Pertemuan Tubuh Agraris, Figuratif, Atau Performatif dalam "Beras Dhumpa" -->
close
Pojok Seni
30 July 2022, 7/30/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-07-30T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Pertemuan Tubuh Agraris, Figuratif, Atau Performatif dalam "Beras Dhumpa"

Advertisement
Pentas Beras Dhumpa

Oleh: Arung Wardhana Ellhafifie*


Bertolak dari Komentar Kritis “Beras Dhumpa”


Istilah “Beras Dhumpa” sering kali didekatkan dengan masyarakat agraris di Madura, di mana dia menjadi ekonomi utama sebagian besar masyarakat tersebut. Istilah ini juga sering kali disebut “Beras Tumpa”, oleh masyarakat Banyuwangi, sepanjang saya melakukan penelitian secara bolak-balik sejak lima belas tahun lalu hingga kini, dan “Beras Wutah”, oleh masyarakat  Yogyakarta, sewaktu setahun lebih hidup di sana bersama masyarakat agraris sekitar sebelas tahun yang lalu. Dan kini dihadapkan pada satu pertunjukan Language Theatre, pada Selasa, 17 Mei 2022, di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, dengan judul yang sama, yakni “Beras Dhumpa.” 


Saya cukup mengenal baik sutradaranya, yaitu Mahendra dan sebagian dari beberapa pemainnya, terutama Fayat Muhammad, langsung di kepala saya terbayangkan bahwa mereka yang tumbuh dan berkembang di lingkungan agraris; difungsikan sebagai penggerak/manipulator ruang dan objeknya. Kehidupan agraris yang identik dengan gabah, arit, cangkul, jerami, pembajak sawah, pupuk, doa-doa, atau ritual sebelum panen maupun setelah panen; semacam atau hampir seperti mesin dan sebagai partikel pelengkap instalasi metafora dalam konteks hari ini (sapi pembajak sawah diganti mesin, dll.) 

Faktanya memang sesuai dengan pembayangan; bagaimana sebuah karung digantung yang berisi gabah, seng-seng dihadirkan, dan “dipermainkan”, lantas bayangan saya ini diperkuat salawatan ataupun pembacaan ayat suci Alquran, seperti ingin mengatakan bahwa perubahan ruang dan jejak antara masa lalu dan kini yang ingin dibingkai kembali dari “itulah” yang sudah menggambarkan esensi kehidupan.


Catatan ini bukan diproyeksikan sebagai kajian kritik terhadap pertunjukan tersebut (saya tidak memiliki kapasitas dan kurang memadai berada dalam proyeksi itu); tetapi bisa mungkin sebagai catatan pinggiran dalam relasi pertunjukan dan kebudayaan itu sendiri. Jika Alex Subairi (esais, dan owner penerbitan, Sampang/Sidoarjo) setelah pertunjukan berlangsung; kalimat pertama yang muncul adalah sama saja dengan sebelumnya. Lantas Afrizal Malna (sastrawan, kurator, dan penulis, Jakarta/Sidoarjo) yang merespon komentar Alex dalam satu kesempatan berbeda yang tak disengaja di supermarket, mempertanyakan kepada saya: Kenapa Mahendra tidak berusaha mengubah pertunjukannya layaknya Shohifur Ridho’i (sutradara Rokateater dan kurator, Sumenep/Yogyakarta), yang kala itu ikut menonton pertunjukannya Mahendra; yang berganti-ganti cara maupun metode setiap pertunjukannya. Bukan lantas bahwa komentar kritis ini langsung semerta-merta saya pahami untuk melanjutkan analisis kritiknya. 


Saya tidak mau gegabah ikut serta dalam kepanjangan kritis ini, tetapi hal yang paling memungkinkan dalam studi kasus tersebut antara seni dengan agraris, sastra dan pertunjukan (karena pada adegan tertentu, terselip puisi-puisi Mahendra), yang notabane adalah seorang penyair, justru saya ingin membuka ruang yang lebih terbuka atau jauh berdasarkan dua komentar kritis yang saling bersambungan tersebut.


