Melacak Relasi Suara dalam Tiga Pertunjukan Teater Api Indonesia dengan “Dramaturgy of Sound” Mladen Ovadija -->
close
Pojok Seni
31 July 2022, 7/31/2022 02:14:00 PM WIB
Terbaru 2022-07-31T07:14:37Z
BeritateaterUlasan

Melacak Relasi Suara dalam Tiga Pertunjukan Teater Api Indonesia dengan “Dramaturgy of Sound” Mladen Ovadija

Advertisement
Teater Api Indonesia


Oleh: Hoirul Hafifi

arungwardhanaellhafifie@gmail.com


Menatap Teater Api Indonesia dari Media Sosial

Saya sebetulnya cukup kaget saat diminta Luhur Kayungga (sutradara Teater Api Indonesia) untuk membaca/mendiskusikan karya-karyanya dalam perjalanan 29 tahun dan eksistensi Teater Api, karena saya sadari sebagian besar tidak pernah menonton secara langsung. Hanya melihatnya dari media sosial, yakni YouTube. Pertanyaannya adalah; apakah mungkin membaca ketiga karyanya dari video dari sekian banyak karya? Saya cukup memerlukan pertimbangan yang matang, sekalipun permintaannya atau kepercayaannya Luhur sudah disanggupi oleh saya. Karena itu, saya sebelumnya coba melacak ulang bahwa belakangan ini aktivitas sistem internet interaktif, maupun platform seni telematika semakin marak, dan menjadi bahan dalam praktik kerja seni apa pun. Begitu juga dengan berbagai macam studi digital, teori film, robotika, juga berhubungan dengan dunia digital yang berkelindan dengan kecerdasan buatan, dan pedagogi. Salah satu di antaranya yang dibuat viral oleh media sosial baru-baru ini yakni Citayam Fashion Week di Dukuh Atas, Jakarta.


Fenomena sosial dan budaya ini tentu menjadi pertimbangan saya, hingga memutuskan dan meyakinkan bahwa suatu hal yang wajar dalam mendapatkan spektrum yang berbeda, sekaligus menjadi produksi pengetahuan yang baru bagi saya sendiri, khususnya. Tiga karya yang saya coba lacak dari media sosial ini di antaranya; Brongkos, Dor, dan Sri Minggat, juga dirujuk dari perspektif kajian teoritik digital. Yakni berdasarkan bukunya Steve Dixon (Profesor performance dan teknologi di Brunel University, London) yang berjudul “Digital Performance: A History of New Media in Theater, Dance, Performance Art, and Installation”, yang membuat saya berani mengambil keputusan untuk melakukan pembacaan dari perspektif tersebut, atau saya hanya berpraduga dalam pembacaan ini, sekalipun nantinya juga mengalami satu pelacakan yang berbeda tentunya. Maaf! 


Praktik kerja pembacaan sebelum ditulis dan didiskusikan pada saat ini, juga dibutuhkan satu praktik kerja penguatan argumentatif dalam menatap Teater Api, yang kemudian metodenya dilakukan dengan wawancara situasional pada salah satu pengamat pertunjukan di Surabaya; yakni Rusdi Zaki (yang notabane cukup mengikuti perkembangannya), sebagai generasi di atas saya, cukup penting ditelusuri argumennya untuk mendapatkan satu keyakinan dan peluang yang potensial selama perjalanan Teater Api dari tangan Bambang Ginting di era 1990-an awal, yang dipahami oleh Rusdi sebagai kelanjutan dari Teater SAE dengan lokalitas Surabaya, yang tentu sangat berbeda dengan arahan Luhur, yang dapat dipahami oleh saya bahwa Luhur melakukan praktik penyutradaraan layaknya seorang fasilitator dengan menggali kemampuan dan keterampilan setiap aktor-aktornya yang terlibat.


