Noology: Kerangka Kerja Rekayasa Budaya ala Seng-Beng Ho -->
close
Adhyra Irianto
28 September 2022, 9/28/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-09-28T01:00:00Z
Artikel

Noology: Kerangka Kerja Rekayasa Budaya ala Seng-Beng Ho

Advertisement

Rekayasa Budaya Seng-Beng Ho


Pojok Seni - Noology adalah teori kerangka kerja yang ditujukan untuk rekayasa budaya baik untuk wilayah rekayasa, maupun wilayah ilmiah dan filosofis di sisi yang lain.  Noology dicetuskan oleh Seng-Beng Ho, seorang ilmuwan senior di Institut of High Performance Computing (IHPC), Singapura. Seng-Beng Ho memaparkan bahwa sebagai kerangka kerja, maka noology memiliki konvensi dan aturan tertentu dalam proses rekayasa budaya. Guru besar Sosiologi Seni di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Prof Arthur S Nalan membagi kerangka kerja berdasar noology Beng Ho menjadi tiga jenis, antara lain domain rekayasa, filosofis, dan ilmiah.


Dimulai dari domain rekayasa, yang ditujukan untuk menerapkan kaidah ilmu di dalam pelaksanaan kerja kreatif dari perancangan, operasional yang efektif dan efisien, serta bagaimana produk yang dihasilkan. Dalam hal ini, perekayasa (baik individu maupun grup) adalah seorang kreator atau pencipta, yang bergerak dalam dunia seni dan budaya. Tentu saja, tidak hanya seniman dan budayawan.


Sedangkan dari domain filosofis, yang dalam hal ini berkaitan dengan humanisme filosofis. Individu merupakan sumber nilai terakhir, dan individu rasional menjadi nilai yang paling tinggi. Perkembangan kreatif dan moral ini berkembang tanpa acuan pada sesuatu hal yang adikodrati (agama, budaya, mitologi, dan sebagainya).


Domain ilmiah terkait dengan pemikiran ilmiah, menggeneralisasi fakta-fakta empiris, penggunaan metode tertentu yang sistematis, runtut, terkonfirmasi, bisa diverifikasi, dan sebagainya. Maka, metode ilmiah merupakan teknik yang logis, matematis, direncanakan dengan baik, eksperimental, empiris, dan melibatkan teori-teori dalam penarikan kesimpulan untuk menciptakan sesuatu.


Sebuah karya seni, terutama yang berbasis riset, harus berbasis kerangka generalisasi yang konsisten dan sistematis. Mesti dilakukan konfirmasi dan verifikasi untuk memastikan riset tersebut bisa dijadikan pijakan bagi sebuah karya. Tidak hanya itu, namun landasan filosofis dari kekaryaan tersebut juga mesti dipertimbangkan. Ditambah lagi, domain rekayasa juga perlu diutamakan karena keberhasilan suatu karya seni adalah bila mampu memengaruhi publik, mendapatkan perhatian, dan tentunya bisa menjadikan sebuah peluang untuk pengembangan satu kesenian maupun kebudayaan. Karena itu, Prof Arthur juga menyebut bahwa kerangka kerja ini dianggap sebagai satu perencanaan kerja dengan pelibatan tiga wilayah sekaligus, yakni filosofis, ilmiah, dan rekayasa budaya.

Ads