Advertisement
Oleh: Ikhsan Satria Irianto
Telah sejak lama, seni tari terperangkap oleh dominasi seni musik. Bahkan, musik telah menjadi unsur esensial dalam konvensi tari. Padahal, seni tari selalu mendefinisikan dirinya sebagai seni pengolahan tubuh. Artinya, kehadiran musik seharusnya menjadi elemen penunjang, namun pada kenyataannya porsi musik dalam pertunjukan tari terkadang setara dengan porsi gerak tubuh. Sehingga, kehadiran musik dalam tari hanya akan melemahkan gestur sebagai media mayor dalam penyampaian makna. Intensitas musik terkadang terlalu kuat dan menenggelamkan gerak tarinya, sehingga relasi antar musik dan tari hanya membuat komunikasi menjadi tumpang tindih dan saling meng-objek-kan. Konvensi ini tentunya menyubordinasikan tari sebagai seni yang tidak otonom. Karya Merawang produksi Dian Arza Arts Laboratory (DAAL) kiranya mencoba menghancurkan konsep purba itu.
Merawang adalah produksi ke-25 DAAL dengan sutradara Putra Agung dan koreografer Dian Anggraini. Karya dancetheatre ini berangkat dari makna filosofis yang terkandung di dalam tradisi makan merawang (tradisi makan bersama) yang biasa dilakukan oleh masyarakat Seberang Kota Jambi. Secara pengolahan gerak, materi gerak yang dipilih adalah pola gerak dalam pembendaharaan ketubuhan yang ada dalam tradisi merawang, kemudian disusun komposisinya berdasarkan pola lantai melengkung. Karya yang disajikan dalam mode simbolik representatif ini memilih tipe studi gerak dan tipe dramatik sebagai landasan eksplorasinya. Merawang yang berdurasi sekitar 45 menit ini dipentaskan pada Sabtu (02/07/2022) di Teater Arena Taman Budaya Jambi.
Secara tematik, karya Merawang mencoba menyajikan fenomena nir-strata dari tradisi makan bersama. Tradisi makan merawang adalah arena dialogis yang menihilkan gap dan kesenjangan sosial, masyarakat duduk sama rata dan menjalin komunikasi tanpa ada pembagian kelas. Isu ini menjadi penting untuk dihadirkan kembali karena realitas sosial hari ini telah menunjukkan lunturnya nilai-nilai kebersamaan antar sesama manusia. Padahal, membutuhkan satu sama lain adalah fitrah bagi manusia. Kehadiran karya Merawang mencoba mengingatkan kembali pentingnya rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial. Rasa inilah yang kian pudar dalam realitas aktual dan kultural hari ini di Indonesia.
Karya teater-tari Merawang mencoba meruntuhkan dominasi musik dalam tari. Merawang hadir dengan elegan ke hadapan penonton tanpa musik pengiring. Sebagai pengganti musik, karya Merawang mencoba menawarkan eksplorasi bunyi (gejala musik) yang dihasilkan dari properti nampan. Kehadiran nampan sebagai properti dilepaskan dari fungsi aslinya agar dapat dieksplorasi secara bebas untuk melahirkan bunyi. Meskipun demikian, bunyi tidak dihadirkan dengan pengolahan yang ritmis. Namun, bunyi hadir sebagai hasil dari dialog antar tubuh performer. Sehingga, bunyi yang hadir tidak dapat didefinisikan sebagai musik, tetapi lebih kepada ekspresi musikal dari gejala musik.
Minimnya bunyi dalam karya Merawang menjadikan kehadiran bunyi menjadi lebih kuat. Kehadiran bunyi yang terlalu “nyinyir” terkadang membuat bunyi kehilangan arti khusus dan menjadikannya hanya sebatas “iringan”. Namun, karya Merawang mempresentasikan bunyi lebih eksklusif, di mana bunyi bertugas untuk memecah keheningan dan hadir untuk membuka ruang jelajah yang jauh lebih luas. Sebagai capaian dari dialog antar tubuh, bunyi hadir sebagai bagian dari performer yang melengkapi keutuhan pertunjukan, atau dapat dikatakan bahwa bunyi merupakan salah satu tokoh dalam pertunjukan Memahami bunyi dalam karya Merawang dapat ditelusuri melalui tafsir atas dialog antar tubuh performer. Jika paradigma yang digunakan adalah bunyi haruslah musik, maka tafsir tersebut akan terjebak ke dalam logika yang keliru dan akan semakin jauh dari maksud pertunjukan.
Sedangkan sunyi, adalah iringan utama dari karya Merawang. Kesunyian dieksplorasi sebagai jembatan untuk penjelajahan batiniah. Suasana tanpa bunyi membuat fokus pertunjukan secara penuh diarahkan pada dialog antar tubuh performer. Sunyi menyediakan ruang kontemplasi yang individual dan privasi bagi penonton agar mampu menyelami katarsis pribadinya. Namun, pilihan artistik ini tentunya sangat berbahaya dan membutuhkan keberanian yang tinggi, karena tidak semua penonton siap dan memiliki bekal yang cukup untuk menyaksikan pertunjukan tari tanpa iringan. Meskipun demikian, karya Merawang telah menuntaskan tugasnya dengan baik.
Namun sebagai capaian akhir dari dancetheatre, karya Merawang masih terperangkap oleh kemaksimalan eksplorasi tubuh, sehingga emosi dramatik tidak terbangun dengan fondasi yang kuat. Hal ini menyebabkan beberapa bagian kehilangan daya dramatik dan kekuatan suasana. Meskipun sepele, namun masalah ini tentunya menjadi krusial, jika memilih dancetheatre sebagai bentuk atau teknik koreografinya. Karena pertunjukan dancetheatre kiranya perlu memberikan ruang yang leluasa untuk dramaturgi dapat berkerja. Agar, eksplorasi tari dalam peristiwa teater atau ekspresi teatrikal dari tari dapat menghadirkan struktur dramatik yang kompleks, meskipun landasan eksplorasinya hanya ide bukan cerita. Karena visi dramatik akan selalu ada bahkan pada pertunjukan nondramatik sekalipun.