Saya coba menyimpulkan dari awal bahwa menonton karya-karyanya Luhur dalam perjalanan Teater Api di luar praktik penyutradaraannya Ginting sebagai pembuka jalan, seperti melihat satu praktik kerja dramaturgi suara, atau dramaturgy of sound yang dirujuk pada penelitiannya Mladen Ovadija (1947-2019, dramaturg, dosen, dan peneliti independen, Toronto, Kanada)  dalam kajian teoritiknya “Dramaturgy Of Sound In The Avant-Garde And Postdramatic Theatre”, yang mana sebelumnya juga pernah dituliskan peluang dramaturgi ini pada pertunjukan “Asmara Luka” oleh Ranggon Sastra (Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta) pada tahun 2019, yang disutradarai Ali Ibnu Anwar (penyair, Jember). Sebagai muqaddimah bahwa dramaturgi suara beroperasi pada pertarungan performatif dan elemen teater, kejasmanian/fisikal dan figuratif, baik itu dikerjakan secara mendalam maupun arsitektural, yang disebutkan Rusdi di Surakarta, satu kelompok dari Korea mempertunjukkan “Nafas” Sammuel Beckett (1906-89, novelis, dan sutradara teater, Irlandia/Prancis), menjadi konstruksi suara yang dimic semakin lama menjadi teror yang berujung pelemparan sandal, sepatu, dan benda apa saja oleh publik terhadap suara-suara itu pada era 1990-an.


Berdasarkan kajiannya Ovadija; penyelidikan awal dramaturgi suara dilakukan ke dalam sonoritas anti-tekstual yang dibuat oleh kaum avant-garde untuk memiliki hubungan yang layak dan erat dengan semiotika auditori teater pascadramatis. Lantas hal ini, dapat dilacak kembali idenya secara gerakan sejarah (Futurisme, Ekspresionisme, Dadaisme, Bauhaus, dll.), yakni secara bersamaan dengan praktik kerja lisan dan aural, dramaturgi suara pun mulai muncul. Yang dapat dipahami, atau dimaknai pada eksistensi perjalanan Teater Api sebagai metode teatrikal yang dapat dikembangkan pada interaksi elemen jasmani pertunjukan, gerakan vokal, tembang, dan mantra-mantra, serta doa-doa. Di mana hal ini semua juga berdekatan dengan praktik kerjanya dari Antonin Artaud (1896-1948,  aktor dan praktisi teater, Prancis), pemikirannya Jean-François Lyotard (1924-98, filsuf, Prancis), dalam hubungannya dengan arsitektur dari praktik auralnya Bauhaus (sekolah seni dan desain di Jerman), hingga penyutradaraannya Robert Wilson (sutradara dan penulis drama teater, Amerika), yang menurut saya dapat menjadi rujukan dalam perjalanan menatap masa depan Teater Api dengan strategi budaya lokal Suroboyoan atau khas kekotaannya.


Pertunjukan “Brongkos” dalam Praktik Siasat Penanganan Suara


Pertunjukan “Brongkos” yang disutradarai Luhur Kayungga pada 14 Juli 2011, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (Sumber: YouTube Ridho Sakti)

Pertunjukan “Brongkos” yang disutradarai Luhur Kayungga pada 14 Juli 2011, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (Sumber: YouTube Ridho Sakti)


Praktik kerja dramaturgi suara dalam pertunjukan “Brongkos” sejak awal sudah ditunjukkan pada permainan tubuh dengan suara telapak kaki di permukaan lantai berkeliling berkali-kali memegang boneka berdasi, lantas disambung dengan mantra-mantra, suara travel bag, penggayaan dari kata/kalimat....”kau dengar...mesin hitam...,” dengan diakhiri suara-suara dari wadah/ember seng di kepala dibantingnya ke permukaan lantai maupun pengepel lantai—yang sebelumnya ‘dimain-mainkan’ untuk menimbulkan suara, dengan teriakan “Bapak” yang digayakan sebagai penutup pertunjukan, yang menurut saya praktik ini bukanlah masalah teknik artistik atau keahlian dari seorang Luhur maupun para pemainnya seperti; Slamet Gaprax, Deddy Obenk, Ridho, M. Saleh, ataupun Luhur sendiri yang sering kali bermain dalam pertunjukannya. Hal itu adalah konsekuensi dari pengakuan para avant-garde terhadap materialitas suara, revisinya terhadap referensialitas konvensional sarana artistik, dan pembentukan estetika yang baru berhubungan dengan suara sebagai materi, bentuk, dan konstituen independen dari sebuah karya seni. 


