Advertisement
Gelora perjuangan kemerdekaan tetap menyala berapi-api
Tidak padam oleh riuh sepak terjang gemerlapnya duniawi
Tahun-tahun pergerakkan darah muda pecinta ibu pertiwi
Memanggul senapan atau bambu runcing maju bela negri
Aku bangga bahagia memiliki hak dan kewajiban hari-hari
Menuju cita-cita menjadi bangsa merdeka yang mandiri
Perang yang panjang melahirkan pahlawan berhati baja
Tercatat dalam daftar nama maupun yang tak bernama
Terbaring di taman pahlawan ataupun lenyap tak bersua
Namun detak degup teriak perjuangan untuk merdeka
Menyentuh mendobrak menggetarkan jiwa-jiwa muda
Kesadaran mengabdi nusa dan bangsa secara nyata
Kami lihat daya juangmu
Kami dengar pekik semangatmu
Kami rasakan deru patriotmu
Kami genggam kepal tinjumu
Sebagai putra putri nusa bangsa
Pewaris tunggal melangkah nyata
Peduli berbagi dengan untaian cinta
Mengisi kerja Indonesia merdeka
Bersama dalam karsa karya cipta
Bagimu negri kucinta selamanya
Aku tau siapa dan apa arti pahlawan
Aku kenal siapa dan arti perjuangan
Aku merasakan aliran darahmu
Aku lahir besar dari bara apimu
Aku menangis bersorak menari bersama
Di negri yang tumbuh dari jutaan nyawa
Tangan mengepal suara tuntut kemerdekaan
Rantai belenggu penjajah musnah terpatahkan
Merdeka........!
(puisi Rudolf Puspa dalam naskah drama “Sang Saka”
Karya Dolfry Inda Suri & Rudolf Puspa).
Skrip berdurasi 1jam 45 menit ini diproduksi teater keliling tahun 2014 dan pentas ke berbagai kota di Jawa, Bali, Lombok, Maluku, Kalimantan dan Sumatera. Terakhir pementasan di teater kecil Taman Ismail Marzuki tanggal 20 Oktober 2022 siang dan malam. Skrip ini merupakan kelanjutan dari skrip sebelumnya yakni “Jas Merah” karya berdua yang juga dibawa keliling.
Dari dua karya ini yang menjadi catatan utama adalah scene terakhir justru berpuncak pada tangis penonton. Tidak hanya yang tua yang memiliki gambaran tentang bagaimana jalannya perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, namun anak2 muda memiliki sisi lain yang menyentuh pelupuk hatinya hingga deras air mata mengucur. Sebagai sutradara saya tidak pernah menggiring untuk itu. Saya menyiapkan batin para pemain dan crew artistik untuk sedalam2nya mendalami arti “pahlawan”. Tidak ada adegan perang melawan penjajah. Justru adegan2 diisi oleh peran2 anak muda bahkan yang milenial sedang hidup asyik di abad digital yang sedang menguasai mereka. Namun ketika secara imajiner bertemu dengan apa yang disebut dengan “sang saka merah putih” mulailah tumbuh sebuah kesadaran baru bahwa “merah putih” bukan sekedar bendera namun dibelakangnya terhampar ribuan bahkan jutaan mayat yang telah berjuang untuk mengibarkan. Merah putih lambang kemerdekaan bangsa.
Sedikit mengingatkan bahwa Merah putih berkibar pada tanggal 17 Agustus 1945 menandai hari proklamasi kemerdekaan bangsa yang diucapkan dan ditanda tangani oleh bapak proklamator Bung Karno dan Moh Hatta. Jelas tertulis mereka adalah wakil2 bangsa Indonesia. Jadi hindari ikut serta salah kaprah bahwa 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan NKRI. NKRI baru diresmikan 18 Agustus 1945 dengan memilih Sukarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.
Melalui ruang ini saya mencatatkan pengalaman yang sangat dalam telah bersemayam dihati sejak pertama pentaskan naskah “sang saka”. Dari perenungan saya selama ini kutemukan bahwa sejak menulis puisi di akhir skrip ini seluruh gambar tentara2 pejuang kemerdekaan lenyap dan yang timbul adalah teman2 dekatku yakni yang telah ikut melangkah bersama memperjuangkan kehadiran teater dengan keliling keseluruh pelosok tanah air sejak 1974. Setiap kalimat dari puisi tersebut merupakan ungkapan nyata dari potret manusia pejuang yang tak kenal lelah siang malam menggelorakan teater Indonesia.
