Advertisement
PojokSeni - Siapa yang tidak kenal nama dramawan terkenal asal Inggris, William Shakespeare? Karya-karyanya, terutama yang dibuat di tahun 1601 hingga 1608 (disebut periode puncak kreativitas Shakespeare), menjadi mahakarya yang dikagumi dunia hingga hari ini. Beberapa karya yang dibuatnya di periode tersebut antara lain Hamlet, Othello, Machbeth, King Lear, Antony and Cleopatra, Coriolanus, Troillus and Cressida, Measure for Measure, Timon of Athen, dan Pericles. Deretan karya tersebut menjadi masterpiece dari Shakespeare sekaligus masa keemasan teater Inggris.
Ketika era tersebut, Inggris dipimpin oleh Ratu Elizabeth I, sehingga era keemasan teater Inggris ini lebih dikenal dengan sebutan era Elizabethan. Ketika Elizabeth I wafat di awal dan Raja James I naik tahta tahun 1610, William Shakespeare sudah lama memasuki periode akhir dari kekaryaannya. Shakespeare meninggal di tahun 1616, dan "tongkat estafet" dilanjutkan oleh beberapa nama lain seperti Thomas Dekker, Thomas Heywood, John Marston, dan Thomas Middleton. Para pengganti ini tidak segigih Shakespeare dalam usaha mencapai kesempurnaan artistik. Drama-drama yang dihadirkan cenderung hanya mengandalkan "ketegangan", "sensasi", persis sinetron Indonesia hari ini.
Maka plot yang disusun artifisial, sensasi-sensasi yang sentimental, dan memuaskan penonton di "luar" tanpa pesan yang mendalam, menjadi tontonan di era pasca Shakespeare. Saat itulah lahir lebih banyak drama tragedi-komedi, yang ditulis oleh John Fletcher, John Ford, John Webster, hingga Francis Beaumont. Karya-karya diproduksi dengan cepat dan massal, demi keuntungan ekonomis, mengantarkan teater Inggris perlahan keluar dari masa keemasannya.
Tidak begitu lama masa kepemimpinan King James I, tahun 1640, Raja Charles I naik tahta. Saat itu teater Inggris sudah tampak seperti "barang murahan", hanya hiburan semata tanpa memberikan pengetahuan, pengalaman, atau mungkin pencerahan sebagaimana era Shakespeare. Penonton hanya terdiri dari serombongan "grounding" yang mabuk dan ribut selama pertunjukan berlangsung. Raja Charles I didukung oleh kaum puritan, yang kemudian secara perlahan tapi pasti mulai menutup satu per satu teater di Inggris. Tidak butuh waktu lama, tahun 1642, semua jenis teater nyaris sangat sulit ditemukan di Inggris. Era setelah itu adalah era lenyapnya teater Inggris, ironis karena hanya selisih 15 tahun dari era keemasannya.
Zaman Restorasi Teater Inggris
King Charles II, era kepemimpinannya menjadi awal era restorasi teater Inggris |
Tahun 1660, setelah 20 tahun berkuasa, Raja Charles I wafat dan digantikan oleh Raja Charles II. Naik tahtanya Charles II sekaligus membawa harapan cerah bagi teater Inggris. Teater Inggris perlahan dihidupkan kembali, namun ada satu syarat yang harus dipenuhi. Teater harus direstorasi!
Teater Inggris hancur karena dikapitalisasi, direkayasa menjadi produk murahan, hanya sebatas permukaan, namun bopeng-bopeng untuk urusan artistik. Tidak ada lagi pembicaraan tentang moral sebagaimana yang menjadi pembicaraan utama era Shakespeare, justru hanya melodrama yang banal, klise, dan artifisial. Maka, dalam restorasi ini, teater mesti dijauhkan dari hal tersebut.
Perubahan kedua ada di panggung. Panggung era Shakespeare diubah menjadi panggung ala Italia dengan ciri setting bergambar perspektif. Awalnya setting panggung dibuat lebih universal, misalnya menggambarkan taman, lapangan, istana, atau mungkin jalanan. Tahun 1700-an, setting panggung menjadi lebih spesifik, sesuai dengan tema pertunjukan.
