Advertisement
Rudolf Puspa bersama Teater Keliling mementaskan "Sang Saka" |
Catatan Rulakso*
Sejak duduk di bangku SMP Rudolf sudah mendirikan sebuah grup teater bernama Study Club Teater Surakarta. Dalam usia muda ini ia sudah memimpin teman-temannya berlatih mempersiapkan beberapa kali pertunjukan teater dan ia pula menjadi sutradaranya.
Setelah masuk bangku SMA tahun 1963 ia diserahi meneruskan dan memimpin grup teater sekolah di SMA Negeri Margoyudan yang didirikan dan yang telah ditinggalkan oleh seniornya karena telah lulus. Pendiri Teater Margoyudan ini adalah Salim Said yang kemudian menjadi wartawan Tempo di Jakarta dan pada tahun 2007 menjadi Duta Besar RI di Cekoslovakia. Di teater sekolah inilah Rudolf menjadi lebih berkembang karena mendapatkan banyak pemain serta fasilitas tempat latihan. Ia mendapat dukungan dari Kepala Sekolah dan semua guru dan bahkan mendapat tugas, walaupun dibatasi , dalam setiap tahun hanya diijinkan mementaskan sebanyak dua kali, yaitu ketika menyambut hari raya keagamaan dan waktu perpisahan sekolah.
Dalam masa ini Rudolf bergaul dengan dan menimba pengetahuan dan pengalaman dengan teman-teman grup teater senior di Solo maupun Yogyakarta, seperti Dedy Sutomo, Yasso Winarto, Budiman S.Hartoyo, Arifin. Noer, dll. Setiap ada pementasan Rudolf menyempatkan diri hadir, menonton dan ikut berdiskusi. Dari pergaulan dan pengalaman orang lain inilah Rudolf yang masih sangat muda karena masih duduk di bangku SMA ini menjadi cepat berkembang. Sebagai sutradara yang mempunyai dua grup teater, Rudolf banyak mementaskan drama-drama asli Indonesia maupun terjemahan. Ia semakin yakin dan mantap bahwa dunia teater adalah dunia yang akan digeluti dan ditekuninya di masa yang akan datang. Di saat itulah ia mempunyai cita-cita, bukan saja sebagai sutradara tetapi sebagai orang teater yang konsisten. Artinya hanya hidup dari dan untuk teater. Ia kemudian mempunyai semboyan atau motto ‘Teater Vincit Omnia’, teater mengalahkan segalanya dan teater memenangkan segalanya!
Semboyannya itu pada waktu itu dinilai mustahil dan sangat merisaukan orang tuanya yaitu bapak Chris Sutomo, seorang guru, pianis dan organis gereja. Pertanyaanya adalah: Hidup tergantung dari seni? Tetapi Rudolf tetap pada cita-cita, semangat dan pendiriannya. Dengan berbekal tekad dan semboyannya itu, Rudolf setelah lulus SMA tahun 1966 bersama beberapa temannya, diantaranya Sudibyanto, berangkat ke Jakarta untuk mengembangkan diri. Sudibyanto adalah adik Rendra yang pada waktu itu Rendra masih studi di Amerika. Saya ikut berangkat ke Jakarta menyertai semuanya karena sejak awal saya memang terlibat bersama di dalamnya.
Di Jakarta Rudolf berkenalan dengan pengurus Badan Pembina Teater Nasional, BPTNI: D.Jayakusuma dan Kasim Ahmad dari Direktorat Kesenian PDK, serta sutradara Teguh Karya dan Slamet Rahardjo. Rudolf langsung membentuk grup teater yang diberi nama Study Grup Drama Jakarta dan mulai berlatih mempersiapkan sebuah pementasan. Naskah yang dipesiapkannya adalah ‘Perang dan Pahlawan’ terjemahan Rendra dari judul asli ‘Arms and the Man’ karya Bernard Shaw. Pemain-pemain wanita semuanya adalah para siswi SMA Theresia Jakarta.
Dimana kami semua tinggal setelah hijrah ke Jakarta? Semuanya tinggal di rumah saudaranya masing-masing kecuali Rudolf. Rudolf akhirnya tinggal di gedung Balai Budaya Jl. Gereja Theresia no. 47 Jakarta Pusat, sebuah gedung tempat pameran lukisan. Ini setelah beberapa lama “menggelandang” tanpa tempat tinggal tetap dan menikmati tidur malam hingga jika hanya ketemu emperan toko atau duduk di pinggir jalan ia terima iklas dan sangat sering harus menahan lapar karena malu meminta2 ke teman. Di Balai budaya Ia tinggal bersama beberapa seniman lukis diantaranya pelukis senior Nashar. Di tempat inilah ternyata Rudolf tinggal selama bertahun-tahun. Saya prihatin melihatnya, tetapi saya sendiri menumpang di rumah saudara.Terlihat dan kelihatan bahwa cita-cita yang tinggi ternyata memerlukan perjuangan dan bahkan pengorbanan yang tinggi pula.
Rudolf berjuang dan berkorban tanpa mengeluh sedikitpun demi meraih impiannya. Tetapi bagi Rudolf kesulitan dan tantangan itu bukanlah merupakan halangan dan penderitaan, sebab penderitaan sudah dikalahkannya dengan semangatnya sendiri: ‘Teater Vincit Omnia’, teater mengalahkan segalanya dan teater memenangkan segalanya. Rudolf tetap semangat dan tetap bergembira karena ternyata seniman-seniman di sekelilingnya memberikan support secara nyata. Dari tempat inilah Rudolf setiap hari berjalan kaki menuju tempat latihan yang berpindah-pindah, kadang jauh dan kadang dekat.
