Undangan Terbuka: Hajatan Panjang Umur Perjuangan, Jaga Marwah Taman Ismail Marzuki -->
close
Adhyra Irianto
23 September 2022, 9/23/2022 10:16:00 AM WIB
Terbaru 2022-09-23T03:16:18Z
ArtikelBerita

Undangan Terbuka: Hajatan Panjang Umur Perjuangan, Jaga Marwah Taman Ismail Marzuki

Advertisement
Ilustrasi taman ismail Marzuki


PojokSeni/Jakarta - Menunggu persidangan di Mahkamah Agung Republik Indonesia, Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM) akan menyelenggarakan kegiatan yang bertajuk PANJANG UMUR PERJUANGAN - Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki. 


Kegiatan yang akan berlangsung selama dua malam berturut-turut, Jumat dan Sabtu, tanggal 23 dan 24 September 2022 ini, yang dimulai pukul 19.30, dirancang dengan mengusung semangat ‘poetic resistance’. Para pegiat seni musik, teater, tari, sastra, rupa, dan film, lebih 100-an orang, sudah menyatakan kesiapan untuk tampil menyuarakan permasalahan faktual berkenaan dengan kebijakan pemerintah dalam mengurus kesenian dan kebudayaan. Tidak hanya menyangkut soal revitalisasi TIM, tapi juga soal nasib ruang-ruang ekspresi kesenian di berbagai daerah. 


Pengisi acara, tercatat antara lain, kelompok musik Lokal Ambience, Pandai Api, Jali Gimbs, Republik 21, Sanggar Saraswati, Bale Seni Intan Bulaeng, Arafat Ensamble, Pangjek. Juga kelompok seni tradisi Komunitas Ronggeng Deli, Bale Seni Intan Bulaeng, dan Sanggar Tari Saraswati. Akan tampil pula Cilay Dance Theater, Agadebi, Joind Bayuwinanda, Agus Nur Amal, Willy Fwi, Buyung Surya, Exan Zen, Sihar Ramses Simatupang, Sari Chikata, Endin Sas, Nuyang Jaimee, Qthink, Ipoer Wangsa, Titieq Chemonk, dan sejumlah seniman lainnya, termasuk para perupa, Edy Bonetsky, Dadang Ismawan, dan lain-lain. Sepanjang acara, berlangsung pula pameran foto dan pemutaran film. 


Acara yang digelar di pelataran luas Teater Besar TIM itu, tidak berkaitan dengan rencana, yang disebut-sebut sebagai ‘’grand-launching” (wajah baru TIM) itu. Istilah yang ditolak dengan keras oleh FSP-TIM, karena tidak mencerminkan sejarah panjang TIM sama sekali. Tidak pula menyiratkan esensi dan fungsi TIM sebagai kawasan kesenian. Dengan istilah itu, seakan-akan TIM menjelma begitu saja, tanpa masa lalu. Istilah grand-launching dalam pandangan FSP-TIM, kuat mengesankan kegairahan profan, pemujaan terhadap bentuk pisikal semata, dengan aroma dagang yang kental. Tidak juga mengedepankan penghormatan terhadap bahasa nasional Indonesia. 


“Wajah baru TIM” sebagaimana iklan promo yang gencar disosialisasikan oleh PT Jakpro, di mata FSP-TIM tidak mengandung makna yang signifikan. Lebih terasa sebagai sensasi artifisial saja. Tampak luarnya wajah baru, namun tampak dalamnya mengandung banyak perkara. 


Bertolak dari sekian kali Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung antara FSP-TIM, PT Jakpro, Dinas Kebudayaan Jakarta, dan TGUPP Gubernur Jakarta, serta peninjauan langsung di lapangan dan investigasi yang dilakukan oleh FSP-TIM, ditemukan sejumlah permasalahan, baik teknis maupun non-teknis. Teater arena yang salah disain, ruang-ruang latihan seni yang tidak sesuai dengan kebutuhan seniman, teater halaman yang buruk, dan sebagainya. Kesalahan merancang dan membangun, yang diakui oleh Direktur Utama PT Jakpro, Widi Amansto pada pertemuan dengan FSP-TIM dalam forum rapat di Fraksi PDIP Jakarta, yang ia sebut sebagai “nasi sudah jadi bubur.” Kesalahan yang juga diakui salah seorang anggota Akademi Jakarta dalam sebuah diskusi. 


Penamaan sejumlah ruang dan bangunan di kawasan itu, dengan menempelkan nama-nama para seniman yang pernah lahir dan besar di kawasan TIM, dilakukan pula dengan serampangan, tidak sesuai fatsun yang pantas. Forum Seniman Peduli TIM sangat menyesalkan cara-cara yang tak mengindahkan penghormatan dan pemuliaan itu, sehingga mengabaikan nama seorang perempuan seniman, koreografer, pembaharu tari Minang, Huriah Adam. Padahal, dahulu, di kawasan rumah besar seniman itu, pernah ada Sanggar Tari Huriah Adam, yang didedikasikan karena idealisme berkeseniannya. 


