Mandala Monster Lady Gaga -->
close
Adhyra Irianto
03 July 2022, 7/03/2022 03:14:00 PM WIB
Terbaru 2022-07-03T08:14:47Z
ArtikelBerita

Mandala Monster Lady Gaga

Advertisement
Mandala Monster Lady Gaga


Oleh: Prof. Yusmar Yusuf


“Anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Kenapa kita tak memerankan diri sebagai kafilah yang tetap berlalu itu? Ketika kita tak sanggup memerankan tugas-tugas kekhalifahan sejati. 


Bangsa ini mudah diserang gamang sosial dan alergi massal ketika diperhadapkan dengan sejenis orang yang mengaku-ngaku sebagai ‘biangnya monster’. Padahal monster itu sendiri tiada. Hanya ‘makhluk ciptaan’ pemikiran manusia. Gaga, telah berhasil membentuk dirinya sebagai ‘monster’ bagi dunia yang lemah. Dunia dan sudut bumi yang tak ‘berjiwa’. Sudut angin kosong renjana. Gaga, ialah produk waktu dan sensasi. Hanya sejumlah permainan ‘wacana’, permainan trending sesaat, penjumlahan sekian banyak imajinasi manusia dalam peran sebagai makhluk imajinasi Tuhan muka bumi. 


Ketika memikul tugas-tugas imajinatif itu lah, setiap orang menuai impian imajinatif ideal. Kemudian diseruakkan menjadi produk fikiran dan produk kreatif. Termasuk dalam ihwal ini adalah produksi seni. Produk kreatif berbasis kebebasan berekspresi, bertemu urat dengan kenyataan sosiologik bernama Amerika. Dan Amerika menyambut secara gegap gempita, ihwal tindakan kreatif warganya sebagai bagian dari titiwangsa pencapaian gemilang jalan serba pemikiran Amerika [Amway]. 


Walhasil, Lady Gaga sebagai sosok ialah wakil dari kepentingan dan sekaligus hasil dari saringan ketat dalam sejumlah kompetisi gaya Amerika yang dilepas ke tengah pasar terbuka dan lentur. Lady gaga, ialah produk pabrik massal ‘kebudayaan pop’ Amerika, berposisi sebagai suksesor bintang-bintang Pop sebelumnya; Michael Jackson, Whitney Houston, Madonna. Dan tali estafet itu tak boleh terputus sedikit pun. Ihwal ini sekaligus terhubung dengan cara menghadirkan Amerika di tengah dunia. Jika buhul dan estafet temali itu putus (mengalami jeda), pada ketika itulah Amerika mempertontonkan kehilangannya. 


Ilmu komunikasi menyebutnya sebagai ‘agenda setting’. Dia menjadi nadi kehidupan cara Amerika. Mereka meletakkan diri sebagai pemimpin, bukan dipimpin. Menyebut diri sebagai sosok bangsa serba kampiun dan kemuncak dunia. Motto mereka “we are lead, not led”, menjadi kenyataan dalam sejumlah kehadiran, termasuk kehadiran dan menghadirkan Lady Gaga. 


Maka, ketika teguh menyatakan bahwa kebudayaan kita kuat dan ranggi, kenapa takut dengan kunjungan (bertahun silam) makhluk bernama Lady Gaga? Ketika itulah kita menguji kekokohan budaya dan kekawian iman. Terkesan kita adalah para penakut berhadapan langsung dengan para setan. Pengalas bijak tradisi tua nusantara telah memaku kekuatan prinsip hidup dan keberlangsungan hidup yang ditera dalam sejumlah “kata ibarat” atau pun bentuk lain yang selalu dikenal sebagai pepatah. Tentang prinsip dan keteguhan, bolehlahlah kita pinjam pepatah tua Bugis: “De nalabu matanna essoe ri tenggana batarae 


(matahari tak akan pernah terbenam di tengah langit). 