Satu pernyataan Ovadija dalam kajian teoritiknya; yang disebutkan bahwa dramaturgi suara bukan lagi pertanyaan tentang bagaimana menghasilkan melalui suara, sebuah karya seni yang akan mewakili suatu objek, menandakan sesuatu, atau mengekspresikan ide estetika yang dirumuskan di tempat lain dalam budaya, bahasa, atau teori. Pernyataan ini dalam melihat pertunjukan “Brongkos”  adalah pertanyaan tentang bagaimana menangani suara itu sendiri dari ember seng, dll. sebagai aktornya dalam jalinan peristiwa, baik sebagai bahan  pertunjukan atau sebagai elemen dari peristiwa yang berbeda. Di mana “Brongkos” dapat berinteraksi secara independen dengan permainan lampu, objek, dan desain panggung yang cenderung langsung menyita perhatian; layaknya batang pepohonan besar tanpa ranting daun dengan  gantungan-gantungan bahan kertas.


Kalimat-kalimat yang digayakan, seperti pembacaan puisi sembari memainkan ember seng dan pengepel lantai dalam konteks sebuah karya kontemporer yang berjarak dari representasi dramatis secara sonik, visual, atau kinetik untuk mewujudkan struktur pascadramatis dan “narasi”. Ini kata Ovadija membuktikan “gema” dari sejarah avant-garde; yang ditempuh Luhur dengan bereksperimen pada suara dalam produksinya sebagai praktik kerja dramaturgi, sebagai alat yang layak untuk dianalisis atau digarisbawahi dalam kinerja pascadramatis. Saya juga tidak tahu apakah suara-suara itu yang dihadirkan sebagai ilustrasi musik, atau sengaja diproyeksi sebagai strategi-strategi dalam penanganan suara yang ditimbulkan dari objek lainnya. Rusdi pun cukup ragu dengan pernyataan saya, sekalipun menurutnya masih memungkinkan untuk hal tersebut.


Praktik kerja dramaturgi suara sangat potensial dimiliki Teater Api melalui perspektif kontemporer. Karena di dalam “Brongkos” menawarkan serangkaian kasus-kasus pendek yang dapat dianalisis atau dibedah bersama, dengan penghadiran bebunyian tersebut di hadapan publik. Saya justru membaca lebih jauh bahwa pertunjukan ini ditatap dari contoh-contoh dramaturgi suara,  yang sudah disebutkan di atas ditawarkan Ovadija seperti pertunjukannya The Living Theatre (perusahaan teater yang didirikan di New York City pada tahun 1947 oleh Julian Beck dan Judith Malina dengan produksinya yang eksperimental, inovatif, sering kali bertema radikal, dan berkonfrontasi dengan tradisi, otoritas, dan terkadang dengan penonton), Christoph Marthaler (sutradara dan musisi Swiss), dan Einar Schleef (1944-2001, dramawan, sutradara, perancang set, dan aktor, Jerman), dari sekian tatapan Ovadija yang cukup dekat dengan watak kerja Teater Api.


Referensi ini menurut saya penting ditatap dan dikemukakan untuk  memiliki perspektif yang berbeda dalam menatap suara sebagai praktik kerja dramaturgi. Karena di dalam “Brongkos” juga terkait dengan pertunjukan Teater Api lainnya tentang; performativitas suara jasmani dan nilai arsitektural suara konkret/abstrak dalam puisi, objek/benda-benda, seni visual, dan teater, yang nampaknya asyik dievaluasi kembali warisan dramaturgi suara avant-garde dalam wacana teater kontemporer dan kelisanan/auralitas dalam praktik pertunjukan pascadramatis di Surabaya. Yakni dengan menatap kembali realitas maupun realis yang sebetulnya juga selalu ditatap oleh para avant-garde di Barat.

