Upaya Tubuh, Ruang, dan Seni Kontemporer dalam Mengalami Masa Lalu Menerka Masa Depan -->
close
Pojok Seni
12 August 2022, 8/12/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-08-12T01:00:00Z
ArtikelBeritaSeni

Upaya Tubuh, Ruang, dan Seni Kontemporer dalam Mengalami Masa Lalu Menerka Masa Depan

Advertisement
Performans Piknik Game - Dimas Dapeng Mahendra
Performans Piknik Game - Dimas Dapeng Mahendra (Dok: Kala Teater)

Oleh: Irwan. AR*


Saya datang ke Benteng Rotterdam – sebuah situs sejarah yang ditinggalkan kolonialisme Belanda- bersama puluhan pekerja seni baik muda maupun yang sudah sepuh di kota Makassar ini untuk memenuhi undangan menyaksikan performans 20 performer yang menjadi peserta Temu Seni Performans pada Sabtu 6 Agustus 2022.


Ke-20 performer yang berasal dari berbagai daerah seperti, Jakarta, Tangerang, Bali, Jawa Timur, Kalimantan, Palu, dan dari tuan rumah Makassar ini memberikan performansnya atas proses Temu Seni selama sepekan sejak 1 Agustus.  


Event ini dibuat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru, Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan menggandeng Kala Teater sebagai panitia lokal.


Mengumpulkan praktisi seni kontemporer adalah bagian dari hajatan pra event Indonesia Bertutur 2022 yang puncaknya dilakukan di situs Candi Borobudur bulan September mendatang.


Proses Temu Seni Performans dipandu dua fasilitator, Afrizal Malna dan Marintan Sirait, juga ada Melati Suryodarmo selaku Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2022 dan Kala Teater yang mengerjakan teknis kegiatan. 


Direktur Artistik mengungkapkan motif dasar program Temu Seni menuju Indonesia Bertutur 2022 bagi para seniman lebih mengutamakan peristiwa pertemuan, pertukaran, dan jejaring. Melati Suryodarmo mengaku –“seluruh peserta dipilih berdasarkan antusias mereka untuk bertemu dan berbagi pengalaman dan metode praktik mereka untuk menguatkan ekosistem seni yang mandiri dan jejaring” (Viva.co.id tanggal 2 Agustus 2022)


Para peserta ini menjalani sejumlah agenda seperti Laboratorium Seni yakni sharing method dan berbagi pengalaman praktik kerja kreatif mereka dan juga saling bertukar inspirasi tentang situs-situs cagar budaya dari daerah masing-masing. Temu Seni Performans juga melakukan Diskusi Publik yang mengundang astronom dan budayawan, mereka juga melakukan kunjungan budaya yang mempertemukan peserta dengan maestro budaya. Mereka melakukan kunjungan dan sharing dengan Komunitas Bissu di Segeri, Kabupaten Pangkep dan kunjungan situs sebagai bagian dari riset data peserta serta pengayaan wawasan bagi peserta dalam mengembangkan gagasan performans mereka. Seluruh proses ini berujung pada performans. 20 seniman muda ini mementaskan 18 karya dalam bentuk kolaborasi, tunggal, dan paralel dengan meminjam ruang situs Benteng Rotterdam Makassar pada Sabtu 6 Agustus 2022.


Tubuh, Ruang dan Keterhubungan 


Performans The Way Of Eating - Prashasti dan Kifu
Performans The Way Of Eating - Prashasti dan Kifu (Dok. Kala Teater)

Performans ke-20 performer dibagi dalam tiga sesi. Sesi Siang, Sore dan Malam. Pemandu performans mengarahkan penonton memulai titik awal menyaksikan performans yang dimulai pukul 13.00 itu dari pintu masuk Benteng Rotterdam di sebelah barat situs Benteng yang berbentuk penyu ini yang juga disebut sebagai Benteng Panyyua. Ada performans dari Theo Nugraha yang diberi judul Hiruk Pikuk, sepertinya ia sedang memberikan bentuk dari alur waktu masa lampau ke masa kini sebagai suatu alur yang hiruk pikuk. Bentuk dari hiruk pikuk itu ia tampilkan -seperti dalam penjelasannya kepada penonton-  dalam jejak visual semacam notasi (meminjam istilah dalam musik) instruksi dalam lembar kain yang ditempelkan di sepanjang jalur utama jalan paving blok di area tengah benteng. 


