Advertisement
Oleh: Ridwan Hasyimi
Tidak mudah mementaskan sejarah. Ia harus tepat sesuai fakta tapi juga asik sebagai tontonan. Hal ini yang coba dilakukan Teater Dongkrak Tasikmalaya melalui pertunjukan Amara Rababu: Sejarah Peteng Galunggung pada Sabtu-Minggu, 3-4 Desember 2022 di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya.
Drama berbahasa Sunda karya sastrawan Nazarudin Azhar ini mengisahkan perselingkuhan Putra Mahkota Kerajaan Galuh Rahyang Mandiminyak alias Amara dan kakak iparnya, Nay Pwahaci Rababu, istri dari Raja Resi Kabataraan Galunggung, Rahyang Sempak Waja.
Kisah ini kurang populer tapi bukan berarti asing. Ketika mengetik “Kerajaan Galuh” di mesin pencarian jagat data, laman wikipedia, misalnya, akan memuat juga cerita perselingkuhan ini walau tidak terlalu lengkap. Tapi, karena dinilai noda yang memalukan, bahkan di Kabupaten Ciamis sendiri yang notabene bekas ibu kota kerajaan Galuh (dan Sunda), kisah ini tidak sepopuler legenda Ciung Wanara atau kisah Perang Bubat yang heroik itu.
Teks ini boleh jadi drama moderen pertama yang mengangkat kisah peteng Galuh-Galunggung. Dan Teater Dongkrak menjadi yang pertama mementaskannya.
Teks ke Tekstur
Sebagai sebuah karya sastra, teks ini kuat akan diksi bahasa Sunda yang puitik. Ini salah satu kekuatan Nazarudin Azhar yang juga bisa ditemukan dalam karya-karyanya yang lain. Oleh sebagian penggiat seni di Tasikmalaya, sastrawan yang juga seorang jurnalis ini dijuluki Shakespheare Tasikmalaya.
Dinikmati sebagai sastra, solisokui Amara yang puitik nan panjang dan beberapa repetisi makna akan “berlangsung” di luar dimensi waktu. Pembaca akan cenderung abai pada irama dan dinamika pertunjukan sebab seluruh peristiwa berlangsung dalam imajinasi yang, tentu saja, punya hukum waktu sendiri.
Namun, lain halnya tatkala ia bertransformasi menjadi tekstur (pertunjukan). Dinamika dan irama pemainan pada tekstur “berlangsung” dalam imajinasi sekaligus mengejawantah dalam ruang-waktu hic et nunc ‘di sini dan sekarang’. Tekstur memiliki tempo, irama, dinamika, dan durasi yang lebih nyata. Hal-hal ini yang rasanya agak kendor pada tekstur Amara Rababu besutan sutradara Tatang Pahat ini. Salah satu dampaknya, pada beberapa bagian waktu terasa berjalan lambat padahal struktur teks dan dramaturginya masih membuka kemungkinan untuk lebih dinamis.
Kecuali itu, beda antara satu peristiwa dengan peristiwa lain—dengan segala hal yang melekat padanya—terasa demikian tipis sehingga kadang menjadi bias. Karena tidak ada perubahan set (selain lampu panggung dan musik) dan panggung hanya tersusun dari undakan level serta komposisi bambu, maka imajinasi penonton harus peka terhadap tiap perubahan detil peristiwa panggung, termasuk siaga menyimak tiap kata sebab ia jadi identitas peristiwa yang paling mudah dikenali.
Boleh jadi ini tantangan khas mentrasformasikan teks sejarah menjadi tekstur. Ada tarik menarik kuat antara kepentingan menyampaikan informasi sejarah dengan akurat-referensial di satu sisi dan menyuguhkan tontoan asyik yang imajinatif-dramatik di sisi lain.
Karena tidak semua peristiwa sejarah berlangsung dramatis, kesadaran kuat bahwa historiografi dan drama adalah dua hal yang berbeda bisa menjadi ruang negosiasi. Hal ini berlaku bagi kreator maupun apresiator agar komunikasi kesenian bisa terjalin di frekuensi yang sama.
Beruntung, beberapa aktor sebagai ujung tombak komunikasi lakon tampil prima. Wit Jabo Widianto memberi takaran yang cukup dan sesuai sebagai Sempak Waja. Dialek (lentong) pilihanya unik sehingga dédéngéeun di pendengaran penonton. Ia menang dengan tenang tanpa kehilangan marah dan sedih sebagaimana manusia lain.