 

Pertunjukan “Dor” sebagai Desain Suara melalui Kaleng Bekas


Pertunjukan “Dor” yang disutradarai Luhur Kayungga pada 3 November 2018, di Hall Osman Mansoer, Universitas Islam Malang; kaleng sebagai produksi suara (Sumber: YouTube Ridho Sakti)

Pertunjukan “Dor” yang disutradarai Luhur Kayungga pada 3 November 2018, di Hall Osman Mansoer, Universitas Islam Malang; kaleng sebagai produksi suara (Sumber: YouTube Ridho Sakti)


Perempuan berkostum putih tertutup matanya dengan kain merah menari; timbangan keadilan di tangan kiri dan pedang di tangan kanan diiringi tembang Jawa dengan kap lampu di atas kepala, lalu muncul dua laki-laki terkesan bertopeng mendorong trolli berisi peralatan atau perlengkapan dapur dan semacamnya, yang kemudian menimbulkan suara...di mana telah menempatkan suara sebagai peran ilustratif terutama semacam aural coulisse untuk mengawali suatu pertunjukan. Trolli yang terus dibunyikan hingga keluar panggung; entah itu sudah dipertimbangkan Luhur sebagai desain suara dalam konteks aplikasi praktis, yang menurut saya beririsan dengan disiplin seni lainnya seperti arsitektur, robotik, patung, lukisan, dan musik. 


Ovadija menjelaskan dalam kajiannya bahwa secara konseptual dan pragmatis, suara tetap terbatas pada relasionalnya peran sebagai sarana yang bersama-sama dengan pengaturan panggung dan pencahayaan dalam menentukan tindakan di atas panggung dan suasana adegan, yang terus ditandai dengan lemparan kaleng bekas seiring menyusutnya cahaya pelan-pelan pada pertunjukan tersebut—juga menandai berlalunya waktu, dan memberikan pintu masuk keluarnya aktor seperti; Retno Ayu Mayangsari, Galuh Tulus Utama, M. Saleh, Naryo Pamenang, Wiji Utomo,  dan Ridho Leng, yang tidak diabaikan oleh Luhur dalam jalinan antara cahaya dengan suara, yang kemudian dimunculkan tubuh raksasa dengan kaki dan tangannya dirajut oleh kaleng bekas, di mana dirinya diberi kesempatan untuk memainkan suara, yang sangat memiliki peluang untuk memaknai kerja dramaturgi. 


Dua aktor yang muncul berikutnya dengan membawa kaleng menyerupai tas koper juga bisa diproduksi sebagai dramaturgi suara melalui pertarungan objek kaleng tersebut; entah apakah suara itu secara puitis atas dasar historis penolakan avant-garde terhadap teks sastra/dramatis untuk mendukung pertunjukan. Baik sebagai acara langsung atau sebagai instalasi seni. Kalau memang suara itu ditujukan sebagai puitika dalam sudut pandang tentang adanya materialitas suara dan dramaturgi suara untuk mengamankan suara teater dalam posisi non-figuratif; maka elemen kaleng, yang disusul aktor berikutnya yang juga muncul dengan kaleng bekas ikut berpartisipasi dalam bentuk sinestetik, sinakustik, sinoptik, dan sinkretik kinerja kontemporer dari Teater Api. 


Permainan aktor dengan kaleng bekas atas tubuhnya sendiri dalam suatu pertunjukan, seperti layaknya suara yang lahir dan mati dengan tindakan. Pistol yang ditodongkan ke arah publik sebagai suara yang dasarnya adalah dramatis. Diperkuat lagi dengan menembak dirinya hingga rubuh. Aktor yang makan dari dalam kaleng diiriskan dengan desisan dari mulutnya juga bagian dari hal yang dramatis. Pada kenyataannya tidak bisa dihindari  bahwa produknya bertolak dari realisme; kalau mau dipahami bahwa realitas tetaplah hidup karena semua materi suara masih diperlakukan layaknya satu produk kenyataan. Bukan menciptakan olahan dari produk realitas, kalau mau dipahami sebagai kerja dramaturgi suara. 


Suara yang keluar dari panggung, termasuk di dalam aktor yang membuka kaos berulang kali, dipakai, dilepaskan, dipakai kembali, hingga diikat sebagai penutup kepalanya berupa instrumen tubuh dari terkaman maupun ketidakberdayaan dapat dipahami sebagai sensorik daya tarik suara itu sendiri yang disebabkan oleh pergerakan udara dari dalam sebuah ruangan. Bisa juga berasal dari sumber bernyawa (seperti pemain) atau sumber mati (mungkin bagian dari pengaturan panggung) yang selayaknya diatur sedemikian rupa. Kengerian melalui fluiditas aktor yang mengejang di permukaan lantai, kemudian kecemasan dari manusia kaleng yang mendorong trolli dengan menghancurkan isi perlengkapan dari atas trolli tersebut bisa dipahami sebagai sensualitas suara manusia dan ekspresi suara panggung yang sudah difasilitasi Luhur. 