Ada beberapa gambar simbol dan instruksi yang diharapkan diikuti oleh mereka yang melihatnya, seperti menari, tertawa, diam, hantu, atau menangis. Pada situs purbakala banyak simbol-simbol dan gambar yang ditinggalkan oleh manusia purbakala sebagai informasi, mungkin tentang keberadaan mereka atau aktivitas harian mereka atau bisa jadi tentang kepercayaan terhadap kekuatan penolong mereka. Simbol di dinding gua seperti yang 20 peserta Temu Seni Performans ini lihat ketika berkunjung ke situs Purbakala Leang-Leang, Kabupaten Maros beberapa waktu itu,  sebelumnya tak punya teks hanya gambar yang bersifat informatif dan bukan instruksi. Bahkan ketika kita menemukan jejak Majapahit ataupun peristiwa-peristiwa masa lampau yang sudah mengenal teks pada prasasti ataupun pelepah lontar nyaris tidak ada semacam instruksi di situ. Barulah di jaman modern yang tumbuh dari masyarakat kapitalisme industri dan kini di era serba digital ini kita terbiasa menemukan simbol dan teks instruksi. Kita mengikuti dengan patuh instruksi yoga dan gym di tutorial yang kita lihat di platform YouTube misalnya. Atau kita merespons instruksi dari papan bicara di fasilitas umum ataupun di ruang-ruang komersil seperti Mall dan sebagainya.


Performans Hiruk Pikuk itu berlangsung 8 jam paralel dengan performans dari Laila Putri Wartawati berjudul “Berkelindan” yang juga berdurasi kurang lebih 8 jam.  Berkelindan bisa dibaca adalah hiruk pikuk ingatan Theo Nugraha, sebab Laila lah yang ‘membantu’ penonton untuk merespons simbol-simbol instruksi Theo Nugraha. Laila selain terhubung dengan Hiruk Pikuk Theo Nugraha tentu ia melakukan keterhubungan dengan ingatan masa lampau dan kulturnya sendiri. 


Dua performans tersebut menghubungkan alur performansnya ke performans Fajar Susanto “1 Anak 2 Pohon (ringin gendong)” yang berada di sebelah timur area tengah kawasan Benteng Rotterdam. Dengan pakaian putih-putih dan kain jarik diikatkan di tubuhnya sambil menimang-nimang bibit pohon Beringin seperti seorang ibu yang  menimang-nimang anaknya. Fajar dengan khusuk di bawah sinar matahari yang terik siang itu menimang-nimang bibit pohon tersebut selama 4 jam yang kemudian bibit ini akan ditanam di area luar Benteng Rotterdam.


Performans yang juga dimulai siang itu adalah kolaborasi 2 seniman dari Jakarta dan Palu, Prashasti dan Kifu berjudul “The Way of Eating” mereka bermain dimulai dari teras bangunan aula besar yang berada di pusat area situs Benteng Rotterdam -bangunan ini dibuat pemerintah Belanda kolonial kala itu  sebagai gereja. Prahasti dan Kifu memberi perspektif berbeda dalam melihat performans mereka. Penonton diarahkan menuju ke bagian atas di dinding benteng di sebelah barat yang langsung memandang ke titik awal performans mereka. Mereka melakukan moving bergerak dari satu titik ke titik lainnya dengan mengangkat sebuah meja makan bundar beralaskan kain merah. Di atas meja tersebut ada kue khas Bugis bernama Barongko. Bisa saja kuliner khas Bugis itu merupakan perjumpaan budaya mereka selama proses Temu Seni Performans dengan sekitarnya yang kaya dengan aneka kuliner ini. Berbeda dengan reaksi penonton atas simbol dan teks instruksi dari performans Hiruk Pikuk yang hanya melihat tapi lebih banyak harus mencerna pesan-pesan tersebut, pergerakan The Way of Eating dengan spontan tanpa sadar diikuti sendiri oleh penonton. Apakah ini bukti naluri dasar kita akan makanan yang menggerakkannya?


Piramida kebutuhan model Maslow sudah memberitahu kita hal itu. Kebutuhan mendasar manusia adalah perutnya dan itu tanpa disodori instruksi atau pesan teks. Tingkatan kebutuhan tertinggi makhluk mamalia yang disebut Harari  jenis Homo Sapiens ini adalah pengungkapan diri aktualisasi dalam ritus-ritus seperti performans “Kurir Doa” oleh Rizal Sofyan. Ia bertelanjang dada hanya memakai sarung membawa kendi-kendi air lalu mengarah ke sebuah pohon Aren di sebelah selatan area tengah Benteng, ia mengajak partisipasi penonton untuk menuliskan doa/harapan pada secarik kertas yang dimasukkannya ke kendi lalu penonton membawakan kendi tersebut ke titik lainnya dan performer itu pun mengikuti saja ke titik mana kendi diletakkan partisipan penonton.