Drama “Mega Mega” karya Arifin C Noer yang dipentaskan hingga 107 kali selama keliling sejak awal itu telah menginspirasi teater keliling sehingga memiliki garis besar haluan semangat dalam berkarya. Bukan sekedar pertunjukkan yang menghibur namun membawa gelitikkan tentang hidup dan menghidupi sebuah bangsa merdeka yang memiliki tiga tujuan kemerdekaan yakni ; mensejahterakan bangsa, mencerdaskan bangsa dan turut menjaga perdamaian dunia. Trilogi yang selalu hadir disetiap ajaran2 almarhum Bung Karno sepanjang hayatnya karena memiliki kecintaan pada bangsanya. Hari hari ini kita bisa membaca berita bahwa Tap MPRS no XXXIII/MPRS/1967 ternyata sudah dicabut tahun 2003. Artinya bahwa Bung Karno terlibat peristiwa G30S tidak terbukti. Bung Karno tidak ditemukan melakukan tindakan yang bernilai pengkhianat bangsa. Melalui ruang ini saya termasuk yang sangat bahagia membaca berita tersebut. Bung Karno adalah pahlawan bangsa.
“Segala bisa asal mau” dan “Jangan terlalu mengharap, kecewa pada akhirnya”. Dua kalimat dari Mega Mega benar2 memiliki cakupan pemahaman hidup yang kuat namun tidak mudah menjabarkannya, apalagi melaksanakannya. Dua kalimat yang tampaknya berseberangan ini justru menjadi satu kesatuan yang kuat sebagai jalan hidup. Orang bisa dan boleh saja berapi2 mengejar apa yang dimau namun ada peringatan bahwa ada daya rem yang perlu dimiliki yakni kalimat kedua tersebut. Dua kalimat indah yang beriringan bagai rel kereta api yang menuju titik akhir yang sama. Sangat mudah ciptakan mimpi, sangat mudah dan cepat sekali mengatakan “mau” atau bahasa kini “siap”. Tapi kenyataannya apa mau melakukan apa yang dikatakan siap itu? Belum lagi pertanyaan apa mampu? Benarkah sudah memiliki disiplin berkarya teater? Mampukah menerima kegagalan dalam berproduksi? Sebab lewat kegagalan maka timbul kesadaran memperbaiki. Salah satu ciri tidak mampu menerima kegagalan adalah selalu cari kambing hitam.
Sang Saka yang tiap pertunjukkan digelar selalu membuatku ikut meneteskan air mata semakin menyadarkan apa arti pahlawan yang ternyata ada disekitar kita. Aku ingat betapa teman2ku terdekat yang telah ikut merasakan bahwa untuk mencapai satu pergelaran teater betapa banyak yang disebut “korban”, “mengorbanan”, “dikobarkan”,”berkorban”. Dari semua itu ada nilai hidup yang sama yang justru menjelma sebuah kekuatan untuk berkarya bagi banyak orang. Ketika mampu melihat mendengar dan kemudian merasakan bahwa semua laku kita adalah bukan untuk diri sendiri maka “korban” dengan bermacam awalan dan akhiran itu terasa begitu indah dan memuaskan hati. Aku ingat satu bungkus nasi berlauk tempe dan cabe terasa nikmat dimakan lima orang. Sebatang rokok kretek begitu nikmat diisap lima orang bergantian. Satu gelas air teh pahit terasa begitu manis diminum lima orang. Berjalan mendaki bukit terjal memanggul koper peralatan manggung dengan hiasan untaian keringat begitu terasa sebuah kebahagiaan tersendiri. Terminal bis antar kota, stasiun kereta api hingga halte yang bukan bangunan layak harus diterima sebagai ruang penantian sang pemimpin yang sedang berjuang menghadap pemimpin kota mencari dukungan agar bisa menghibur rakyatnya. Semua itu dijalani dengan tetap bermata terang dan canda ria hingga justru membawa suasana gembira sekitar. Semua dijalani bukan satu dua hari namun bisa berbulan-bulan. Bukan karena jadwal pementasan yang padat tetapi memang karena tidak ada dana untuk pulang. Tekad baja memegang senjata “the show must go on” menjadikan kami berjiwa pantang menyerah.
