh, konsep estetika wabi-sabi akhirnya memengaruhi berbagai kesenian Jepang lainnya, mulai dari ikebana (seni merangkai bunga), sampai seni pertunjukan.
Berbagai sumber lainnya menyebutkan bahwa konsep wabi-sabi ini sebenarnya dibawa oleh biksu Eisai Zenji dan diformulasikan dan diformalisasikan dengan berlandas pada filosofi Zen. Namun, Sen no Rikyū adalah orang yang mempopulerkan konsep wabi-sabi ini hingga meluas ke seluruh Jepang dan memengaruhi berbagai bentuk kesenian Jepang, serta kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Apa Sebenarnya Wabi-Sabi?
Sejarah awal
Sebelum masuk ke definisi wabi-sabi, kita akan mengulas terlebih dulu, apa perbedaan "upacara minum teh Jepang" dengan "upacara minum teh Tiongkok"? Kita mulai dengan sejarah panjang upacara minum teh di Jepang.
Ketika salah seorang murid dari Zenji Eisai mengajarkan prosesi upacara minum teh tersebut ke Shogun Ashikaga Yoshimasa (1436-1490), maka terjadi perubahan signifikan. Saat itu, keshogunan Jepang sedang krisis keuangan, juga ada berbagai gerakan perlawanan dan pemberontakan. Bahkan, pecah perang yang menyebabkan Kyoto berlumuran darah, dan mayat bergelimpangan di mana-mana.
Hal itu menjadikan murid Zenji Eisai yang mengajarkan Shogun Ashikaga cara minum teh yang sangat sederhana. Apalagi pasca kebakaran rumah kediaman Shogun tahun 1475, dan internal keshogunan saling bermusuhan, Shogun Ashikaga Yoshimasa memilih mengucilkan diri, hidup sederhana, dan hanya berfokus pada gairah hidupnya sebagai seniman dan budayawan.
Peralatan yang digunakan untuk upacara minum teh adalah peralatan yang sangat sederhana. Berbeda jauh dengan Tiongkok yang akan menggunakan peralatan minum teh yang mewah, indah, dan harganya sangat tinggi. Sedangkan peralatan minum teh yang digunakan di Jepang adalah bambu, gelagah, tanah liat, hingga kayu.
Mangkuk teh wabi-sabi, berasal dari abad ke-16 (periode Azuchi) |
Lihat bagaimana mangkuk untuk teh di atas. Mari kita bandingkan dengan mangkuk teh yang digunakan untuk upacara minum teh di Tiongkok.
Peralatan minum teh di Tiongkok |
Ruang minum teh juga dibuat dari bahan-bahan dari alam yang terkesan sangat sederhana, namun begitu indah. Kuil-kuil Zen yang terkenal dengan kesederhanaannya menjadi inspirasi ruang minum teh tersebut. Lihat foto di bawah ini yang merupakan foto sebuah rumah teh Jepang yang berada di Kenroku-en.
Konsep Dasar Wabi-Sabi
Secara umum, wabi-sabi diartikan sebagai keindahan yang tak sempurna (kurang lengkap) dan tidak abadi. Siklus kehidupan ditangkap sebagai sebuah hal yang "tidak sempurna" dan hanya berisi sebuah siklus "lahir-tumbuh-mati-membusuk". Namun, hal tersebut akan menjadi indah bila kita mampu menerimanya dengan baik. Dengan kata lain, kita mampu mencari keindahan dari ketidaksempurnaan dunia ini.
(Apakah sekilas mirip dengan manifesto Albert Camus?)
Dunia hanya berisi tiga realitas yang sederhana bila manusia bisa menerimanya dengan baik. Ketiga hal tersebut adalah; tidak ada yang abadi, tidak ada yang selesai, dan tidak ada yang sempurna.
Hal ini akarnya adalah pemikiran Zen Buddhisme, dan bila dicari lagi akarnya, kita akan menemukan Taoisme. Pengaruh dari Zen terhadap lukisan di Tionghoa sudah terasa sejak era Dinasti Song (960 - 1279). Saat itu, bagian selatan Tionghoa memulai seni lukis "sederhana", dengan lebih sedikit warna, sederhana, dan ringkas. (Tentang alasan "kesederhanaan" ini, bisa dibaca di artikel Ini Alasan Kenapa Lukisan Tiongkok Minim Warna)
Dan, kesederhanaan tersebut menjadi pijakan awal berkembangnya konsep wabi-sabi di berbagai bentu kesenian di Tiongkok, sebelum akhirnya dibawa ke Jepang dan menjadi karakteristik estetika tradisional Jepang. (Baca juga: Daya Metafisis Alam: Dimensi Mimetik Estetika Tiongkok)
Kemudian, prinsip-prinsip Zen diaplikasikan dalam estetika wabi-sabi. Ada beberapa prinsip Zen yang digunakan untuk mencapai estetika wabi-sabi, beberapa di antaranya:
- Kesederhanaan (kanso)
- Asimetri (fukinsei)
- Natural (shizen)
- Bebas (datsuzoku)
- Kedamaian (seijaku)
- Keagungan (koko)
Anda tahu bahwa puisi-puisi Jepang cenderung lebih pendek, apalagi bila dibandingkan dengan puisi barat. Haiku, contohnya yang hanya terdiri dari 2 baris dan tujuh kata saja. Ini salah satu pengejawantahan prinsip-prinsip Zen dalam wabi-sabi.
Atau, teater tradisional Jepang, Noh yang berisi tarian dan musik. Tidak hanya teater dan sastra, kesenian keramik, merangkai bunga, taman Zen, dan sebagainya juga merupakan perwujudan dari prinsip Zen untuk mencapai estetika wabi-sabi ini.
Terakhir, sebagai contoh, Anda bisa melihat betapa dalam dan indahnya karya Haiku berikut ini. Meski visualnya sangat sederhana dan minim warna.
Haiku karya Matsuo Bashō
"Quietly, quietly, yellow mountain roses fall – sound of the rapids"
(Tenang, tenang, mawar dari gunung kuning terjatuh, bersuara jeram)