Advertisement
Sebuah ulasan pertunjukan teater dari tanggal 4 hingga 6 Desember 2022.
Oleh: Rafika Rasdin*
Kita adalah sisa-sisa pembangunan yang belum terbangun. Ada banyak perkara yang diperoleh dari hasil riset pegiat “Kala Teater” isu-isu tentang keadaan Makassar di masa kini, tidak sedikit mimpi, kegelisahan, dan harapan warga yang ingin segera terwujud. Naskah yang ditulis oleh Shinta Febriany ini umumnya menggunakan simbol, citraan, dan minim dialog antar pemain. Ketiga karya yang dipentaskan secara runtut membuat penonton tidak sekadar menikmati hiburan, tapi juga ikut berpikir dan mengkaji persembahan teater kritikal modern ini. Arahan sutradara Shinta Febriany dalam mementaskan naskahnya telah bijak dengan begitu baik meninggalkan kesan bermakna kepada penonton yang hadir.
Naskah “Perangkap Kata-Kata”, “Di Seberang Kekacauan”, dan “Bunyi Warga” adalah naskah yang padat dengan persoalan, isu, dan harapan terhadap kota Makassar. Pesannya dapat digarap oleh masing-masing penonton. Ide kreatif dengan unsur kekaguman yang sangat menarik seperti tayangan dari pancaran cahaya LCD telah menampakkan elemen dramatik dan penjelas dalam pementasan. Tidak ada alat musik yang digunakan dalam pementasan ini, hanya ada iringan dari bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan tubuh manusia. Hal ini dapat menjadi peluang bagi penonton untuk tetap fokus ke pemain dan tidak terdistraksi dengan suara musik yang akan membuat penonton sulit untuk memahami alur cerita yang ingin disampaikan.
Dalam pengantar buku Stanilavsky “Pengantar Seorang Aktor” mengatakan bahwa terdapat dua masalah yang harus diatasi oleh aktor pementasan, pertama berhubungan dengan penghayatan dan kedua berkaitan dengan komunikasi. Pada pementasan ini, sebuah ekspresi tulis berubah menjadi ekspresi lisan dan para aktor telah bertanggung jawab dengan perubahan itu. Hal tersebut tidak terlepas dari ilmu, bakat, dan kreativitas seorang sutradara yang mengolah dan mempersembahkan karya agar penonton terkesan ikut merasakan, berempati, serta berpikir jernih dengan berbagai fenomena yang nyata adanya di sekitar kita.
Pementasan Kota dalam Teater telah berhasil dipentaskan selama tiga hari berturut-turut, mulai 4 – 6 Desember 2022 di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, Makassar. Penulis naskah dan sutradara oleh Shinta Febriany ini memiliki rangkaian cara pemanfaatan ruang dan teknologi untuk dapat menyuarakan suara warga Makassar.
1. Perangkap Kata-Kata
Gambar 1. Keadaan set panggung naskah “Perangkap Kata-Kata”
Babak awal dimulai dengan kemunculan para pemain dari sisi kanan panggung menggunakan pakaian merah dan oven di kepala masing-masing. Warna merah digunakan sebagai lambang kemarahan, kekecewaan, dan kritikan warga terhadap kebijakan, kerusakan infrastruktur, dan rasa tidak aman yang dirasakan. Oven di kepala melambangkan bahwa warga cukup panas dan geram dengan beragam kepusingan yang di alami, entah itu sumbernya dari skala pribadi maupun skala umum. Para pemain bergantian mengucapkan monolog yang memerankan berbagai karakter dari warga Makassar. Penceritaan secara monolog memberi kesan dramatik dan energi serius dalam menyaksikan pementasan.
Berulang kali persoalan yang sama terujar dari mulut pemain, seolah-olah memberi makna bahwa tidak sedikit masalah yang sama hadir di lingkungan kita, namun karena sering terasa sehingga menjadi biasa, hingga akhirnya terjadi pengabaian, efek karena sudah menganggap kecil permasalahan-permasalahan yang hadir tersebut.
