Advertisement
Pertunjukan Laron karya Gepeng Nugroho sutradara Rani Iswari |
Cahaya biru perlahan menampilkan gerbang utama dari
sebuah istana laron. Di tengah situasi remang, para laron gelagapan mencari
cahaya karena pasokan yang mulai menurun. Akhirnya, persoalan dapat
diselesaikan dengan penggunaan sumber daya candangan dan cahaya perlahan
kembali menyala. Ketika suasana panggung telah terang sepenuhnya, tergambarlah
sebuah istana bawah tanah yang dipenuhi oleh para laron. Di sisi kanan
panggung, sang raja laron sedang tertidur pulas dan di gerbang utama para Gonteng
(prajurit istana) sedang berjaga di pintu gerbang. Maka dimulailah cerita
tentang problematika yang dihadapi para laron dalam program migrasi.
“Aku siap, sudah
mulai beberapa saat yang lalu, berapa jam yang lalu, beberapa hari yang lalu,
bahkan sebelum aku dilahirkan. Aku sudah siap untuk itu. Selamat tinggal semua
kenangan, selamat tinggal semua yang terkasih, selamat tinggal segala
kepengapan, selamat tinggal sang perkasaku. Kutinggalkan semua kenangan yang
terindah, ingat-ingatlah diriku, sahabat dan semua yang terkasih”
Pertunjukan Laron
karya Gepeng Nugroho sutradara Rani Iswari adalah produksi ke-49 dari
Teater Art in Revolt (AiR) Jambi.
Pertunjukan yang berdurasi satu setengah jam ini digelar di gedung Teater Arena
Taman Budaya Jambi. Karya Laron
dengan lancar dipentaskan selama tiga hari (6-8/10/2022) berkat dukungan dari
UPTD Taman Budaya Jambi, Kopi Paman, Gerai Betubi, Ajwa Tour & Travel dan
Idealisme Store. Sebagai sutradara, kerja artistik Rani Iswari didukung oleh EM
Yogiswara sebagai dramaturg dan Titas Suwanda sebagai skenografer, untuk
kemudian dieksekusi oleh Oky Akbar dan tim selaku penata artistik.
Produksi ke-49 Teater Air Jambi |
Laron mengisahkan tentang harapan akan keindahan,
kebijakan yang merugikan, upaya kudeta, angka kelahiran yang tinggi, ledakan
populasi dan ancaman kepunahan, berbagai persoalan tersebut dirangkum dalam
kehidupan para laron yang pelik di dalam istana bawah tanah. Berbagai konflik
dan fenomena yang berseliweran dalam pertunjukan Laron, membuka ruang dialogis yang begitu luas untuk melahirkan
tafsir-tafsir baru bagi penonton yang mungkin tidak termasuk ke dalam konvensi
tafsir yang menjadi visi dramatik Rani Iswari sebagai sutradara. Artinya,
pertunjukan Laron sebagai peristiwa
teater telah berjalan dengan baik. Namun, tafsir umum atas pertunjukan Laron bergerak dalam spekturm kritik
sosial.
Hal yang menarik dari pertunjukan Laron oleh Teater AiR Jambi ini adalah tawaran tafsir atas upaya memanusiakan laron sebagai basis penciptaan tokoh.
Proses perwujudan tokoh ini tentunya cukup kompleks, karena laron sebagai
entitas yang memiliki sifat-sifat manusiawi tidak dapat diobservasi dan
divalidasi dari dimensi laku dan wataknya. Sehingga, sumber data primer hanya
tersedia pada ranah imajinasi, sedangkan data sekundernya mungkin dapat
ditelusuri dari beberapa film animasi yang menerapkan pola serupa
(personifikasi hewan). Namun, tetap saja keseluruhan akting hanya bertumpu pada
eksplorasi imajinai. Maka dari itu, perwujudan tokoh laron sangat bergantung
kepada tafsir aktor atas tokoh.
Wujud akting yang dipilih aktor (berdasakan kesepakatan
tim artistik) adalah bentuk akting karikatural. Memilih bentuk akting
karikatural memang merupakan pilihan yang tepat untuk memerankan tokoh Laron
yang merupakan tokoh satiris. Pilihan bentuk akting ini kiranya tepat untuk
mewujudkan tokoh laron, karena untuk memanusiakan laron akan sulit jika
menggunakan pola inner act (akting
dari dalam). Hal ini dikarenakan tokoh dalam naskah Laron hanya memiliki dimensi psikologis
dan mungkin juga sosilogis, namun secara wujud fisik tidak tersedia datanya.