Afrizal menjelaskan bahwa pergantian Ridho’i dalam setiap pertunjukan di antaranya dengan foto, tradisi kethek ogleng, dan obat-obatan; saya bisa sebut sebagai bagian dari studi media (bukan media elektronik seperti video, fotografi, media sosial (internet, radio, virtual reality, dll.)), tetapi ini juga menjadi hal menarik apa yang ditegaskan oleh Afrizal dalam merespon setiap transformasi pertunjukannya Ridho’i. Kalau boleh saya menyebutnya bagian dari metodologi dalam konteks pertunjukan; bagaimana melihat manusia dengan kinetika dan studi kultural, maupun agraris yang dipilih Mahendra. Jenis kelamin dan pertunjukan itu sendiri juga penting sebagai studi; yang didominasi oleh performer laki-laki (Randa Rupa, Lathif Atmaja, dan Moh. Rifqi Nur Alif) di antara satu perempuan (Novia Handayani). Tentu memiliki alasan dan pemikiran tentang volume sebagai praktik teater dengan agraris, kalau masih tetap bertahan dalam pengertian teater; sebagaimana biasanya Mahendra berpendapat, teater dan teater. Bukan seperti saya, yang tidak terlalu mengurusi soal itu, karena saya kadang bingung dengan diri saya yang kuliah teater tidak terlalu memahami teater.


Agraris, Seni, Media, dan Instalasi Metafora dalam “Beras Dhumpa”


Pentas Beras Dhumpa

Media yang dipilih oleh Mahendra juga berdekatan dengan pendekatan sastra-retoris (metafora tubuh sebagai kiasan sastra), tidak dapat dipungkiri bahwa Mahendra sebagai penyair yang bertolak dari tanah agraris di Madura. Karenanya cenderung memiliki ketunggalan sudut pandang kognitif (citra tubuh sebagai figurasi pemikiran dan komunikasinya); kalau saya tidak salah memahaminya, dan sering kali menggunakan metode diskursif kultural (tubuh spasial sebagai performatif agraris, sejarah, kereligiusan, gender, pascakolonial dan transkultural). Barangkali tujuan dari pilihan media antara Mahendra dengan Ridho’i yang barang tentu berbeda. Proyek yang dilakukan Ridho’i dengan berbagai macam transformasi bisa mungkin dipersiapkan seni sebagai proyek riset ilmiah (yang sifat sistemnya otonom),  tetapi mungkin seni dalam teks “Beras Dhumpa” sebagai satu proyek intrakultural yang sifatnya lebih khusus dan khusyu’.


Media yang dipilih Mahendra juga berdampak pada instalasi metafora yang bersifat statis; kalau merujuk pada pernyataan Alex yang tidak berubah dari beberapa pertunjukan sebelumnya, semacam ‘menjunjung dan membumi.’ Misalnya adegan mengusung dengan galah topi petani berumbai-rumbai, yang kemudian perempuan menyajikan tudung saji di permukaan lantai sebagai contoh dari teks ‘menjunjung dan membumi.’ Barangkali kalimatnya Alex mengarah pada  interdisiplinernya yang kurang luas. Biasanya interdisipliner yang terbuka layaknya pertunjukan Ridho’i pada umumnya (bisa ditanya pada orangnya); pendekatan, volume yang terstruktur dengan ringkas, dan semacam menjadi jembatan kesenjangan antara teori dan praktik kinerja tubuh. 


Apakah pertunjukan “Beras Dhumpa” tidak dapat dibaca sebagai ruang interdisipliner yang terbuka dalam kajian teoritis dan pengetahuan? Tentu sangat bisa, atau Mahendra tak terlalu pusing seandainya dinyatakan belum; sekalipun dia membuka lanskap agraris, dan membedah ruang kereligiusan dengan salawatan, yang membuat pejabat Taman Budaya menangis (kata Mahendra seperti itu penuturannya), tetapi perlu diingat interdisipliner yang terbuka luas berfokus pada kerja-kerja persimpangan tubuh dan ruang sebagai koreografi biopolitik, topografi transkultural, mediasi fisik dan antarmuka yang terkontrol dengan baik. Bukan lantas bahwa apa yang saya sebutkan ini; “Beras Dhumpa” tidak memiliki muatan itu. 