Pujian pantas disematkan kepada mereka yang berhasil memainkan beragam karakter secara natural, serta melengkapkan cerita dengan gerakan-gerakan artistik yang menyentuh hati para penonton. Teknik memberi isi cerita dengan mengajak penonton untuk terlibat dalam pementasan yakni dengan mencoba mendatangi penonton dan memberi kode bahwa pemain ingin berbicara ketika penonton sudah membuka tutup oven di kepalanya, memiliki tujuan agar penonton dan pemain saling terkoneksi dengan tuntutan naskah yang dipentaskan. Tekanan nada, dinamik, tempo, dan gerakan disampaikan secara tepat sesuai dengan karakter warga yang dibawakan secara bergantian.
2. Di Seberang Kekacauan
Gambar 2. Keadaan set panggung naskah “Di Seberang Kekacauan”
Fokus pertama yang dirasakan ketika naskah kedua ini dipentaskan yakni lantunan lagu “Mangkassara” yang dinyanyikan oleh salah seorang pemain dengan membawa bunga di tangannya. Lagu yang bermakna harapan tersebut seolah-olah memberi simbol bahwa ada begitu banyak harapan warga yang masih menunggu tumbuh, berkembang, dan mekar. Namun, nihil entah kapan hal itu akan tewujud. Lagu ini berbenturan dengan tampilan salindia data kriminalitas yang ditayangkan melalui LCD.
Penyajian data tentang permasalahan warga yang dipaparkan secara artistik, berhasil memumpunkan perhatian pada wujud data bahasa tulis, tabel, dan grafik. Data dari riset yang dilakukan oleh tim “Kala Teater” tersebut memberi fakta bahwa rasa nyaman dan aman masih belum bisa terjamah oleh seluruh warga kota Makassar, masih banyak ketakutan yang seringkali muncul baik itu yang berasal dari orang terdekat hingga orang asing. Elemen teatrikal dalam penyajian data ilmiah terlihat lebih segar dapat diterima dan terpahami oleh penonton, sungguh inovasi yang luar biasa memukau. Cinta sesama dan sadar akan fitrah manusia menjadi harapan bersama untuk saling merasa terlindungi dan hilang dari rasa cemas di tanah kelahiran sendiri. Lagu “Mangkassara” tetap terlantun merdu hingga para pemain meninggalkan panggung.
3. Bunyi Warga
Gambar 3. Keadaan set panggung naskah “Bunyi Warga”
Dalam kaitannya dengan hal menyusui, tak sedikit Ibu yang awalnya memiliki komitmen untuk memberi ASI eksklusif kepada anaknya hanya berujung stress karena jumlah ASI hasil pompaan hanya sedikit dan tidak cukup memenuhi gizi anaknya. Kunci dalam pementasan ini adalah penggunaan metafora yang banyak dimunculkan selama durasi pertunjukkan.
Berhubungan dengan ide penulisan naskah ini, seorang dramawan W.S rendra yang telah setuju dengan dramawan Amerika T.S Eliot bahwa sebuah naskah diukur dengan dasar kriteria estetis, sedangkan kebesaran karya diukur dengan kriteria di luar estetika. Drama “Oedipus” yang telah ribuan tahun meninggalkan zaman Yunani kuno, hingga kini masih tetap terasa universal dan aktual, karena naskah tersebut tulus dengan penelusuran misteri dari ide yang tidak bisa dilepaskan dalam penciptaan seninya.
Hal ini juga yang dapat kita rasakan pada karya Shinta Febriany, Ia gigih dan berani memperjuangkan ide-idenya, sehingga berhasil dipentaskan dengan cara unik dan berbeda tapi tetap menyimpan banyak pesan dan kesan di hati penontonnya. Akhir pementasan ditutup dengan lagu daerah Sulawesi Selatan “Butta Kalassukangku” dan pembacaan puisi oleh dua orang pemain yang merupakan konklusi dari pementasan. Produksi teater ini telah berjaya dengan aksi persembahannya yang mengulas fakta berdasar data, menjadi penyalur suara warga kepada pemerintah melalui pementasan Kota dalam Teater.
*Penulis adalah seorang dosen asal Makassar