Catatan Rudolf Puspa: Bersama Teater Memasuki Usia 75 Tahun -->
close
Pojok Seni
11 July 2022, 7/11/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-07-11T01:00:00Z
ArtikelOpini

Catatan Rudolf Puspa: Bersama Teater Memasuki Usia 75 Tahun

Advertisement
Rudolf Puspa Teater Keliling Jakarta


Oleh: Rudolf Puspa (Sutradara Teater Keliling, Jakarta)


Sederhana. Hari ini dirumah Sesa tengah malam dibangunkan dan Dery, Sesa, Abud, Asa menyanyi happy birthday. Maka masuklah aku ke umur 75 tahun di hari Rabu 29 Juni 2022. Tentu cara sederhana ini  justru membuatku “bahagia”. Sebuah kata bertuah yang sukar dicari gantinya. Jika berubah adalah pada diksi pengucapannya. Kulihat Asa diam dan akhirnya ketika selesai dan dia sendiri bersamaku barulah ia senyum hingga ketawa renyah khas dia.


Siangnya bersama Oi, Reno, Alexa, Alaska dan Sesa sekeluarga bersama ke mall di Sawangan dan makan siang merayakan lagi juga dalam kesederhanaan. Makan di resto Raca hingga kenyang.  Bermain bersama cucu di loby Cinema21 hingga tiba malam hari dan makan malam di mall itu lagi lalu baru pulang setelah pada belanja di super market lulu. Tapi aku sama alexa duduk2 di donat. 


Semakin aku merasakan ketenangan hidup. Tidak banyak lagi yang kuinginkan jika diukur materi. Tentu gembira dapat hadiah sepatu dari Dery seharga Rp899 ribu, celana dalam Rp20 ribu rupiah dan sepatu dari Abud berharga Rp2 juta. Untuk pertama kali  aku memakai sepatu semahal itu. Yang dari Abud justru yang untuk sehari hari dan dari Dery untuk acara resmi. Juga dapat hadiah sprei lengkap sarung bantal dan guling serta selimut tebalnya dari Sesa dan Oi. 


Semakin bertambah umur aku menemukan bahwa hidup jika mampu menata garis yang semakin lurus maka perjalanan semakin terasa tenang. Hanya aku sendiri yang harus tau kapan tetap pada jalanku atau masih ragu karena berseliwerannya kepentingan. Kesanggupan untuk menakar kemampuan harus dimiliki sehingga tidak hidup dalam ke-gundahgulana-an yang justru mengganggu kesehatan jiwa. Kalau merasa cukup berjalan pelan ya pelan, kalau mau cepat ya dipercepat dan seterusnya. Kadang cepat kadang pelan ya monggo. 


Jika budaya barat memang sejak akil baliq diajar hidup mandiri dengan harus keluar rumah sehingga sampai tua tak akan ada kata kesepian karena memang sendiri adalah sudah menjadi kulturnya. Namun di negeri ku tecinta memiliki kultur yang beda. Selalu hidup bersama bahkan berusaha untuk tidak pernah berpisah dalam hal tempat tinggal. Disadari atau tidak keturunan akan menanggung beban orang tua. Dan jika anak tidak punya perhatian dan tanggung jawab terhadap kehidupan hari tua orang tua bisa kena sumpah anak durhaka. Oleh karenanya problem keluarga sering tak ada habisnya hingga ke anak cucu.  Secara guyon sarkastis tanpa disadari anak adalah modal hari tua. Anak semacam komoditi.  Anak adalah tabungan atau asuransi hari tua. Hingga hari ini masih belum banyak yang memiliki jalan lain menuju Roma dalam hal ini.  Tentu semua terpulang pada sikap masing-masing sebab aku tak punya niat merubah atau melawan kultur. 


Manusia tak lepas dari kegelisahan walau porsinya saja yang berbeda. Ketika aku teliti kegelisahan yang ada padaku cukup kuat yakni masih berpacu dengan ide gagasan baru dalam berkarya yang terus muncul. Kadang aku merasakan kelelahan yang menggangguku sendiri. Kadang bertanya apa masih ada perlunya bagiku atau bagi orang lain?  Apa ada yang peduli dengan apa yang aku lakukan selama ini?  Ribuan kata manis, ribuan penghargaan bertumpuk dan apakah itu dibarengi dengan action nyata? Sampai akhirnya aku sendiri bertanya apa ada perlunya action dari orang lain?  Seperti kata Andre Lusa sobatku yang aktif di teater keliling sejak lulus SMA di Surbaya lalu datang ke Jakarta dan bergabung sejak 1984-2000 mengatakan bahwa aku sebagai aktor adalah bagaikan ikan yang berenang terus di air, entah sungai, laut, telaga atau apapun. Dia ikan sehingga berenang sudah jadi kebutuhan hidupnya karena itulah cara dia hidup.  Kadang menyelam lalu muncul hirup udara dan terus saja berenang. Aku menurutnya tidak lagi beracting tapi ikan itulah aku yang memperlihatkan tangkapannya selama berenang kepada sebanyak-banyaknya orang dimanapun berada. 