Gempita kehidupan dengan sejumlah goncangan dan gegar, manusia tak bisa terombang-ambing lalu tenggelam dalam goncangan arus besar itu. Alias terpungas dan tenggelam lalu lenyap dalam perjalanan. Kemampuan kita menerima arus besar-deras dunia itu, sejatinya mendorong kita untuk mengapung dan berhanyut ria di atas kepungan bandang air itu. Di situ terhidang kekuatan massif arus peradaban. 


Berhanyut ria di pusaran deras arus, tak malah benam dan tenggelam. Sejatinya kita terlahir sebagai pemimpin di atas bumi. Sekecil apa pun skala pemimpin itu: pemimpin bagi keluarga dan komunitas atau pemimpin bagi diri sendiri. Sedutan pepatah tua Bugis ini, paling tidak memberi ilham kepada kita yang tengah berada di atas arung arus nan deras dalam kecipak banjir buana itu; “Nareko sompe’kori wanuanna tauwe, aja’ mumaeklo’ mancaji ana’guru, ancaji ponggawako, namuani ponggana paramo’ muna” (pabila engkau berlayar di negeri, jangan menjadi anak buah, jadilah pemimpin, walau itu pemimpin perompak sekalipun). 


Kehidupan ini adalah sejumlah “pemeriksaan” demi “pemeriksaan”. Jalanilah secara kritis. Tak perlu gamang dengan ikhtiar “pemeriksaan” yang dilakukan, apakah oleh orang-orang cerdas kritis atau malah oleh diri sendiri terhadap kehidupan, terhadap langit atau malah terhadap Tuhan sekalipun. Pemeriksaan kita terhadap muasal kejahatan misalnya. Apakah kejahatan memang diproduksi oleh Tuhan. Berarti Tuhan merupakan “sumber” kejahatan? Ooow... tunggu dulu. Padahal manusia sendiri yang melakukan kejahatan atas “pilihan bebas” yang dinisbahkan kepada dirinya ketika awal sejarah “drama kosmis” penciptaan. Tuhan itu sempurna. Yang melakukan kejahatan itu adalah manusia, di atas prinsip “pilihan bebas” ujar Augustine sang pengelana spiritual dari utara Afrika pada abad ke-4. 


Sebuah buku bombastis (Tomorrow’s God, Our Greatest Spiritual Challange, 2004). Mengajak manusia untuk mencari Tuhan baru, karena Tuhan lama sudah tak relevan lagi (“We need a new God. The old God isn’t working anymore”). Tuhan yang dikenal selama ini (The Yesterday’s God) mengakibatkan anak manusia berhadap-hadapan satu sama lain bahkan sampai menimbulkan banyak korban. Tuhan di masa depan adalah Tuhan yang memberikan sinergitas kemanusiaan. Wah... ini jenis “pemeriksaan” yang teramat progresif. Dalam kaitan dengan “pemeriksaan” jenis ini, saya teringat dengan satu bait syair dari Gus Mus (Mustofa Bisri); “Engkau ini bagaimana, kau suruh aku berfikir, lalu kau bilang aku kafir”... 


Bibliographie du XX Siecle, Le Testament Philosophique (Roger Graudy); Agama di abad XX ialah agama yang mampu mengutuhkan hubungan antara alam, manusia dan Tuhan. Bagi Graudy, Agama di abad XX adalah Islam, karena substansi dan inti ajaran Islam ialah hubungan simetri antara ketiga hal tersebut. Graudy membuat pamflet agama di abad XX. Ia menilai agama-agama di Barat gagal membimbing ilmu pengetahuan sehingga terjadi distorsi antara alam, manusia dan Tuhan. Lalu... kenapa gamang dengan segala “aku-akuan” para monster yang bergentayangan dalam balutan seni pop atau kebudayaan populer yang serba instan? Atau malah dalam balutan teks-teks tinggi dengan narasi-narasi besar yang terhidang dalam novel dan kajian ilmiah semacam “scenario writing” yang menantang? 

Ads