Persoalan gawat lainnya adalah penetapan tarif penggunaan ruang yang dilakukan secara sepihak oleh PT Jakpro. Telah santer menjadi pembicaraan, gedung “Graha Bakti Budaya” yang baru, konon sewanya dipatok dengan tarif Rp 185 juta per delapan jam. Tarif yang sangat tidak masuk akal, apalagi jika itu ditujukan kepada para seniman. Sementara itu, disebut-sebut gedung kesenian itu akan dibuka pula untuk acara pesta perkawinan, perayaan ulang tahun partai politik, dan sebagainya, yang tidak berkenaan dengan urusan kesenian. 


Revitalisasi TIM yang didasarkan pada Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 63 Tahun 2019 dan Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 16 Tahun 2022, juga menghadirkan persoalan rumit yang ganjil, menyangkut institusi pengelola dan mekanisme pengelolaannya. PT Jakpro (yang konon menggunakan dana Penyertaan Modal Daerah yang bersumber dari APBD DKI Jakarta, dan dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang bersumber dari APBN), harus tetap ‘bercokol’ di TIM sebagai pengelola. Terbetik kabar, pihak BUMD yang tugasnya membangun dan merawat bangunan itu telah pula menyusun skema “subsidi” atas segala kegiatannya di TIM, disamping memungut langsung sumber-sumber pendapatan yang ada di kawasan yang ia bangun, seperti jasa parkir kenderaan, penyewaan ruang dan bangunan, jasa penayangan iklan luar ruang, sewa kamar-kamar penginapan, sewa lapak kuliner, dan lain-lain. Wacana ‘Public Service Obligation’ (PSO) dipakai sebagai alasan bagi PT Jakpro untuk bisa tetap menguasai TIM, hingga 28 tahun ke depan, atau lebih. 


Dengan sejumlah persoalan silang kelibut yang absurd dan membuat bingung banyak pihak itu, maka FSP-TIM tidak dapat memahami alasan diselenggarakannya grand-launching wajah baru TIM, yang aneh itu. FSP-TIM menolak formalitas ‘peresmian’ itu, lantaran revitalisasi TIM sendiri masih belum tuntas. 


Hajatan Panjang Umur Perjuangan - Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki, oleh FSP-TIM dimaksudkan sebagai ruang pengabaran, mendedahkan perspektif yang lurus dan terang, dari sudut pandang obyektif kalangan seniman tentang apa yang senyatanya terjadi (das Sollen), dan apa yang seharusnya (dan Sein). 


*** 


Hampir tiga tahun usia gerakan #saveTIM, yang didukung oleh banyak tokoh, kalangan seniman dan budayawan, seperti Ajip Rosidi, Radhar Panca Dahana, Butet Kartaredjasa, Mohamad Sobary, Afrizal Malna, Putu Wijaya, Maria Darmaningsih, Ratna Sarumpaet, Nano Riantiarno, Elly Lutan, Syahnagra, dan lainnya, tidak lain adalah upaya pengawalan terhadap kebijakan revitalisasi TIM, seraya menawarkan kemungkinan-kemungkinan baik yang patut, yang semestinya. Dan bermaslahat. 


Pengawalan, dengan maksud mengeliminir berulangnya preseden buruk dalam pembangunan dan pengelolaan TIM, sebagaimana pernah terjadi di masa lalu. Pengalaman empirik yang traumatis, yang mengendap dalam benak banyak seniman, yang berawal dari diruntuhkannya Teater Tertutup, Teater Arena, Teater Terbuka, Wisma Seni, Sanggar Tari Huriah Adam, bangunan peninggalan Gubernur Ali Sadikin, yang konsepnya bersumber dari buah pikir para seniman, seperti Ajip Rosidi, Ilen Surianegara, Oe. Effendi, Arif Budiman, Ramadhan K.H., dan kawan-kawan. 


Ruang-ruang ekspresi seni itu diratakan dengan tanah, hanya karena hasrat menghabisi dan menghapus jejak Ali Sadikin. Lalu dimunculkanlah iming-iming, akan diganti dengan bangunan kesenian bertaraf internasional. Kelalaian, jika tak ingin disebut sebagai kebodohan pemangku kepentingan, yang pada gilirannya memenggal mata rantai dan denyut kreatifitas, karena yang hendak dibangun itu malah mangkrak dan terbengkalai bertahun-tahun.


Ide banal tanpa perencanaan yang matang itu muncul lagi di masa Gubernur berikutnya. TIM digadang-gadang akan dibangun ulang, dengan menambahkan dalam rancangannya area komersial berupa gedung perkantoran sekian lantai, yang dimaksudkan untuk disewa-sewakan. 


