Waktu, Tendanglah Kerumunan! -->
close
Adhyra Irianto
01 August 2022, 8/01/2022 07:30:00 AM WIB
Terbaru 2022-08-01T00:30:00Z
ArtikelUlasan

Waktu, Tendanglah Kerumunan!

Advertisement
Lukisan Salvador Dali
Ilustrasi: Lukisan "The persistence of memory" karya Salvador Dali


Oleh: Prof. Yusmar Yusuf*


Waktu adalah puisi yang dijepit oleh dua ketiadaan. Hidup di dalam sebuah ruang bernama bumi, amsal bak menyewa sebuah auditorium. Masa sewa itu amat terikat dengan waktu. Selesai penyewaan, maka selesailah waktu penggunaan auditorium. Dulu lagi, bumi auditorium itu ditempati generasi leluhur kita (itulah waktu, yang diberi kepada mereka sebagai penghuni/penyewa). Saat ini, auditorium, kita tempati, jelang pergantian generasi penyewa berikutnya. 


Waktu adalah entitas di dalam kekinian. Masa lalu itu tiada, demikian pula masa depan, juga tiada. Waktu adalah apa-apa yang tengah berada di depan hidung dan mata saat ini. Waktu, bagi para sufi adalah apa yang bersama dan menyertai kita di masa sekarang, yakni entitas wujud di antara himpitan dua ketiadaan: masa lalu dan masa depan. Waktu yang tersisa manfaatkanlah sebaik mungkin. Hargailah kekinian, agar kita tahu bagaimana indah dan merdunya masa kini.


Kita tak hidup di masa depan, hanya menumpang hidup di masa depan (sebuah ketiadaan). Syaidina Ali berujar mengenai waktu: “Maka di manakah apa yang telah lalu dan apa yang akan datang. Berdirilah, dan ambillah kesempatan di antara dua ketiadaan”. Kaum penukil tasawuf, memandang diri mereka sebagai “anak zaman” (Ibn al waqt). Harus cedas mengisi waktu yang diberi dalam sebuah ruang yang akan berganti pemakainya. Dalam waktu, dikenal satu kata kunci sebagai penggoda: “kesempatan” (chance, ocassion, opportunity). Ingat, mereka yang cerdas mengenderai waktu lah yang bisa memetik manisnya pepatah “kesempatan itu datang hanya satu kali”. 


Wah, progresifkah tasawuf? Amat dan sangat progresif. Tak sebagaimana difahami awam selama ini. Mereka yang menyia-nyiakan waktu adalah sekumpulan makhluk yang pengumbar kemubaziran. Waktu, adalah gambaran tentang kita saat ini. Bukan masa lampau, apatah lagi masa depan. Setiap generasi dan setiap zaman memproduksi sakralitas dan ideologinya masing-masing. Apa-apa yang dianggap suci oleh nenek moyang kita di sebuah masa, belum tentu sakral bagi kita hari ini. 


Di sini, waktu, merujak makna. Begitu pula ideologi pada sebuah masa, belum tentu relevan dan berdaya guna bagi waktu kini. Sakralitas dan ideologi yang dikonstruksi oleh leluhur masa lalu, hanya relevan dan sejalan dengan kenyataan waktu bagi mereka saat itu. Walau tak dinafi, mungkin ada sisi atau beberapa elemen sakralitas dan ideologi leluhur, masih ada relevansi kekinian. Pun, tugas untuk mengisi kekinian (sebagai waktu yang terhidang) dengan resam dan sakralitas yang menyesuaikan dinamika hidup dan gelombang capaian peradaban di antara manusia global yang amat kompetitif itu, sangat tak terelakkan. Sebuah keniscayaan. Berpacu dengan waktu progresif. 


Kekinian yang tengah berlari adalah kesempatan emas untuk diisi dengan kaidah (ko)temporal. Manusia bisa menjinak waktu dengan ragam aktivitas penuh warna. Waktu yang terhidang itu tidak untuk dijalani secara pasif, menung(gu), berharap kehampaan. Manusia berubah di dalam waktu, bukan waktu yang berubah dalam manusia. Pandangan kritis Eric Frormm dari mazhab “Psikologi Cinta”: “Ciri umum dari manusia modern dalam bersikap, mereka hidup di masa lalu atau di masa depan, tidak di masa sekarang”. Kini, banyak penyair, budayawan mengisi waktu mengolah komoditas masa lalu. Sesuatu yang di masa lalu, disuling dalam uap kekinian, mungkin untuk mencari makan, menyambung nafas kehidupan atau berselingkuh dengan masa lalu sebagai wujud romantisme tak berkaki, sehingga masa lalu diburai, diurai dalam keuntungan materi semu. 


Sebagai “anak zaman” (ibn al waqt), para sufi tidak menoleh ke belakang dan tak menerawang ke masa depan. Tetap memandang dan memikirkan masa kini yang tengah dijalani. Inilah waktu sejati yang dihibahkan kepada dirinya saat ini. Juga tidak terbentuk oleh “kata orang”, pendapat orang, pendapat penguasa, opini elitis, namun membentuk diri dengan sejumlah aktivitas dinamis-progresif, serba konstruktif. Menjauhi mental domba serba kerumunan. 


Berupaya menjadi tuan bagi diri sendiri. Tak bertuan kepada siapa pun. Ada satu kecerdasan yang harus diolah dalam memanfaatkan waktu kekinian itu, yaitu faktor “di sini” (here). Bahwa, seprogresif apa pun yang hendak engkau isi di dalam waktu yang terhidang, manfaatkanlah bahan baku “di sini” (bahan lokal). Nilai-nilai lokalitas, berhawa lokalitas, (walau dia suasa, sejatinya dia adalah emas kebudayaan bagi mu), menjadi satu pertimbangan cerdas. Variabel “di sini” (here), harus menjadi corak kuat, sekaligus memberi efek warna dan rima yang berbeda dengan “ke-di-sini-an” yang juga dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa lain dalam semangat ”ke-di-sini-an” mereka masing-masing. 


Para penyair, kaum sufi sejati adalah sekumpulan manusia yang bisa mengikuti alun gelombang kehidupan dalam cahaya perubahan dinamis. Mudah beradaptasi dengan kenyataan yang bergulung, sembari menggali kedalaman sumur lokalitas, lalu mengangkat segala khazanah itu ke permukaan untuk dijadikan bahan baku dalam mengolah waktu yang dihimpit oleh dua ketiadaan. Maka, berdesinglah dalam cahaya nan progresif menyemburat.


*Baca tulisan menarik lainnya dari Prof. Yusmar Yusuf di pranala ini: Tulisan Prof Yusmar Yusuf

Ads