Pukul 14.00 siang, 3 seniman kontemporer tengah mementaskan performansnya di area yang sama yakni di dinding atas sebelah timur situs benteng. Menuju area atas itu kita melalui lorong menanjak, di situ Ridwan Rau-Rau mementaskan “Terauterial”. Ia bergerak pelan secara repetitif dari atas ke bawah dan sebaliknya sambil menggesekkan 2 bongkahan batu bata merah. Serbuk gesekan batu bata merah itu menimbulkan jejak visual yang menanda area kecil seperti anjing atau kucing yang mengencingi area tertentu sebagai area “kekuasaan/kepemilikan” manusia pun melakukan itu dengan memberi patok atau menanam pohon dan sejenisnya untuk menandai area kepemilikan tanah misalnya. 


Di bagian atas dinding benteng 2 seniman perempuan membuat semacam ritus-ritus. Arsita Iswardhani dengan tubuh perempuannya yang kuat dengan upaya keras mengeser-geser batu bongkahan besar dari bagian dinding benteng. Arsita tampak khusuk di bawah terik matahari, sesekali ia berhenti dengan nafas tersengal, bertumpu pada batu atau memeluk batu itu. Sebuah pekerjaan yang mengingatkan kita pada pekerjaan sia-sia Sysipus menaikkan batu ke atas bukit lalu mendorong kembali turun dan menaikkan kembali berulang-ulang. Tapi wajah Arsita tak tampak putus asa dan lelah walaupun 4 jam perform.


Tidak jauh dari tempat Arsita, ada Sasqia Ardelianca dengan kostum semacam Dewi Athena ia berdiri tegak lurus menghadap ke timur, kedua kakinya dipasangkan gelang lonceng, di depannya sebuah mangkuk kecil keramik berisi kopi diseduh dengan sedikit air. Ia tak bergeser dari titik tumpunya berdiri sesekali ia meliuk. Ia melakukan semacam semedi dan juga ritus. Dari keterangannya setelah 4 jam di situ ia mengaku sedang terhubung dengan masa lampaunya akan asal nenek buyutnya di titik spot itu. Secara mistis ia merasa terhubung dengan nenek buyutnya yang berasal dari Ambon dan dahulu menjadi tentara Belanda di tempat itu.


Saat pukul 16.00 WITA, performans sesi sore dimulai lebih melankolis, seperti performans kolaborasi antara Ratu Rizkitasari Saraswati dan Ragil Dwi Putra, keduanya berasal dari Jakarta tapi terhubung di event Temu Seni Performans dan berkolaborasi. Ratu mengisahkan sebuah narasi yang disusuri Ragil dari dinding benteng yang tebal. Melankolis itu juga terasa dalam performans Abdi Karya, performer dari Makassar. Ia menelusuri masa lampaunya dalam performans “Father and Son” berkolaborasi dengan Monica (salah satu performer dari Tangerang), musisi Basri B. Sila yang sudah menjadi semacam bapak angkat Abdi Karya, dan bersama bapak kandungnya sendiri. Abdi memulai performansnya dari bawah lorong buntu lalu menyusuri tangga menuju bagian atas dinding benteng sebelah timur, ia bergerak dengan kain putih yang menutupinya dan mendesak keluar seperti sebuah proses kelahiran dari dinding rahim ibu. Monica sesekali mengeluarkan suara lirih dan lengking kesedihan. 


Saya tak mendapat konfirmasi atau informasi dari Abdi apakah proses kelahirannya membuat sang ibu meninggal, tapi entah mengapa saya merasakan itu. Kain putih yang berhasil ia sobek untuk keluar tersebut dia hamparkan dan membuat jejak visual dari benda-benda kekenian seperti handphone, charge, kabel colokan, hand sanitizer, hingga jejak tangannya. Jejak itu dibuat di kain putih dengan semburan pewarna yang berasal dari bijian yang dikunyah Abdi Karya. Ia menggambarkan masa bertumbuhnya dalam asuhan bapaknya yang mengajarkan disiplin seorang aparat polisi dan kerasnya latihan bela diri. Abdi tengah terhubung pada masa lampaunya untuk menjelaskan bagaimana dirinya kini terbentuk dan bagaimana nantinya ia. 