Kibaran sang saka dari hati menebar keharibaan tiap penikmat panggung kami terasa sebagai kibasan pedang para pahlawan kemerdekaan. Mereka yang tak terganggu lapar dan haus dalam menyiapkan panggung untuk kemudian malam harinya bermain sandiwara dan begitu bahagia setiap mendapat tepukkan, lemparan tawa penonton benar2 kurasakan sebagai serdadu2 di medan laga membawa hidangan penawar dahaga hati yang sedang lelah atau gelisah ataupun tertekan oleh situasi kehidupan sosial hingga ekonomi dan politik. Mereka butuh katarsis, butuh sekoci2 untuk menuju lautan bebas hingga berlabuh di tanah merdeka, ibu pertiwi mereka. Aktor2 teater datang dan menyediakan semua peralatan sehingga pelayaran bisa terwujut. Alangkah besar jasa2 kalian, betapa mulia hati kalian, sangat terharu dan bangga bersama kalian.
Jika aku menangis setiap pementasan sang saka digelar maka sentuhan kepahlawanan kalianlah yang telah mengatakan bahwa karya seni panggung ini bak lambaian atau kibasan merah putih sang saka. Kalianlah sang saka teater yang telah pontang panting memeras keringat hingga berdarah-darah berjuang bagi kesejahteraan, kecerdasan dan perdamaian umat manusia didalam maupun luar negeri. Namun barangkali seperti yang aku katakan melaui puisi diatas barangkali kalian termasuk pahlawan yang tak bernama, yang tak tercatat, yang tak ada di makam2 pahlawan. Tak perlu kalian menangis kawan karena aku telah mewakili kalian. Terutama kepada kalian yang telah mendahului kami kembali ke pangkuan Sang Pencipta percayalah di alam keabadian kalian mendapat tempat setimpal. Di dunia tak ada sematan bintang, gelar maestro, berdiri di istana presiden, namun di alam sorga kalian bersinar dengan sendirinya.
10 Nopember yang telah ditetapkan sebagai hari peringatan pahlawan akan selalu menjadi acara tahunan dengan berbagai slogan2 yang hebat hingga dahsyat. Slogan duniawi yang sayangnya dua tiga hari kemudian lenyap oleh kesibukan harian yang datang dan pergi yang mau tidak mau butuh diperhatikan. Namun sang saka teater bagiku tak lenyap karena selalu muncul di setiap produksi dimana usai pertunjukkan penonton menyalami dan tak lupa mengucap “aku menangis”. Aku tak pernah bertanya apa sebabnya namun aku menikmati sebagai pernghormatan kepada pejuang2 yang telah menancapkan tonggak2 sejarah di lautan rawa mengerikan yang mulai kita bangun sejak 1974 sehingga menjadi dataran dimana bisa menjadi ruang pertemuan dari hati ke hati sepanjang hidup.
Pintaku kepada generasi masa kini yang berkiprah diatas dataran luas yang megah adalah sesekali lihat kebawah bangunan bahwa disana ada tonggak2 sejarah yang telah ditancapkan kedalam lumpur pekat rawa hitam penuh binatang ganas mematikan yang siap menerkam serta kobaran nyamuk berbahaya. Satu saja pintaku yakni “ingatlah” mereka. Dari tidak ada menjadi ada dan selanjutnya terus mengada. Teater pada umumnya serta teater keliling khususnya memiliki pahlawan2 yang layak “diingat”. Cukup yang kini berada diatas tonggak2 sejarah sajalah yang mengingat dan tak perlu berteriak meminta orang lain. Membaca sejarah teater Indonesia maka baru ada dua teater yang berkeliling. Sandiwara Dardanela pimpinan Don Pedro tahun perjuangan kemerdekaan dan yang kedua adalah teater keliling.
Ketika tanggal 26 Desember 2016 aku mendapat gelar “ABDI ABADI” dari Federasi Teater Indonesia hatiku menangis bangga terharu memikul beban yang bukan ringan. Air mataku berurai di panggung Graha Bhakti Budaya malam itu melihat teman2 seperjuangan yang menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada berdiri memeluk dari balik piagam penghargaan tersebut. Bukan hanya aku gelar ini tertancap tapi juga dihati mereka. Maka di hari pahlawan ini aku berseru kepada mereka semua :
“Kepada pahlawan2 teater, yang masih hidup ataupun yang sudah almarhum; hormat senjata keindahan seni. Grak”.
Salam jabat hari pahlawan.
Duren seribu Bojongsari Depok.
9 Nopember 2022.
Rudolf Puspa