Hal ini menjadi elemen penting dari performativitas dan dinamika visual yang mendorong teater kontemporer, yang tentu menciptakan satu kinerja, atau performance. Rusdi mencurigai bahwa hal itu tidak berlangsung sedemikian rupa, karena intensitas latihan hanya diproduksi sekadar membuat sebuah proyek; bukan suatu kesadaran pentingnya mencari makna, bahwa dramaturgi suara bisa saja menjadi proyeksi dengan penandaan pelemparan barang-barang bekas dari dalam trolli ke batang kaleng yang berdiri tegak di tengah panggung, dengan diiringi tembang Jawa; saya kira bisa menjadi berbeda kalau merujuk realitas, identifikasi, dan pemetaan, jika suara benar-benar ingin dipahami bagian dari praktik kerja dramaturgi untuk membatalkan suara dari realitas, yang sering didengar bersama-sama dalam setiap harinya.


Pertunjukan “Sri Minggat”: Siasat Menatap Realitas Spatio-Temporal


Pertunjukan “Sri Minggat” yang disutradarai Luhur Kayungga pada 30 November 2019, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (Sumber: YouTube Ridho Sakti)
Pertunjukan “Sri Minggat” yang disutradarai Luhur Kayungga pada 30 November 2019, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (Sumber: YouTube Ridho Sakti)


Ovadija menjelaskan bahwa suara pada dasarnya bertentangan dan menggoyahkan objektivitas, kepastian, dan kekhasan penglihatan yang menjadi sandaran logosentrisme Cartesian. Dengan demikian telah menjadi bagian dari persenjataan dalam perjuangan avant-garde secara historis untuk melawan penutupan representasi teks dramatis seperti yang dianalisis oleh Jacques Derrida (1930-2004, filsuf, Prancis). Terkait pernyataan ini, sehubungan dengan pembuka pertunjukan “Sri Minggat” dengan suara sirine, doa-doa Jawa yang diiringi  permainan baskom seng pada permukaan lantai maupun di kepala, dan tembang Jawa dilalui setiap aktornya membawa dupa (memainkan daun pisang ataupun sapu lidi) tampak terlihat menyoroti peran suara dalam teater yang selalu dikaitkan dengan pertimbangan auralitas sebagai rasa performance yang disukai oleh sutradara maupun diterima oleh setiap aktor-aktornya (Purbandari, Nurhayati, Slamet Gaprax, Wiji Utomo, Deddy Obenk, Galuh Tulus Utama, Karsono, Pambudi, Pata Hidayat, dan Ridho). 


Saya justru melihatnya dari sisi yang lain kalau dirujuk pada Ovadija dengan menggunakan dramaturgi suara (yang mungkin memang tidak diproyeksikan untuk itu, tetapi sekali lagi perjalanan ini sebagai reaksi dari tatapan penonton generasi baru); yang menurut saya realitas spatio-temporal panggung adalah area di mana penglihatan dan tumpang tindih suara dalam hubungan yang kompleks. Apa yang dimaksud dengan hal tersebut? Sebetulnya sudah dilakukan oleh Teater Api dalam pertunjukan ini melalui permainan sapu lidi dengan bunyi telapak kaki di permukaan lantai hampir sama dengan perlakuan pada pertunjukan “Dor” yang membawa suara pada realitas tunggal, belum memunculkan temporal panggungnya yang bisa mungkin bertemu dengan suara sarung pada aktor yang memainkannya—di mana kata jancok, lagi-lagi bisa bertemu dengan kibasan sarung yang dipukulkan pada permukaan lantai.


