Landak Atau...; Duuuh Isaiah Berlin -->
close
Pojok Seni
27 July 2022, 7/27/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-07-27T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Landak Atau...; Duuuh Isaiah Berlin

Advertisement
Isaiah Berlin



Oleh: Prof Yusmar Yusuf*


Isaiah Berlin, sebuah nama. Leo Tolstoy jua sebuah nama. Mereka  memang orang Timur Eropa, tapi amat mengganggu di Barat (Eropa) secara pemikiran dan kedegilan falsafati. Berlin dengan cergas dan cerdik menjadikan ungkapan Archilochus (penyair Yunani kuno) yang terkenal itu, sebagai kiasan, majas demi membeda antara para fanatik isu tunggal, kebenaran tunggal dengan mereka mengelu-elukan kemabukan pluralisme atau keragaman; bahwa, kebenaran itu jamak. Bukan tunggal. 


Inilah idiom terkenal yang dijinjit Berlin demi telaah terhadap pandangan filosofis Leo Tolstoy yang juga tak kurang keren itu di rantau Barat. “Rubah mengetahui banyak hal, tapi Landak mengetahui satu hal besar” (The fox knows many things, but the hedgebog knows one great thing). Rubah, wakil dari simbol anti-irasionalis, anti-relativis, obyektif, realis, empiris, bahkan terkadang absurd. Rubah mengetahui banyak hal, pun menyadari akan varia  hidup dengan segala unikumnya:  realitas semesta.


Para penyelam kebijaksanaan memaknai frasa “misterius”;  Landak dan Rubah ini secara beragam dan berbeda satu sama lain. Bisa saja Rubah akan mengalami kekalahan dengan segala kecerdikan dan kecergasannya, kala berdepan dengan satu kekuatan besar  Landak (bentuk pertahanan Landak). Klasifikasi dikhotomis antara Landak dan Rubah ini oleh Isaiah Berlin, digunakan untuk meneropong perilaku intelektual dan kecerdasan kreatif para pemikir, penulis, lewat analisis atas karya-karya mereka: sastra khususnya. 


Analogis dikhotomis berlaku cair dan sangat mungkin pula dikembangkan pada bidang-bidang di luar sastra. Landak dengan visi sistem tunggal, begitu koheren dan jelas. Prinsip tentang kebenaran tunggal, realitas tunggal. Di sisi lain, Rubah, menggelora pluralisme, mengajar banyak tujuan yang  tak saling berkait-kelindan bahkan kontradiktif satu sama lain. Maka, muncul tipologi pribadi cerdas, konservatif, kritis yang dimiliki persona Landak. Di sebelahnya, pribadi yang lebih fleksibel, gaul, kompromis, kreatif direpresentasikan oleh Rubah. Sekilas, Dante masuk dalam kategori pertama (Landak), sedangkan Shakespeare masuk dalam kategori kedua (Rubah). Selanjutnya? Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Ibsen, Proust dalam tingkatan berbeda, adalah Landak. Sebaliknya Herodotus, Aristoteles, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac Joyce adalah Rubah.


Kalimat misterius ini  (tepatnya penggalan puisi) tentang Landak dan Rubah itu, mungkin saja berasal dari puisi dalam bentuk dialog. Ihwal ini menjadi benderang setelah Ewen Bowie menjelaskan secara artikulatif; “bahwa kalimat itu mungkin berasal dari puisi dalam bentuk dialog antara Archilochus dengan seorang perempuan yang dia goda. Pun, kalimat itu dinyatakan oleh si perempuan, yang berkata bahwa Rubah (Archilochus) mungkin memiliki banyak akal untuk menggoda, tapi (Landak) punya satu perlengkapan mutlak dalam gudang senjatanya, untuk menggulung diri menjadi bola, mencegahnya memasuki (secara frontal penggodaan itu). Artinya, sebanyak akal dan muslihat yang dimiliki Rubah, akan runtuh oleh sebuah akal besar Landak. Walau terkesan hewan tak gaul, soliter, Landak, terkadang bertindak lugu dan bahlul demi mempertahankan diri: menggulung badan bak bola, yang rentan untuk didorong oleh Rubah, digelinding  ke tebing sungai atau dihumban jeram nan kelam. 


Rubah adalah simbolika anti-monisme. Dia adalah makhluk gaul, dengan kecerdasan sosial tinggi. Bertindak juru bangun (developer); karena kerjaannya dari hari ke hari adalah membangun dan membina; membebat wilayah basah lalu memberi jarak dan batas antara zona basah dan zona kering. Dia mengumpul daun, reranting dan dahan yang hanyut dan tenggelam. Dia menghargai waktu lewat kerja dan karya. Sesuatu yang ditinggalkan Rubah untuk kehidupan adalah menghargai sesuatu yang lain dan serba lain (liyan, the others). Kaidah pluralisme yang dijinjit oleh Rubah; sebuah cara pandang Berlin yang hendak dilekatkan kepada karya-karya Leo Tolstoy, termasuk karya yang terkenal itu War and Peace. Memang ada paradoks yang tersembul atas ketertarikan Tolstoy pada sejarah serta masalah kepercayaan subyektif Tolstoy terhadap seharusnya sejarah dinarasikan, hampir obsesif, baik sebelum dan sesudah buku War and Peace selesai ditulis.


Tak menggiring bak juri penghakiman nilai, bagi Iasaiah Berlin, Tolstoy dengan sejumlah karyanya adalah wujud Rubah yang mungkin cerdik dan tangkas dari pada Landak. Bukan berarti Berlin bermaksud ingin menegakkan nilai bahwa Rubah lebih superior dari Landak yang beku dan tak gaul itu. Sejatinya, Rubah adalah hewan gaul sekaligus pemalu. Rubah dengan yakin, untuk mengusung nilai-nilai yang jamak demi keselarasan semesta, harmoni hidup bersama. Bukan menegakkan kelurusan benang tunggal yang mudah lembab (menegak benang basah?); dipaksa terus untuk tegak, agar terkesan tegas dan prabawa, padahal sebuah ketidak-berdayaan menatap kehidupan.


Dalam laras demokrasi hingar bingar  ini, kita berhanyut menjadi Landak dengan cara menggulung diri, lalu membulat bak bola, seakan-akan dunia adalah genggaman kebenaran si bulat bundar, sibola beku? Menggelinding dan menggelincir terus tanpa pernah bersalaman dan saling sapa dengan sesuatu yang berada di sisi (kiri-kanan), jalur gelinding itu? Atau malah sebaiknya kita menyalin sikap dan perilaku Rubah yang senantiasa memandang hidup penuh optimisme. 


Selagi jam masih berdetak, dentumkan diri mu dalam kerja dan karya yang kreatif tiada henti, sambil menyapa dan menyantuni makhluk sekitar yang berada di sisi wilayah lintas dan laluan  hulu dan hilir. Hari ini, seakan hidup sudah berada di tubir waktu, di ujung tebing. Padahal, dilihat dari sisi lain,  baru bermula, baru dimulai, baru beranjak dari pangkal tebing, bukan ujung  tebing. Optimislah memandang hidup. Dunia tak akan “kiamat”, jika diisi dengan kaidah-kaidah berfaedah sebagaimana lelaku Rubah. Bukan Landak...  


Baca tulisan lain dari Prof Yusmar Yusuf di sini

Ads