Bergeser dari performans Abdi, tidak jauh dari situ tepatnya di area performans Arsita dan Sasqia, Linda Tagie tengah mementaskan pengalaman tubuh perempuannya akan menstruasi. Siklus menstruasi yang harus dilewati setiap perempuan dengan begitu sakit, mungkin inilah yang ingin dinyatakan Linda dalam “Raung dan Ruang”. Seperti The Way of Eating, Linda memberikan cara menyimak yang berbeda yakni, ia berbaring di celah lorong Bastion Ambon menuju ke dinding atas Benteng Rotterdam sehingga penonton menyaksikan Linda yang berlumuran darah menstruasinya dari atas. Performans sore itu ditutup oleh Rachmat Hidayat Mustamin. Ia keluar dari lorong gua bekas penjara kolonial dengan suara-suara yang dikeluarkannya sebagai ekspresi pikiran. Semakin menjauh dari lorong bekas penjara itu semakin canggih suaranya, sebuah evolusi teknologi bahasa manusia yang menemukan komunikasi dengan bahasa yang telah dibebani makna dan ideologi.


Setelah jeda Maghrib saat petang, performans sesi ketiga dimulai. Prosesi performans di sesi ketiga ini dimulai oleh Dimas Eka Prasinggih dengan judul performans “Recounting a Thousand”. Ia menghitung mundur dari angka seribu sambil bergerak ke beberapa titik dalam ruangan aula yang sebelumnya dipakai sebagai lokasi laboratorium dan proses diskusi peserta selama sepekan. Pakaian resmi yang terdiri dari kemeja, dasi dan celana panjang, dan sepatu pantofel yang mengkilap. Sebuah penggambaran seorang eksekutif muda manusia modern. 


Dimas melucuti pakaiannya satu per satu sambil menghitung mundur, sebuah penyusuran kembali ke tahun awal manusia di semesta ini. Di luar aula di lapangan depan bekas gedung gereja itu sebuah instalasi bambu dibuat dengan beberapa sisir pisang yang digantungkan. Di bawahnya sebuah meja dengan 4 kursi di sisi-sisinya sekotak alat permainan domino tersaji. Performans dari Dimas Dapeng Mahendra berjudul “Piknik Game” tengah digelar. Dapeng meminta partisipasi penonton untuk memainkan kartu domino, 4 orang pun bersedia dan mulai memainkannya. Setidaknya butuh lebih 2 jam memainkannya sampai selesai.  Beberapa buah pisang mulai dipetik oleh penonton yang ikut menonton permainan domino yang sangat familiar di masyarakat kita. Tak jauh dari itu Syska La Veggie melakukan proses tatto yang berjudul “Rajah Surya” simbol Surya itu adalah lambang dari Tribuana Tunggadewi Ratu Majapahit yang melahirkan Hayam Wuruk yang dikenal juga sebagai Bre Kahuripan. Tempat yang diyakini pernah jadi ibukota kerajaan Majapahit itu, di daerah Mojokerto adalah tempat asal dari Syska, simbol masa lampau dari asal Syska tersebut dihubungkan ke dalam tubuh, bukan sebuah kebetulan ia juga adalah perempuan. Ia melakukan proses tatto ke tubuhnya dengan menusuk-nusuk jarum ke kulitnya tanpa mesin jarum tatto.




Lalu ada Risky Wahyu Fathin, yang mementaskan “Body Ketchup”. Ia dengan tubuh nyaris bugil berlari-lari kecil di atas ulekan batu yang berisi puluhan tomat, kakinya menghancurkan tomat-tomat yang memercik dan berceceran di atas panggung di sebelah selatan tengah area benteng. Rizky beberapa kali terjatuh lalu bangkit lagi mengumpulkan tomat yang berceceran lalu mencoba kembali berlari-lari kecil di atas lesung batu, ia harus menjaga keseimbangan tubuhnya dan merasakan percikan tomat yang pecah. Di area benteng juga tengah berlangsung performans dari Jong Santiasa Putra yang berkeliling dengan helm lampu, ia membawa tas pakaiannya dalam sebuah tas besar berbentuk carel. Di sebuah titik ia menghamparkan beberapa pakaian berupa kaos, jaket, syal hingga sarung. Ia meminta partisipasi penonton untuk mengeksplorasi barangnya tersebut. Barang-barang itu terhubung dengan kisah-kisah di baliknya. Ia mencatatkan itu dalam laptopnya bagaimana partisipan memperlakukan benda-benda itu sembari menghubungkan dengan kisah di balik benda tersebut. Catatannya tersebut berbentuk teks narasi semacam puisi atau teks yang puitis.