Ya, aku berenang dan mengalir sama saja dan sangat beruntung bukan ikan yang buas. Ikan lumba lumba yang cerdik dan suka menolong yang tanpa pamrih.  Lumba lumba menunjukkan jalan pada kapal-kapal yang tersesat ditengah lautan hingga kepantai lalu meninggalkan tanpa menunggu terima kasih.  Sang lumba lumba yang sayu matanya sambil pergi meneteskan air matanya gembira telah berbuat baik bagi sesama melalui panggungnya. Membuat tertawa, memberikan kritikan yang menyehatkan karena tak ada tujuan merusak persatuan dan kesatuan.  Tak punya niat mencari kekuasaan lalu memaksakan kehendak agar semua rakyat mengikutinya. 


Kini aku bisa gembira karena diumur 75 tahun sudah bisa melihat tiga cucu yang rekat denganku. Cucu-cucu yang selalu rindu bermain, rindu bersama, rindu tertawa renyah bersama. Ini anugerah yang sungguh merupakan keberuntungan hidup yang datangnya dari penguasa tunggal kehidupan ini. Kegembiraan yang sudah punya batas waktu yang suatu hari akan selesai kujalani dan kini masih merupakan sebuah misteri.  Misteri yang ditakuti banyak orang karena alasan duniawi yang belum selesai dinikmati.  Kini kutau bahwa kebutuhan duniawi nggak ada batasnya karena akan ada terus walau manusia sudah mati.  Yang perlu tau batas adalah manusia sendiri sehingga hilang rasa takut menghadapi hari akhir. Apa artinya tiap saat ucapkan kata Insya Allah jika masih penuh ketakutan?  Itu menunjukkan ucapannya hanya mekanis teknis tanpa isi. Ingat seni yang utama adalah isi. 


Bahagia karena masih sempat diberi ruang dan waktu melihat merasakan bahkan ikut berkarya di teater yang aku ikut mendirikan dan kini telah regenerasi. Regenerasi dadakan yang terjadi karena memang aku tak pernah merencanakan. Aku tidak pernah mengarahkan anak2ku untuk masuk ke dunia teaterku.  Sejak masuk sekolah sudah kuberikan kebebasan menentukan jalannya sendiri. Bagiku kewajiban orang tua adalah menyediakan sarana bagi keperluan anak-anaknya hidup hingga mengatakan sekolah selesai lalu terjun hidup mandiri. Doa yang aku ucapkan adalah agar selalu sehat jasmani rohani. Titik. Itu dua hal yang paling penting agar bisa memilih, menetapkan mana yang baik bagi dirinya.  Punya mimpi atau tidak, sukses atau tidak, dan sekian ribu kata-kata mutiara yang baik bagi anak-anakku seperti yang umum dikatakan orang tua bagiku tak penting.  Sehat jasmani dan rohani itu sudah segala-galanya. 


Hari ini, jika dirunut ke belakang ternyata aku mewarisi pendidikan kedua orang tuaku yang tak kusadari selama ini. Begitulah mereka mendidik aku tanpa banyak kalimat diucapkan.  Mereka lebih banyak action dengan berlaku yang santun, menenteramkan dirinya serta keluarganya. Tak ada amarah atau makian yang kasar pernah kudengar.  Ketika aku lulus sma dan pamit mau ke Jakarta maka ayahku hanya berucap “selamat jalan. Jaga kesehatan”.  Ibuku sudah almarhum sehingga aku tak pernah bisa pamit tapi aku percaya ia terus mengayomiku. Ibuku yang selalu senyum cantik sekali memang terasa sebagai pengayom yang mulia. Ketika adikku jatuh hingga kepala berdarah karena didorong temannya dengan kasar maka ibu jemput adikku dibawa pulang dan dengan senyum manisnya mengobati hingga selesai lalu berucap “maafkan mereka”.


Aku tak punya mimpi apapun kini karena aku merasa sedang menjalani semua mimpiku dan menikmati serta mensyukuri. Aku bahagia karena aku punya kendaraan yang kuat dan tangguh yakni “teater”. 


Salam jabat gembira di hari peringatan kelahiranku.


Sawangan 29 Juni 2022.

Rudolf Puspa

Email pusparudolf@gmail.com

Ads