Sementara, Kiki Kido Pauji (Amara/Mandiminyak) masih asik dengan gaya favotirnya: grand style. Pilihan ini cocok dengan lakon babad macam Amara Rababu, kendati bukan satu-satunya pilihan gaya akting. Sayangnya, ia dan teman mainnya, Ami Iteung (Rababu), seperti berada di frekuensi yang berbeda.
Kecuali tiga tokoh utama itu, Kisem, Teguh, Komeng, Ahong, Saepul, Pongkir, Ucha, dan Qeis, bermain cukup baik walau beberapa di antaranya ada yang berlebihan dan ada juga yang kurang berdarah.
Teks ke Konteks
Galuh adalah sebuah kerajaan. Padanannya hari ini adalah negara. Dalam konteks ini, Mandiminyaklah yang paling mendekati sebagai representasi politisi. Ia calon raja, calon presiden walau rambutnya tidak putih dan tak ada kerutan di dahinya.
Sementara, Sempak Waja, walau saya tidak menemukan padanan pas fungsi dan jabatannya di dunia moderen, tetapi sikapnya adalah sikap negarawan sejati.
Tiga kali ia kecewa kepada adiknya. Pertama, karena selingkuh dengan istrinya. Kedua, karena tak langsung mengaku dan malah habis-habisan bersilat tidah, persis politisi. Ketiga, ia kecewa sebab manusia macam ini—yang tidak jujur, gemar berbohong, tak punya wibawa, tukang rucah—yang akan menjadi pemimpin. Kekecewaannya yang ketiga yang paling berat sebab tidak hanya menyangkut dirinya, melainkan negara.
Namun, karena Mandiminyak akhirnya meminta maaf dan mengaku salah, Sempak Waja justru turut memuluskan jalannya ke singgasana. Andai sang kakak menuruti nafsu amarah, boleh jadi Mandiminyak akan dicatat sebagai putra mahkota yang mati dibunuh kakak sendiri. Atau dicopot karena tertangkap basah berlaku asusila. Tapi, semua itu tidak terjadi. Sempak Waja—anak tertua yang seharusnya menjadi raja—dengan bijak dan rendah hati memaafkan keduanya bahkan sebelum mereka minta maaf, demi wibawa dan keberlangsungan negara.
Kendati begitu, di kemudian hari, sejarah mencatat terjadi perang saudara hebat antara keturunan Mandiminyak dan keturunan Sempak Waja. Peristiwa ini menjadi catatan kelam yang lain dari Kerjaan Galuh, catatan kelam yang bermula dari gagalnya calon penguasa menguasai dirinya sendiri.
Menyaksikan Amara Rababu di tahun-tahun politik seperti sekarang, banyak hal baik yang bisa dipetik dalam konteks etika politik. Tentu saja tidak semua. Penunjukan Mandiminyak sebagai suksesor jangan sampai terjadi hari ini. Apalagi pertimbangannya karena fisik atau keturunan. Mereka yang memimpin haruslah mereka yang memang pantas. Bukan dipantas-pantaskan. Apalagi terpaksa dipantaskan.
32 Tahun Teater Dongkrak
Pertunjukan Amara Rababu yang digelar dua hari ini bukan sekadar gelar karya, melainkan perayaan 32 tahun Teater Dongkrak Tasikmalaya. Kelompok yang mengalami pasang surut cukup dramatis ini didirikan tepatnya pada 10 November 1990. Hanya saja, karena satu dan berbagai hal, perayaan tahun ini mundur ke 3 dan 4 Desember. Demikian disampaikan Wit Jabo Widiyanto, Ketua Teater Dongkrak.
Sayang, perayaan tahun ini terasa agak berbeda. Selain karena pasca pandemi, wajah-wajah baru nampak lebih dominan ketimbang yang lama. Hal ini tentu saja baik sebagai regenarasi. Namun, andai para sesepuh dan kerabat lain bisa hadir, tentu perayaan ulang tahun ke-32 ini akan lebih lengkap dan hangat.
Selamat Ulang Tahun Teater Dongkrak Tasikmalaya.
Semoga terus berkarya sebab vita bravis, ars longa!