Dari lorong buntu bekas penjara yang sebelumnya dipakai sebagai ruang performans oleh Rachmat Hidayat Mustamin saat sesi sore, dipergunakan oleh Monica Hapsari untuk performans “Relik”. Pada perkembangannya Monica berkolaborasi dengan Abdi Karya dan Laila. Di dalam ruang yang pengap dan diterangi lampu merah tersebut mereka mengeksplorasi bentuk-bentuk dan suara. Monica memainkan beberapa bentuk suara dan terdengar nyinden. Penonton yang meringsek masuk ke dalam ruang yang sempit dan pengap ditambah dengan suara-suara semacam upacara ritual itu menambah kesan angker sekitarnya. Tapi ruang yang sempit dan pengap tersebut berhasil dimanfaatkan peformer menciptakan suara-suara mistis dan energi yang besar. 


Terlihat upaya membangun keterhubungan pada dunia yang lain dalam ruang situs Benteng Rotterdam. Tapi arus energi yang besar dari manusia-manusia di sekitar performans tidak membuka batas ruang yang lain di masa lampau itu, yang mungkin saja ada Pangeran Diponegoro yang sempat ditahan oleh Belanda di tempat tersebut.


Keterhubungan Ruang dan Waktu Memerlukan Rasa Sakit?


Performans 1 Anak 2 Pohon - Fajar Susanto (Dok. Kala Teater)


Secara garis besar saya membangun 2 kategori besar untuk 18 karya performans dari 20 peserta Temu Seni Performans. Kategori pertama adalah performans yang membuka partisipasi dan paralel. Kategori kedua adalah performans yang melakukan isolasi atas performansnya. Theo Nugraha, Laila Putri Wartawati, Rizal Sofyan, Dimas Dapeng Mahendra, dan Jong Santiasa Putra membentuk performans dengan membuka partisipasi penonton.


Sementara performans dari Fajar Susanto, Prashasti dan Kifu, Ridwan Rau-Rau, Arsita Iswardhani, Sasqia Ardelianca, Ratu Rizkitasari Saraswati, Ragil Dwi Putra, Abdi Karya, Linda Tagie, Rachmat Hidayat Mustamin, Dimas Eka Prasinggih, Syska La Veggie, Rizky Wahyu Fathin dan Monica membentuk performans isolasi walaupun beberapa memainkan kolaborasi. Tetapi performans itu tidak terjadi isolasi absolut.


Ketika saya bertanya kepada Afrizal Malna tentang hubungan antara diskusi tentang “Ruang dan Waktu dalam Alam Kosmos” yang menghadirkan Budayawan Dr. Asia Ramli Prapanca dan Dra. Premana W. Premadi, Ph.D. seorang astronom, Afrizal yang menjadi fasilitator Temu Seni Performans ini menyatakan ada yang tak terbatas dalam ruang kosmos kita begitupun dengan di dalam diri kita yang begitu dalam dan tak berbatas. Karena itu kesadaran tubuh kita tidak ada isolasi absolut. Selalu ada yang terhubung baik secara makro kosmos maupun mikro kosmos, baik antara masa lampau dan masa depan.


Dua kategori performans yang dimainkan dari 18 karya performans mengalami keterhubungan. Baik terhubung secara paralel, keterhubungan tubuh, keterhubungan masa lampau dan pemaknaan akan masa depan, keterhubungan ruang dan tubuh performer ataupun keterhubungan pemaknaan antara performans dan penonton walaupun masing-masing ruang tersebut punya ruang otoritas pemaknaannya sendiri.


Tetapi mengapa saya melihat keterhubungan tubuh, ruang dan waktu dari 18 karya performans tersebut ada rasa sakit di sana. Apakah proses keberadaan butuh rasa sakit dan luka dan kemudian menjadi tiada juga dengan rasa sakit dan luka? Apakah masa lampau menyembunyikan rasa sakit dan luka seperti apakah masa depan dibangun dan dimulai dengan rasa sakit dan luka. Apakah ini sama bagaimana semesta  dari bintang yang dibangun dengan ledakan energi kemudian pecah kembali ketika bintang berhenti menjadi bintang untuk melahirkan semesta berikutnya?


*Penulis adalah seorang seniman dan penulis lepas.

Ads