Advertisement
Oleh: Putra Agung*
Salah satu syarat sah sebuah pertunjukan adalah kehadiran penonton, termasuk walaupun hanya seorang sutradara/koreografer/konduktor yang menyaksikannya maka sebuah pertunjukan dinyatakan telah terlaksana.
Keberadaan penonton sangat penting karena sebuah karya dinyatakan sahih menjadi karya seni khususnya secara estetik, setelah dipertontonkan, ditonton dan disikapi para penonton dengan berbagai cara. Selain itu, sebelum sebuah karya ditampilkan, makna karya itu dominan milik sutradara/koreografer/konduktor, tetapi saat telah dipentaskan maka makna karya secara bebas sudah milik penonton beserta seperangkat kritik, pujian, saran dan masukan yang memang dibutuhkan oleh seorang pengkarya atau seniman.
Begitu pentingnya arti dan keberadaan penonton meskipun harus diakui kita kerap tidak memuliakan mereka bahkan mengabaikannya karena menganggap penonton bukan unsur yang terlahir dari proses yang bersifat kreatif-artistik.
Pengabaian penonton ini merupakan hal yang sangat ironis sebab sebuah pertunjukan -seamatir apapun- berisikan kataris, cermin diri, pesan moral serta bisa mempengaruhi penonton dan dipengaruhi penonton dalam melahirkan peristiwa pertunjukan. Seperti yang disampaikan Susan Bannet bahwa ‘peristiwa pertunjukan merupakan proses interaksi yang mengandalkan kehadiran penonton untuk pencapaian pengaruhnya’. Oleh karenanya, tak berlebihan bila menyebutkan bahwa ‘pertunjukan yang tidak memuliakan penonton merupakan pertunjukan yang kosong dan sombong’.
Seorang penonton teater saat melangkah ke dalam gedung atau ruang pertunjukan sembari menggenggam secarik tiket -jika menjual tiket- membawa keinginan, hasrat dan pengalaman seiring langkah kakinya menuju tempat duduk.
Penonton membawa keinginan dapat terhibur, tertawa, menangis, ketakutan, atau tegang ketika menyaksikan sebuah pertunjukan yang ditampilkan. Penonton juga menanting hasrat dapat menyaksikan refleksi kehidupan nyata diatas panggung lalu mendapatkan pesan moral dari pertunjukan tersebut dan mendekapnya sebagai pengalaman batin yang mendidik sekaligus bermanfaat. Penonton pun menenteng pengalaman personalnya dan berinteraksi lewat ingatan, memori, kisah hidup kemudian secara alamiah membandingkan serta memaknainya dari sebuah pertunjukan.
Proses interaksi -baik secara langsung maupun tak langsung- antara pertunjukan dan penonton inilah yang juga memberikan ruang aktif kepada penonton untuk memaknai karya dan menghadirkan sebuah interprestasi bebas terhadap sebuah pertunjukan. Menurut Barba, pada setiap pertunjukan, penonton berada dalam posisi mengamati status elemen-elemen pemanggungannya dengan mengikuti secara paralel arah yang ditampilkan pelaku, misalnya, ketika mereka menampilkan suatu wujud budaya maka penonton terus bersama dengan pelaku dalam gerak pikiran-dalam-aksi.
Sejauh apa hasil pengamatan penonton pun akan berbeda-beda, tergantung banyak hal. Menurut Iser, setidaknya dipengaruhi usia, jenjang pendidikan, pengalaman menonton pertunjukan, literasi, egaliter terhadap kesenian, pengalaman estetik, pengalaman artistik, pengetahuan umum bahkan agama barangkali. Perbedaan tingkat pengamatan ini yang menjadi kata kunci bahwa tidak ada pertunjukan yang benar-bener jelek dan tak ada pertunjukan yang betul-betul bagus.
Disisi lain, hasil interprestasi, pengamatan dan kepuasan penonton terhadap sebuah karya pertunjukan tidak melulu soal artistik kualitas karya yang ditampilkan namun acap kali juga dipengaruhi oleh faktor non artistik kekaryaan. Alhasil, kerap kita dengar keluhan atau komentar penonton yang sebenarnya bersifat klasik namun terus berulang. Seperti; ‘bagus sih pertunjukan cuma parkirnya jauh banget’, atau ‘lumayanlah pertunjukannya, banyak panitia tapi gak ada yang ngarahin malah sibuk selfi sendiri’, ‘cuma kebagian nonton dinding aja, panitianya gak jelas cemberut aja’, serta puluhan komentar lainnya.
Beragam faktor non artistik ini bila dibiarkan dan tak diminimalisir akan turut mempengaruhi interprestasi, pengamatan dan kepuasan terhadap sebuah pertunjukan. Tidak hanya mempengaruhi interprestasi, penilaian dan kepuasan penonton terhadap karya pertunjukan semata, faktor non artistik ini juga lambat laut bahkan bisa mempengaruhi sikap maupun pandangan penonton terhadap brand (citra) si pengkarya.