Pertunjukan tersebut, bagaimanapun pada dasarnya sudah melakukan upaya ke sana dalam merebut empat bagian dari volume itu. Atau memang tidak dipersiapkan untuk hal tersebut, sehingga pernyataan Alex bisa terbatalkan karena saya melihat bahwa Mahendra ingin berbagi pemahaman dunia agraris di Sumenep, khususnya yang ditempuh bersama Sang Bapak dalam kehidupan sehari-hari, dan keluarganya mayoritas dengan pemahaman mitologi, dan hitungan angka yang kuat ingin menegaskan pertunjukan itu diproduksi oleh citra tubuh petani dalam menahan terik matahari (termasuk tubuh fisik), kepercayaan, keyakinan kepada semesta; sedang memiliki kualitas performatif sesungguhnya tanpa artifisial, yang sering kali diutarakan pada eksplorasi tubuh saya. 


Tubuh Performer “Beras Dhumpa” di antara Figuratif atau Performatif


Pentas Beras Dhumpa

Apakah tubuh “Beras dhumpa” secara global dapat dilihat sebagai figuratif atau performatif? Saya ingin melihat dari sudut pandang orang yang tidak pernah bekerja di sawah, tetapi sering kali melakukan pengamatan (hanya sebatas itu), saya secara tidak langsung menyatakan bahwa “Beras Dhumpa” mensirkulasi citra tubuh dalam konteks agraris, sekalipun tidak ditempuh dengan cara intermedial layaknya pertunjukan Ridho’i. Terkadang tidak beralasan pernyataan Afrizal, jika Mahendra selalu dikaitkan dengan pertunjukannya Ridho’i. Karena sebagian besar tubuh pemainnya pernah bekerja di sawah, dan ditumbuhkan pemahaman dari jasmani topografi agraris sebagai lintas budaya dan secara teknologi dibuat. Saya melihat layaknya penciptaan gambar-gambar figuratif, dan tubuhnya diwariskan secara jasmani kekuatan fisik yang prima; kuat, tegak, berotot, dan kokoh, berulang-alik di antara relasi seni, agraria, pengetahuan, ilmu pengetahuan, kultural ruang dan waktu.


Figuratif yang saya fokuskan di sini adalah hubungan langsung antara setiap tubuh pemain dan ruangnya, antara penyebaran tubuh dalam lanskap ruang Sumenep (agraris) dan pendudukan ruang itu sendiri. Sebagian adegannya dihasilkan dari eksplorasi tatapan dalam melihat kehidupan para petani di sana, dampak, dan relasinya dalam hidup untuk mencari esensinya masing-masing. Lanskap persawahan di baliknya sebelum dibawa ke dalam pertunjukan, juga menghasilkan efek pada alam materialnya sendiri (alat dan benda). Begitu juga para pekerjanya dalam mengelola lahan, yang lantas Mahendra mentransformasikan ke dalam praktik seni secara tidak langsung sebelumnya sudah memproduksi dirinya sendiri dengan menghasilkan tubuh lain. 


Tubuh lain dalam konteks agraris, di antara pelaku pertunjukan yang tidak semuanya disadarinya sebagai mode transportasi kebudayaan. Di luar itu juga, konteks maritim, pendidikan keguruan, dan peternakan semestinya hidup dalam tubuhnya sendiri. Terkadang saya merasa berkecil hati, karena tubuh ini tidak diproduksi oleh hal sedemikian banyaknya selain urban. Bagi saya sendiri, tubuh yang saya miliki kini sudah hibrid, sekalipun lokalitasnya masih tersimpan penuh dalam permasalahan tertentu. Saya melihat “Beras Dhumpa” pada diri sendiri seperti kehilangan tubuh lain ini, sehingga tidak membentuk tubuh yang hidup.