Saya ingin menggarisbawahi bahwa dramaturgi suara tetaplah memiliki makna dari isi pertunjukan, yang dapat dijelajahi sebagai pengembaraan yang lebih terbuka lewat bunyi dan suara sejak awal pertunjukan hingga pertengahan; suara-suara kertas yang dilempar ke udara maupun dibenturkan ke seng latar belakang setting, mempermainkan kertas ke tubuh berulang kali, aktor yang sedang rogo sukmo, permainan beberapa aktor dalam kain sarung, aktor yang memainkan penanda penerangan, sirine yang dileburkan dengan suara mesin, dan suara-suara cangkir seng; semuanya itu bisa bertolak dari lokalitas budayanya, akar tradisinya, ataupun budaya-budaya lampau di Surabaya; terlepas dari isi tekstual yang dibicarakan.  


Peluang dramaturgi suara didekatkan oleh saya dalam perjalanan Teater Api dengan difasilitasi seorang Luhur; untuk mengidentifikasi watak kerjanya, layaknya Ginting yang mengadopsi Teater SAE versi Suroboyoan, yang dipahami oleh Rusdi bahwa setiap pilihan material dan visual selalu beririsan sesempal-sempal dalam pertunjukannya Luhur (dengan pertunjukan lainnya, sekalipun sulit ditemui yang memiliki nilai orisinalitas). Pada dasarnya karena ketiga pertunjukan Luhur begitu dekat dengan embrionik, ritual keagamaan, ritual suku, dan praktik puja-puji, tampak menggunakan keajaiban suara untuk menemukan makna dalam rangka mengkritisi, meretas, mengobati, meneriaki, meratapi, dan memprovokasi. 


Ritual-ritual itu juga tampak pada visual ditutupnya kepala perempuan dengan kain hitam, pengalungan puluhan cangkir di lehernya yang menimbulkan suara, aktor bermain-main dengan sapu lidi sembari memukulkan pada setiap gantungan seng dengan gambar titik busur ataupun terikat polish line; yang dijadikan latar belakang, selalu saja dihubungkan dengan nyanyian dan tarian. Hal ini tentu sering saya temukan di berbagai macam upacara keagamaan, dan kebudayaan, hingga praktik perdukunan. Ini mungkin menjadi perjalanan panjang dalam menggali kemampuan suara-suara mentah di sekeliling kita, untuk memperbarui komunalitas ritual tersebut sekaligus untuk melepaskan diri dari dominasi teks yang diakui oleh penyair, pelukis, dan seniman teater avant-garde yang kembali pada nyanyian dan tarian “primitif”, itu juga sering didengar oleh saya melalui mantra...ale...ale...dari mulut aktornya.


Pertunjukan “Sri Minggat” tidak bisa dilepaskan dari perjalanan “Brongkos” hingga “Dor”, sebagai kecenderungan pola yang sama dengan ditutup sirine dan mesin, sangat berpotensi dalam melacak relasi suara dengan kerja dramaturginya sebagai metode. Kalau kata Hans-Thies Lehmann (1944-2022, Profesor emeritus di Johan Wolfgang Goethe University in Frankfurt, Main, dan teoritikus teater, Jerman) dalam Ovadija; diakui  partisipasi dramaturgi suara dalam konsepnya tentang teater pascadramatis, membayangkan “teater negara bagian dan formasi dinamis yang indah … [dalam yang] ada dinamika sebuah pemandangan yang bertentangan dengan dinamika dramatis.” 


Saya memahaminya jika tidak mengalami kekeliruan, bahwa teater visual atau gagasan itu begitu dinamis untuk digerakkan dengan berbagai macam apa saja, yang juga dapat dianggap sebagai warisan dari penjajaran massa aural dan visual. Dan hal yang paling penting dilakukan adalah untuk mendapatkan praktik kerja dramaturginya atau menemukannya sebagai metode dilakukan secara  intens. Ditegaskan pula oleh Ovadija bahwa dalam bentuk seni hibrida avant-garde dari Futuris, Ekspresionis, dan upaya Dadais, terutama eksperimen Teater Api, saya menatapnya suara sebagai medan kerja yang bisa diproduksi lebih terstruktur untuk melampaui ilustratifnya sebagai representasi dramatis untuk menjadi elemen visual yang independen dan dominan. 


Apakah ya atau bukan ya?

Ads