Untung saja, ketika itu, Ratna Sarumpaet, sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta waspada, dan segera menghimpun ratusan seniman untuk mengkaji dan mencermati niat pemerintah DKI Jakarta itu. Sudah barang tentu, niat buruk itu pun ditolak secara aklamasi. Cobaan yang sama berulang kembali di tahun 2019, ketika Gubernur Jakarta tiba-tiba mengeluarkan Peraturan Gubernur 


Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo untuk Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, yang memberi kewenangan luas bagi PT Jakpro untuk merancang, membangun, dan mengelola TIM selama 28 tahun. Pergub ‘ujug-ujug’ dan sembrono, yang penyusunannya tidak melibatkan kalangan seniman yang paham betul ikhwal kesalahan masa lalu dalam penanganan TIM, dan paham betul apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. 


Sejak awal, FSP-TIM telah melancarkan gerakan moral #saveTIM, menolak PT Jakpro sebagai pengelola TIM, dan menuntut agar Peraturan Gubernur yang keliru itu segera dicabut. Demikian pula dengan Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2022, ketentuan perubahan yang diterbitkan belakangan, yang isinya justru semakin menguatkan posisi PT Jakpro. 


*** 


Gerakan yang dilancarkan oleh FSP-TIM adalah gerakan yang sah, legal, bahkan diakui oleh para pihak pembuat keputusan dan pembuat kebijakan: DPRD DKI Jakarta, Komisi X DPR RI, dan Gubernur Anies Baswedan sendiri, ketika mengundang perwakilan FSP-TIM: Radhar Panca Dahana, Noorca M. Massardi, Exan Zen, Tatan Daniel, dan Joe Marbun, untuk membahas bermacam persoalan sehubungan dengan revitalisasi TIM. 


Ia pula yang menjanjikan digelarnya dialog yang konstruktif dengan FSP-TIM untuk membahas ikhwal pengelolaan TIM, sebagai aspek non-fisik revitalisasi TIM. Pengakuan itu diperkuat dengan kehadiran beliau pada acara Tahlil Budaya yang diselenggarakan oleh FSP-TIM pada tahun 2020. 


Sekarang ini, Mahkamah Agung RI telah menerima permohonan uji materiel terhadap kedua Pergub yang bermasalah tersebut. Hal yang jelas menguatkan. Bahwa persoalan yang disampaikan oleh FSP-TIM tidak sederhana, dan memenuhi asas dan prasyarat hukum, untuk ditelaah dengan serius oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung. 


Bertolak dari situasi dan kondisi obyektif sebagaimana dikemukakan, maka FSP-TIM mendudukkan dan mensifatkan hajatan Panjang Umur Perjuangan - Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki, pada Jumat dan Sabtu, tanggal 23 dan 24 September 2022, sebagai momen pengingat, sebagai ruang penyampaian pandangan dan pesan kritis seniman, sebagai momen introspeksi. 


TIM adalah rumah bersama para seniman, tidak hanya yang bergiat di Jakarta, tapi juga di berbagai mata angin Indonesia. Ia pun menjadi perlambang eksistensi kaum seniman di manapun, di segenap penjuru negeri ini. Kawasan konservasi yang telah menyejarah, yang tak bisa dikubur hanya oleh iklan “wajah baru TIM.” 


TIM adalah warisan luhur Ali Sadikin, Ajip Rosidi, dan kawan-kawan, sekaligus pula amanah yang dipinjam dari anak cucu. Oleh karena itu, wajib dijaga dengan sungguh-sungguh. Komersialisasi harus dijauhkan darinya. Dan kewajiban pemerintah terhadapnya adalah obligasi kultural dan konstitusional, yang tak boleh ditawar-tawar. Kewajiban yang sudah disuratkan dengan tegas dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. 


FSP-TIM secara prinsip menolak kegiatan ‘peresmian’ TIM, sebelum sejumlah persoalan yang merundung Pusat Kesenian Jakarta itu diselesaikan dengan baik, benar, terang, dan bermartabat. 


*** 


Pada momen hajatan “Panjang Umur Perjuangan” Menjaga Marwah Taman Ismail Marzuki nanti, FSP-TIM akan menyampaikan pernyataan dan seruan, yang bertolak dari fenomena dan persoalan riel yang ditemukan di kawasan Taman Ismail Marzuki. 5 (lima) butir pernyataan dan seruan tersebut, diberi tajuk: MANIFESTO CIKINI 73. 


Demikian siaran pers ini kami sampaikan kepada publik, kepada kawan-kawan jurnalis, sebagai maklumat dan penjelasan tentang sikap FSP-TIM dalam menyambut rencana ‘grand-launching’ wajah baru TIM, yang kabarnya akan diumumkan beberapa hari mendatang. Kami mengundang kawan-kawan media untuk hadir, menyaksikan pentas dua malam yang tidak biasa ini. Pentas dengan spirit ‘poetic resistance’ yang hangat. 


Jakarta, 23 September 2022 


Atas nama Forum Seniman Peduli TIM



Morgan Pasaribu

Ads