Pentas Beras Dhumpa

Tubuh hidup tentu masing-masing personanya yang tumbuh dan berkembang di Sumenep adalah ruang dan memiliki ruangnya sendiri: ia memproduksi dirinya sendiri dalam ruang agraris dan ia juga memproduksi ruang itu. Di lain kesempatan, pada beberapa karya saya relasi tubuh lain dengan tubuh hidup ini yang jarang sekali tampak dipegang penuh; sehingga sangat kesulitan menjaga energi ruangnya maupun kerumitan mengontrol seberapa besar skala antara ruang dan tubuhnya (cenderung mengacaukan dan sering terjadinya juktaposisi, termasuk mungkin tulisan ini). Tetapi secara global pada pertunjukan “Beras Dhumpa” dapat disebut hubungan yang terikat antara ruang agraris, mode transportasi dan transformasi, serta energi yang tersedia pada setiap performanya. Nah, ini barangkali yang dimaksudkan para teotirikus teater Barat sehubungan figuratif atau performatif pada masa kini (Markus Hellensleben, Associate Professor, The University of British Columbia, Kanada, ataupun Gabriele Brandstetter, Profesor untuk Studi Teater dan Tari di Freie Universität Berlin, Jerman), yang saya pinjam untuk menatap “Beras Dhumpa”. Bukan berarti saya pengagum Barat, karena untuk terjadinya kerja saling tatap pengetahuan antara Timur dengan Barat, begitu sebaliknya Barat menatap Timur, yang juga pada perkemabngan dan perjalanan teater dilakukan dari dulu hingga kini. Di mana selama ini sering dipermasalahkan oleh Mahendra, yang mungkin berhubungan dengan komentar kritis Alex dan Afrizal, dalam menatap Ridho’i bisa ditelusuri dari lubang tatapan ini.


Tubuh lain dan tubuh hidup, sebagai figuratif atau gagasan performatif ruang tubuh yang bekerja dalam dua tubuh itu sendiri bukanlah unit alami (spasial) yang diberikan, melainkan menjadi dikonfigurasi, seolah-olah, melalui gambar-gambar yang disajikan dalam “Beras Dhumpa” dan kereligiusan yang mendalilkannya sebagai kekuatan simbolis. Atau seorang Mahendra yang belakangan ini dikenal sebagai budayawan Madura; dapat pula disebut dalam teks tersebut sebagai tokoh retoris. Sehingga konsep instalasi metafora muncul sebagai topografi dan koreografi (keduanya berarti deskripsi ruang): tubuh sudah terealisasi yang sekaligus menggambarkan ruang mnemonic.


Gagasan performatif agraris “Beras Dumpa” menurut saya dalam ketubuhan bekerja dalam dua cara. Cara pertama, persawahan dan perkampungan di Sumenep dapat dianggap sebagai ruang tubuh atau topografi jasmani; cara kedua, tubuh itu sendiri dapat dibaca dalam formasi alam dan budayanya, sebagai badan topografi. Dengan demikian bentuk tubuh mengikuti alam dan budaya ruang, sedangkan tempat alam dan budaya menjadi terlihat sebagai topografi jasmani. Saya membacanya ruang taman budaya cukup membentuk tubuh agrarisnya sekalipun pilihan bentuk atau garis pertunjukannya cenderung sama, dan tubuh menjadi ruang yang lain.  Dua komentar Alex dan Afrizal (khususnya yang pernah mengklaim sebagai pertunjukan terbaik kala itu) juga semestinya turut serta dalam membongkar atau meregulasikan tubuh lain dan tubuh hidup, yang mungkin Mahendra memiliki kelainan dan kehidupan berbeda ketimbang mereka berdua sehubungan dengan pertemuan tubuh, apalagi terhadap pemikiran saya sendiri—yang cenderung selalu berbeda.


*Peneliti, dramaturg/kurator, dan founder Crossing Border Space dan mitra Wuden’s Art Project

Ads