Seniman Dulu Lebih Keren dari Seniman Sekarang? Suatu Bentuk Survivorship Bias -->
close
Pojok Seni
03 November 2022, 11/03/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-11-03T01:00:00Z
OpiniUlasan

Seniman Dulu Lebih Keren dari Seniman Sekarang? Suatu Bentuk Survivorship Bias

Advertisement
Lukisan karya seniman muda Indonesia, Roby Dwi Antono
Lukisan karya seniman muda Indonesia, Roby Dwi Antono


Pojok Seni - Sebagai anak muda, setidaknya masih belum genap berusia 40 tahun, maka mitos-mitos tentang kedigdayaan orang zaman dulu akan sering Anda dengarkan. Pernahkah setidaknya Anda mendengarkan mitos semacam ini:

  • Orang zaman dulu rata-rata berumur panjang, karena makanan yang mereka makan tidak pakai micin.
  • Bangunan zaman Belanda dan zaman dulu rata-rata lebih kuat lantaran tidak dikorupsi.
  • Kuliah itu tidak penting, karena pemilik Microsoft dan Facebook adalah orang-orang yang putus kuliah (DO) tapi tetap sukses.

Sedangkan di ranah seni, Anda tentu akan lebih sering mendengar hal-hal seperti ini:

  • Seniman zaman dulu jauh lebih jenius dan pintar ketimbang seniman zaman sekarang. Coba lihat karya-karya mereka abadi.
  • Seniman zaman dulu lebih militan dibandingkan sekarang, zaman sekarang senimannya cengeng.

Apakah deretan mitos di atas sering Anda dengarkan? Atau mungkin Anda percayai? Selamat! Karena Anda telah dikategorikan sebagai "penganut" survivorship bias (bias kebertahanan). Sebelum lebih jauh membahas tentang mitos di atas (khususnya yang berada di ranah seni), kita akan pelan-pelan membahas apa itu survivorship bias.

Apa itu Survivorship Bias


Survivorship bias adalah salah satu bentuk logical fallacy (cacat logika) yang terjadi karena kita hanya menilai sesuatu secara general berdasarkan apa saja yang masih bertahan atau selamat dalam suatu proses seleksi. Tentunya, kesalahan ini membuat kita akan mengambil kesalahan ketika mengambil sebuah kesimpulan.

Hal ini sebenarnya dimulai dari kesalahan pengambilan kesimpulan dikarenakan sumber datanya tidak cukup. Atau, kemungkinan yang paling parah adalah, kita hanya mengambil kesimpulan berdasarkan apa saja yang bertahan dari sebuah proses seleksi (katakanlah proses seleksi alam). Salah satu cerita yang paling sering dijadikan sampel dalam hal ini adalah kisah pesawat perang dunia II.

Ada lima pesawat diterbangkan untuk ujicoba, dan pasukan diperintahkan untuk menembaki pesawat ujicoba tersebut. Dua dari lima pesawat tersebut kembali, dan kondisi tembakan yang ditemukan di pesawat tersebut seperti gambar di bawah ini.


Survivorship bias



Kemudian, komandan pasukan memerintahkan  bagian yang terkena tembakan di atas untuk diperkuat dan dilapisi lebih tebal. Maka, sisa pesawat yang belum diterbangkan diperkuat di bagian yang banyak terkena tembakan. 

Faktanya, nyaris 200 pesawat yang sudah dipertebal dan diperkuat justru hampir 90 persen di antaranya tidak berhasil kembali. Dengan kata lain, sekitar 180 pesawat terjatuh karena tembakan lawan. Apa penyebabnya?

Penyebabnya adalah, bagian yang diperkuat dari pesawat tersebut disimpulkan dari 2 pesawat yang berhasil kembali. Padahal, ada tiga pesawat yang gagal kembali karena tertembak di bukan bagian tersebut. Yah, mulai dari depan, ekor, dan baling-baling. Bagian yang tidak terkena tembakan, justru adalah bagian yang paling lemah dari pesawat tersebut.