Sehingga, pola yang tepat adalah merumuskan bentuk akting dari luar (outer act). Pola ini diwujudkan dengan
cara merumuskan bisnis akting terlebih dahulu barulah para aktor merasakan
motif aktingnya.
Para aktor dalam pertunjukan Laron memformat aktingnya ke dalam gaya representasi yang
nonrealistik. Pilihan ini menjadi tepat karena untuk mewujudkan akting Laron
yang realistis sangatlah tidak realisitis. Format bisnis akting yang dipilih
adalah berjalan dengan kaki menyeret, warna vokal yang cempreng, gestur dan
dialog yang ekspresif. Karena kebenaran dari akting ini tidak dapat divalidasi,
maka tawaran format bisnis akting ini tidaklah keliru, melainkan mampu
memberikan daya tawar baru untuk kekayaan seni peran.
Namun, pemilihan bentuk akting karikatural tentunya
memiliki berbagai resiko. Salah satunya adalah struktur dramatik yang tidak
dapat terkawal dengan ketat dan pertumbuhan karakter yang stagnan. Hal ini
tentunya berpengaruh kepada tidak tercapainya intensitas emosi pada
adegan-adegan yang dramatis. Meskipun demikian, pilihan akting karikatural
telah berhasil menyuguhkan pertunjukan Laron
yang membahagiakan. Setiap peristiwa menghadirkan komedi situasi yang cair
dan segar, karena para aktor tetap bermain di porsi yang tertata. Ini menjadi
begitu membahagiakan karena para aktor begitu tulus merasakan peristiwa tanpa
ada tendensi untuk melucu.
Hal lain yang sangat perlu diapresiasi dari
pertunjukan Laron adalah komposisi panggungnya. Meskipun set panggung yang
dibangun begitu besar dan beresiko menenggelamkan aktor. Namun, persoalan
tersebut terselesaikan dengan penataan blocking
dengan komposisi yang rapi. Sehingga
panggung yang luas dan desain panggung yang besar dapat terkuasai dengan baik.
Meskipun ada beberapa penempatan blocking
aktor yang tidak menguntungkan bagi level permainan dan bentuk
panggung. Salah satunya adalah posisi pintu gerbang utama dan posisi singgasana
raja laron yang sejajar dan berat sebelah. Masalah komposisi ini sebenarnya
terselesaikan dengan hadirnya tokoh Semut yang mengisi sisi kiri panggung,
namun strata sosial dari tokoh raja laron mengalami degradasi karenanya.
Keutuhan dari akting karikatural para Laron didukung
pula oleh bantuan tata busana. Kain transparan dengan aksen garis-garis
berwarna, ditambah dengan antena dan sayap, menawarkan tampilan Laron yang unik. Hal ini
tentunya menjadi faktor pendukung untuk keberhasilan para aktor dalam
mewujudkan tokoh Laron ke atas panggung. Sayangnya, pemilihan konsep tata rias
aktor tidak begitu menguntungkan untuk ekspresi aktor. Pilihan tata rias tidak
menegaskan detail-detail ekspresi, bahkan menenggelamkannya. Bentuk-bentuk yang
membuat pola rias di wajah aktor lebih mencuri fokus dibandingkan dengan
ekspresi aktor itu sendiri. Pilihan ini tentunya sangat merugikan aktor,
terlebih ketika adegan-adegan yang membutuhkan intensitas emosi yang tinggi.
Secara keseluruhan, pertunjukan Laron sutradara Rani Iswari sungguh membahagiakan. Rani berhasil
menggarap pertunjukan yang aman, meskipun dengan materi aktor yang didominasi
oleh aktor muda. Tentunya ini merupakan kerja direktorial yang cukup kompleks
dan kiranya Rani telah berhasil menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat memukau bagi
sutradara perempuan yang (berdasaran biodata narasi) sedang belajar menjadi
sutradara. Semoga Rani Iswari sebagai sutradara tetap produktif dan kreatif untuk memberi warna
baru bagi perteateran di Indonesia, khususnya di Jambi.