Pada tahun 1967 Badan Pembina Teater Nasional Indonesia menyelenggarakan Pekan Teater Jakarta bertempat di Bali Room Hotel Indonesia. Setelah diseleksi, Teater Rudolf dengan naskah melodrama semi klasik ‘Perang dan Pahlawan’ masuk dalam deretan peserta yang semuanya adalah teater senior Jakarta, diantaranya Teater Populer dengan sutradara Teguh Karya. Pada waktu Taman Ismail Marzuki belum ada karena baru selesai dibangun pada akhir tahun 1968. Masyarakat teater Jakarta menyambut baik Pekan Teater ini yang merupakan kebangkitan kembali teater di Indonesia akibat dari kemunduran segala bidang akibat pemberontakan G30S. Masyarakat teater pada waktu itu juga menyambut baik kehadiran grup teater baru dengan sutradara baru yang masih muda. Rudolf waktu itu baru berumur 21 tahun sedangkan lainnya adalah para sutradara senior. Hasil pertunjukan Rudolf dalam tulisan resensi media massa tidak mengecewakan. Hal ini menambah keyakinan dan cambuk bagi Rudolf untuk tetap eksis dan berusaha lebih maju lagi dalam untuk meramaikan kehidupan teater di Indonesia.
Rudolf masih belum puas dengan perkembangan yang dicapainya. Ia masih ingin memantapkan dan mematangkan dirinya dalam dunia teater. Ia kemudian bergabung masuk Teater Ketjil pimpinan sutradara senior Arifin C.Noer. Disinilah ia bertemu dengan Dery, sesama pemain yang kemudian kelak menjadi isterinya.. Setelah mereka berdua merasa punya bekal pengalaman, pengetahuan dan kematangan, pada tahun 1974 mereka berusaha berdiri sendiri dengan mendirikan grup Teater Keliling. Tujuannya untuk pentas kelling ke seluruh wilayah di Indonesia memperkenalkan seni teater dengan membawa misi pendidikan dan kebudayaan. Segala tantangan dan rintangan dalam usaha maju kedepan dihadapinya berdua. Rudolf fokus dalam bidang penyutradaraan dan Dery mempunyai kelebihan dalam berkomunikasi dengan pihak ekstern dalam merencanakan produksinya. Adanya pembagian tugas ini sangat menguntungkan bagi Teater Keliling karena sesuai nama dan tujuannya, Teater Keliling akan mengadakan pentas keliling ke daerah-daerah.
Setelah satu tahun Teater Keliling pentas keliling di negeri sendiri, pada tahun 1975 Teater Keliling mulai pentas keliling ke manca negara. Dimulai ke Malaysia dan Singapura, Teater Keliling atas kerjasama dengan pihak pemerintah Indonesia, menjadi duta bangsa mengadakan pentas dalam misi kerjasama kebudayaan dan persahabatan antar Negara. Sudah sebelas Negara yang dikunjunginya, yaitu Thailand, Australia, Pakistan, Timor Leste, Mesir, Korea, Rumania dan Jerman. Banyak pengalaman dan penghargaan yang telah didapatnya. Kiranya tidak perlu disebutkan lagi.
Yang ingin saya katakan disini adalah bahwa setiap orang pasti mempunyai keinginan, cita-cita dan tekad kuat dalam mencapai tujuannya. Tetapi ketika dihadapkan pada tantangan dan pengorbanan yang berat, tidak berani melaluinya. Rudolf dihadapkan pada tantangan bahwa ia harus ‘menggelandang’ bertahun-tahun di Balai Budaya, jauh dari sanak saudara untuk mencapai cita-citanya. Tetapi ia menjalaninya. Yang lain seperti saya merasa tidak sanggup dan memiilih berhenti di tikungan jalan. Sudibyanto masih konsisten mencoba hidup dari seni, mengikuti abangnya. Ia memiliki sanggar dan melatih anak-anak muda sekitarnya mencintai teater. Tetapi orang seperti saya ini akhirnya tidak menjadi apa-apa, tetapi Rudolf keluar sebagai pemenang. Ia menjadi seniman tulen karena benar-benar hidup dari seni tanpa memperhitungkan keuntungan materi. Tetapi ternyata Rudolf dan Dery bisa meng-kuliahkan kedua putrinya sampai selesai. Dan kedua putrinya inilah yang kemudian justru sampai sekarang mendorong kedua orang tuanya untuk tetap maju dan tidak berhenti meraih cita-citanya.
Kunci Rudolf dan Dery adalah keyakinan bahwa tekad yang sungguh-sungguh akan meratakan jalannya, mengalahkan dan memenangkan segalanya seperti mottonya Teater Vincit Omnia. Rudolf adalah seniman sejati: orang yang tekun, gigih dan teguh menjalani hidup dari seni untuk seni sepanjang hidupnya. Ketika tulisan ini dibuat, Rudolf berusia 76 tahun dan masih berkarya dan tengah mempersiapkan diri untuk pentas ulang drama musical ‘The Great Rahwana’ tgl 4 maret 2023 di teater besar TIM Jakarta, pentas keliling ke Sulawesi, Swedia dan Amerika.
Selamat untuk Rudolf, Dery dan keluarga Teater Keliling. Kami bangga dan angkat topi untuk kalian!
Cibinong 30 Desember 2022.
Rulakso dan keluarga di rumahnya, Cibinong |
*Rulakso adalah wartawan harian KAMI Jakarta (1966-1972), dan Staf Dewan kesenian Jakarta (1972-2003). Beliau merupakan sahabat dan teman sekolah Rudolf Puspa sejak SD hingga SMA di Solo.