Hal itulah yang kemudian dikenal dengan kesalahan nalar "survivorship bias" atau bias kebertahanan. Itu adalah kesalahan menarik kesimpulan berdasarkan apa saja yang masih bertahan, dan melewatkan saja bagian bahwa ada lebih banyak korban berjatuhan.

Contoh kedua adalah dari kesimpulan bahwa orang-orang zaman dulu berumur lebih panjang dari orang-orang di hari ini. Faktanya, ini adalah data yang sebenarnya. Data di bawah ini menunjukkan angka harapan hidup rata-rata orang di dunia setiap tahunnya. 


Survivorship bias



Coba lihat garis berwarna merah, yang merupakan usia rata-rata manusia sejak tahun 1770-an. Juga lihat di seluruh dunia, di mana grafiknya tampak tidak begitu jauh bentuknya.Dari data di atas Anda bisa melihat bahwa pada tahun 2015, angka harapan hidup jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Terutama dibandingkan dari tahun 1950-2000. Lantas darimana kesimpulan orang-orang zaman dulu lebih berumur panjang?

Jawabannya adalah, karena pengambilan kesimpulan tersebut didasarkan pada orang-orang tua yang "masih bertahan" melewati seleksi alam yang ketat. Penyakit dan bakteri yang menyerang manusia, tidak dilawan dengan vaksin dan pengobatan terbaik, seperti di era beberapa tahun terakhir.

Eropa kehilangan sepertiga populasinya ketika serangan penyakit pes, serta nyaris 50 juta orang meninggal ketika flu Spanyol melanda. Di Afrika tahun 1950-an, korban meninggal akibat influenza juga mencapai jutaan orang. Sedangkan yang masih bertahan hidup hingga hari ini adalah orang-orang yang punya ketahanan atau kekebalan tubuh yang baik. 

Seniman Zaman Dulu vs Zaman Sekarang


Lihat karya-karya WS Rendra, Putu Wijaya, Iwan Simatupang, Utuy Tatang Sontani, dan penulis atau dramawan zaman dulu. Bukankah karya-karya tersebut tidak lekang dimakan zaman?

Iya, tapi pertanyaan lanjutannya apakah seniman teater era itu hanya nama-nama yang disebut di atas. Di mana nama-nama lainnya? Ada banyak juga seniman yang karyanya tidak bagus di era dulu, juga ada yang bagus. Seperti di saat ini, juga ada seniman yang karyanya memukau, juga ada yang karyanya jelek, atau biasa-biasa saja. Seniman baik ada di setiap zaman, begitu juga yang medioker, hingga yang tidak berbakat. 

Jadi, apakah seniman era dulu sudah dipastikan lebih baik, lebih militan, dan sebagainya dari seniman hari ini? Ada beberapa yang menjawab, karena zaman dulu ada pengekangan dari era Orba, sehingga seniman menjadi militan.

Tapi, di era sekarang, menjadi seniman teater, ternyata lawannya jauh lebih berat. Ada teknologi, gawai, aplikasi, media sosial, hingga permainan yang jauh lebih mudah menjangkau banyak orang, ketimbang kesenian. Lawan-lawan seniman hari ini juga berat, dan tidak ditemui oleh seniman-seniman zaman dulu.

Hal itu membuktikan bahwa pernyataan "seniman dulu lebih baik dari seniman hari ini" bukanlah sebuah pernyataan yang bisa dipertanggungjawabkan. Fakta lainnya adalah, ada banyak pemikiran di hari ini yang tidak dilakukan oleh seniman zaman dulu, karena perbedaan zaman. 

Maka perbedaan usia, atau distingsi antara zaman dulu dan zaman now sepatutnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Sebaiknya, lihat ke karyanya dengan standar estetika tertentu, tanpa perlu melihat usia dari senimannya. 

Ads