Perubahan ketiga juga ada di penonton. Pertunjukan dijaga sebagai sebuah karya seni yang harus dihormati. Maka dari itu, penonton-penonton tipe "grounding" yang kerap merusak pertunjukan, tidak lagi diperkenankan masuk ke gedung teater.
Perubahan keempat terjadi pada para pemain. Pemain mendapatkan pelatihan yang lebih intens untuk meningkatkan kemampuan seni peran mereka. Hal itu juga yang menyebabkan adanya "bintang" lahir di era ini. Bahkan, kadang-kadang penonton sangat membludak di suatu pertunjukan hanya karena ada "bintang" terkenal yang bermain di drama tersebut. Hal ini berdampak pula ke sistem penggajian, di mana para "bintang" ini akan dibayar lebih besar ketimbang pemain lainnya. Salah satu nama aktor "bintang" di era ini adalah David Garrick. Selain memiliki wajah tampan dan tubuh yang proporsional, Garrick juga memiliki bakat dan talenta yang baik di bidang seni peran.
Comedy of Manner dan Heroic Drama
Awalnya setelah era restorasi ini dimulai, ada dua jenis drama yang paling sering dipertunjukkan. Pertama Comedy of Manner, dan kedua Heroic Drama.
Comedy of Manner
Pertunjukan ini merupakan pertunjukan satire yang mengejek masyarakat kelas atas, dan tentunya "kebebasan moral" menjadi hal yang paling ditekankan dalam pertunjukan ini. Salah satu yang paling sering dipertontonkan adalah kebiasaan tokoh dalam cerita yang kerap menipu tokoh lainnya, namun tipuan itu sangat jelas ditampilkan pada penonton. Komedi ini sangat digemari rakyat kalangan bawah, karena itu kadang-kadang pertunjukan ini tidak hanya ejekan ringan, tapi sering juga kasar.
Ketika era Raja Charles II turun tahta, dan penggantinya juga berasal atau didukung kaum puritan, maka pertunjukan Comedy of Manner mulai dibatasi. Para penulis komedi ini mengubah ejekan kasar tersebut menjadi komedi sentimental serta penggambaran emosi pada kekakuan dogma (baik agama maupun tradisional) di Inggris.
Heroic Drama
Berikutnya adalah Heroic Drama atau drama kepahlawanan. Drama ini setidaknya muncul di publik era 1660-an hingga 1680-an. Dialog ditulis dalam bentuk sajak-sajak, dan menyuguhkan konflik antara cinta, kehormatan, dan perjuangan. Ceritanya lebih sering terlalu retoris, dan ada banyak adegan kekerasan di dalamnya. Rata-rata meniru bentuk naskah yang ditulis oleh Shakespeare.
Bentuk drama ini kemudian perlahan berubah menjadi drama sentimental untuk membangkitkan simpati (berlebihan) dari penonton pada penderitaan orang lain. Kisah seseorang yang memulai hidup dari sebuah penderitaan, kemudian bertarung melawan hidupnya, hingga semua cobaan terus menderanya. Tentunya, tontonan sentimental ini sukses menguras air mata penontonnya, dan sangat digemari di Inggris setidaknya hingga abad ke-18.
Misi drama ini cukup simpel: manusia yang menangisi seseorang baik yang didera cobaan, dipercaya bisa menjadi jiwa-jiwa yang sehat dan mencintai manusia lainnya. Nama Sir Richard Steele menjadi seorang dramawan yang dikenal karena menulis drama sentimental berjudul The Conscious Lovers di tahun 1727 yang sukses besar. Setelah itu, muncul nama penulis lain (baik yang menulis comedy of manner, maupun drama of hero) seperti John Gay, Oliver Goldsmith, hingga Richard Sheridan.
Jenis pertunjukan lain akhirnya lahir setelah itu. Antara lain Ballad Opera (komedi yang liriknya dinyanyikan), Burlesque (parodi dari drama serius yang terkenal), hingga pantomime (akting-tari-musik tanpa dialog dengan topeng bedak mencolok). Namun, tahun restorasi ini yang menjadi tonggak kembalinya teater Inggris ke jalurnya, setelah sempat "tersesat" hingga salah jalan dan menuju kematian di era Charles I.