Perbedaan hasil pengamatan penonton -baik dari faktor artistik dan non artistik- inilah yang kemudian menjadi dasar klasifikasi empat tingkatan penonton pertunjukan; penggembira, penikmat, pemerhati dan pengkaji.
Penggembira biasanya mereka yang datang menyaksikan sebuah pertunjukan atau penampilan dengan faktor X. Semisal, si pengkarya atau seniman adalah teman, kerabat atau pacarnya, suami/istri, dalam rangka tugas/perintah guru atau dosen, menemani pacar atau sedang PDKT. Biasanya, para penggembira ini tidak akan fokus menyaksikan pertunjukan. Hal ini ditandai dengan perhatiannya lebih banyak melihat atau memperhatikan penonton lainnya dibandingkan melihat pertunjukan, sebentar-sebentar menunduk, mengecek dan memainkan hp berlanjut membuat reels/instastory di medsos demi pencitraan diri serta biasanya komentar mereka terkait pertunjukan tersebut bersifat pujian normatif basa-basi atau bahasa gaulnya; perez.
Penikmat adalah mereka yang melihat pertunjukan tanpa/dengan faktor X. Umumnya para penikmat ini memang memiliki kesamaan aktifitas maupun ketertarikan terhadap si pengkarya atau tematik pertunjukan, tidak terlalu suka keriuhan, membeli tiket dengan sukarela serta sudah mampu menikmati hingga menilai baik-buruknya sebuah pertunjukan meskipun mereka susah menjelaskannya atau tidak disampaikannya.
Pemerhati adalah mereka yang datang menonton pertunjukan dengan kesadaran tinggi, penuh pengamatan dan sungguh-sungguh. Para pemerhati ini secara alamiah akan melihat pun mengamati beragam faktor non artistik sebelum pertunjukan dimulai. Mulai dari, tempat parkir, siapa saja yang datang, suasana di sekeliling ruang pentas, sikap dan kesiapan panitia, dan lain sebagainya. Mereka biasanya mengetahui cukup detail mengenai sosok si pengkarya baik secara personal dan komunal. Tidak hanya itu, mereka kemungkinan besar sudah memiliki pengalaman emosional menyaksikan penampilan si pengkarya sebelumnya. Mereka biasanya enggan berkomentar secara terbuka dan kalau pun mereka memberikan pendapat maka bersifat edukatif dengan kalimat pendek memakai pilihan diksi yang halus dan tak bersifat frontal atau keras. Para pemerhati ini biasanya kita sebut sebagai apresiator.
Pengkaji atau lazim dikenal sebagai kritikus ini adalah mereka yang secara rutin terlebih dahulu melakukan ‘ritual’ sebelum menyaksikan sebuah pertunjukan. ‘Ritual’ yang dimaksud adalah para pengkaji akan mempelajari secara mendalam tematik pertunjukan, menggali informasi terkait profil pun sepak terjang si pengkarya jika ia belum mengenalnya, mencari tahu motivasi maupun dasar pelaksanaan pertunjukan, berusaha membaca dan memahami konsep karya pertunjukan, melihat kerangka acuan kekaryaan (KAK) hingga melakukan tafsir awal mengenai kemungkinan bentuk dan arah pertunjukan. Tidak sebatas itu, mereka secara naluriah akan mengamati, menebak hingga menilai seluruh elemen (baik artistik dan non artistik) di sekeliling ruang pentas sebelum dimulainya pertunjukan.
Para pengkaji ini, seusai menyaksikan pertunjukan, apabila tanpa diminta dan secara sukarela memberikan penilaian pedas, masukan mendalam, kritikan konstruktif, pujian tulus maka itu merupakan tanda profisiat sekaligus bentuk penghormatan terhadap proses kreatif yang dilakukan si pengkarya atau seniman tersebut. Umumnya, pernyataan maupun pandangan para pengkaji kerap dijadikan acuan dan standar kualitas sebuah pertunjukan secara masif.
Begitu pentingnya kehadiran, energi, interprestasi, pengamatan serta kepuasan penonton sehingga sudah waktunya seniman -baik personal maupun komunal- belajar memuliakan para penonton.
Penonton jangan lagi “dipaksa” kikuk menyaksikan apalagi membeli tiket pertunjukan tanpa mendapatkan haknya secara memadai. Minimal penonton berhak menonton dengan nyaman, memperoleh flyer, booklet atau buku pertunjukan yang berisikan informasi detail terkait pertunjukan, mendapatkan kemudahan akses atau parkir, memperoleh kesopanan panitia/tim produksi, kebersihan tempat, hingga kesigapan fasilitas umum yang layak seperti toilet dan tempat sampah.
Jika semua itu mulai dan belajar dilakukan, maka itulah pertunjukan yang sesungguhnya: tontonan yang menjadi tuntunan. //salamngopi/
*Penulis merupakan pekerja seni pertunjukan yang berdiam di Provinsi Lampung dan Jambi. Pengurus harian di Teater Tonggak dan juga menjabat direktur program di komunitas danceteater DianArza Arts Laboratory (DAAL). Saat ini juga mendapat amanah sebagai duta merk (brand ambassador) Art Calls Indonesia (ACI) dan Wasekjen Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jambi