Advertisement
Implementasi aturan soal kekayaan intelektual sebagai jaminan utang masih terusik sejumlah masalah. Tata kelola sistem hak cipta masih jadi pekerjaan rumah.
Pojok Seni/Jakarta – Koalisi Seni, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang advokasi kesenian, mengapresiasi disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif (PP Ekraf). Setelah diteken, PP ini memberi angin segar pada pelaku ekonomi kreatif karena mengatur produk kekayaan intelektual (KI) sebagai objek jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun nonbank.
Dengan begitu, pelaku seni bisa menjaminkan objek KI, kontrak kerja, maupun hak tagihnya. Mekanisme serupa sudah diimplementasikan oleh negara lain seperti Singapura, India, dan Korea Selatan. “Kendati demikian, Koalisi Seni menemukan masih adanya masalah struktural yang bisa menghambat penerapan PP Ekraf ini,” kata Wakil Ketua Koalisi Seni Heru Hikayat di Jakarta, Jumat 19 Agustus 2022.
Persoalan pertama, sistem kekayaan intelektual yang saat ini ada, belum memadai untuk melindungi hak para pencipta. Dalam proses mendapatkan hak cipta, misalnya. Peneliti kebijakan seni dari Koalisi Seni, Aicha Grade Rebecca, menjelaskan, selama ini seniman masih kerap terkendala tata kelola manajemen hak cipta yang masih bermasalah. Misalnya di sektor film, negara belum mengurus aturan royaltinya. Selama ini, aturan royalti hanya diatur dalam kontrak antara produser dengan pelaku industri.
Sedangkan di sektor musik, nominal penerimaan royalti performing rights masih menjadi isu. Royalti itu seharusnya dikelola transparan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). “Tarif royalti musik di Indonesia juga tergolong rendah,” kata Aicha. Adapun di sektor seni rupa, resale rights atau porsi royalti untuk pencipta dari transaksi pembelian yang bersifat publik, masih belum diterapkan di Indonesia.
Lain halnya di sektor penerbitan, pembagian royalti sangat bergantung pada kesepakatan yang tertera pada kontrak antara penerbit dan penulis. Sedangkan sektor pertunjukan teater dan tari, belum memiliki mekanisme valuasi yang spesifik atas karya yang dipertunjukkan. Masalah ini diperparah dengan kesadaran KI yang belum terbentuk dengan baik di Indonesia.
Sistem yang belum mapan itu dikhawatirkan dapat mengurangi nominal jaminan utang yang dapat diberikan, seperti diatur dalam PP Ekraf. Pasal 12 PP itu mengatur, salah satu pendekatan yang dipakai dalam pemberian jaminan adalah melalui pendekatan pendapatan. Artinya, penilai akan mengkaji potensi komersial dari objek KI, lewat proyeksi pendapatan si calon debitur. Hasil penilaian itu nantinya akan menentukan nominal jaminannya.
Selain persoalan sistem KI, masalah lainnya terkait akses pelaku ekonomi kreatif dalam memanfaatkan kebijakan KI sebagai jaminan utang. Pasal 10 (B) PP Ekraf mencatat, salah satu syarat dalam menjaminkan hak cipta sebagai objek jaminan adalah, objek tersebut telah dikelola dengan baik secara sendiri dan/atau dialihkan haknya kepada pihak lain. Artinya, objek yang dapat dijaminkan memiliki rekam jejak finansial yang dikelola baik oleh pemegang hak cipta. Hal itu masuk akal karena pihak lembaga pembiayaan tentunya akan menghindari risiko gagal bayar dari debitur. Namun, menurut Aicha, “Muncul kesan, syarat itu hanya bisa dipenuhi oleh pelaku ekraf yang sudah mampu mengelola dengan baik hak cipta miliknya.”
Pertanyaannya, apakah mereka yang belum memiliki rekam jejak finansial yang dinilai baik, dapat mengakses metode pembiayaan tersebut? Bagaimana pula dengan mereka yang memiliki karya di luar pasar mainstream, hingga belum bisa meraup keuntungan komersial sebesar mereka yang berada di dalam pasar arus utama?
Karena itu, Koalisi Seni mendorong pemerintah untuk segera mengevaluasi penerapan perlindungan hak cipta. Tujuannya, agar seniman dapat menjaminkan hak cipta sesuai PP Ekraf. “Tentunya, permodalan berbasis hak cipta hanya akan terwujud dengan optimal jika pelaksanaan manajemen sistem hak cipta kita sudah mengakomodasi kebutuhan para pelaku ekonomi kreatif,” kata Wakil Ketua Koalisi Seni, Heru Hikayat.