Advertisement
Didukung UNESCO, Koalisi Seni kembangkan mekanisme pemantauan pelanggaran kebebasan berkesenian
Jakarta/Pojok Seni – Koalisi Seni meluncurkan inisiatif terbarunya untuk meningkatkan kualitas kebebasan berkesenian di Indonesia. Didukung United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Koalisi Seni pada 2022-2024 akan melakukan serangkaian kegiatan agar hak kebebasan berkesenian dapat terpenuhi di negeri ini. “Salah satu kegiatan utamanya adalah pengembangan mekanisme pemantauan pelanggaran kebebasan berkesenian,” ujar Ketua Pengurus Koalisi Seni, Kusen Alipah Hadi, Jumat, 29 Juli 2022.
Selama ini, Kusen menjelaskan, pelanggaran kebebasan berkesenian hanya bisa dipantau dari berita di media, dan dokumentasi sejumlah organisasi hak asasi manusia. Dampaknya, tidak semua kasus bisa terdata. “Karena itu Koalisi Seni berupaya mengembangkan mekanisme lebih baik. Harapannya, orang dapat melaporkan kejadian pelanggaran kebebasan berkesenian, dan kami pun dapat memverifikasi laporan tersebut.”
Koalisi Seni juga bakal menyusun dan menerbitkan buku panduan bagi seniman agar memahami tentang kebebasan berkesenian, mitigasi terhadap potensi pelanggarannya, serta langkah yang perlu ditempuh jika haknya dilanggar. Dengan begitu, seniman dapat menuntut perlindungan hak-haknya kepada negara, yang berkewajiban memenuhinya.
Selain itu, akan ada sosialisasi dan kampanye komunikasi untuk meningkatkan pemahaman seniman dan publik terhadap kebebasan berkesenian, mekanisme pemantauannya, serta cara menggunakan buku panduan dan mendapatkan pertolongan saat hak kebebasan berkesenian dilanggar.
Rangkaian kegiatan ini akan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kebijakan. Mulai dari Anggota Koalisi Seni, pegiat seni, lembaga pendidikan seni, organisasi hak asasi manusia dan bantuan hukum, hingga kementerian dan lembaga negara terkait. “Sehingga ini menjadi upaya bersama dari semua pihak,” ucap Ketua Pengawas Koalisi Seni, Linda Hoemar Abidin.
Rangkaian kegiatan tersebut mendapat dukungan hibah kompetitif International Fund for Cultural Diversity (IFCD) yang dikelola UNESCO. Tahun ini hibah IFCD hanya diberikan kepada sembilan program, dari Bolivia, Chili, Guinea, Indonesia, Kolombia, Nigeria, Palestina, Seychelles, dan Timor Leste.
Hibah ini akan memperkuat advokasi kebebasan berkesenian Koalisi Seni, yang pada 2020 meluncurkan Studi Pustaka Kebebasan Berkesenian di Indonesia 2010-2020. Kajian tersebut menemukan bahwa semangat reformasi justru menajamkan politik identitas, yang sering dijadikan alat negara mengontrol warganya. Alih-alih melindungi minoritas, proses hukum digunakan untuk menghambat gagasan yang berseberangan dengan pendapat mayoritas. Isu utama untuk melarang berbagai kegiatan seni adalah komunisme, agama, dan LGBT. Tercatat ada 57 kasus pelanggaran selama 2010-2020.
Selanjutnya, pemantauan pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2021 menghasilkan gambaran yang masih suram: pandemi Covid-19 menjadi alasan negara membatalkan atau membubarkan sebagian acara seni. Standar ganda digunakan negara selama pandemi. Acara seni yang melibatkan pejabat pemerintahan dapat tetap terlaksana, sementara acara lain tidak diperbolehkan. Selama 2021, tak kurang dari 48 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian terdokumentasikan.
Koalisi Seni optimistis inisiatif dengan UNESCO ini akan berdampak positif bagi ekosistem seni jangka panjang. Adapun data soal kebebasan berkesenian, tak hanya akan dilaporkan empat tahun sekali lewat Quadrennial Periodic Report tentang pelaksanaan Konveksi UNESCO 2005 tentang Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya. “Namun harapannya, data itu juga bisa dijadikan rujukan dalam penegakan kebebasan berkesenian,” ujar Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay.