Apollonian dan Dionysian: Ketegangan dan Keseimbangan Kedua Kutub -->
close
Adhyra Irianto
18 July 2022, 7/18/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-07-18T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Apollonian dan Dionysian: Ketegangan dan Keseimbangan Kedua Kutub

Advertisement
Apollonian dan Dionysian


Pojok Seni - Dunia adalah kekacauan, kata Nietzsche. Ia bahkan menyatakan nyaris tak ada perbedaan antara orang yang hidup dan orang yang tak hidup. Pesimisme terhadap dunia menjadi salah satu penyebab kenapa pengalaman transenden atau hal yang berada di luar nalar manusia menjadi sebuah jalan keluar untuk menghindar dari kekacauan dunia tersebut. 


Di saat itu, seni Dionysian datang membawa kabar yang ekstase. Kebenaran terhadap realita dan kebenaran bisa saja dilupakan atau bahkan ditolak, karena ilusi yang ditawarkan oleh seni Dionysian. 


Namun, seni apollonian menghadirkan ilusi lainnya.  Apollonian menetapkan bahwa kekacauan akan mampu diganti dengan ketertiban dan harmonis. Ilusi yang ditawarkan oleh apollonian dikenal dengan istilah "ilusi dari ilusi".


Ilusi dari ilusi, menurut Nietzsche, adalah hasil dari manusia yang mencari kepuasan dalam  ilusi. Ilusi yang tercipta di atas kekacauan, dan ilusi ini hadir dari kekuatan simbolis apollonian.


Sebelumnya, untuk pengertian apollonian dan dionysian, Anda bisa membacanya di sini:  Dionysian dan Apollonian dalam Kehidupan dan Karya Seni  


Dunia seni adalah dunia mimpi, bahkan mimpi yang menyenangkan. Karena itu ilusi yang dihadirkan dalam kehidupan, untuk "menutupi" kekacauan yang sebenarnya terjadi. Lebih lanjut, orang-orang juga akan bermimpi kalau mereka sedang tidak bermimpi. Dengan kata lain, mereka berharap mimpi atau ilusi yang ditawarkan apollonian bukan sebuah mimpi.


Itulah yang disebut ilusi dari ilusi. Dewa Apollo melindungi dan membimbing orang-orang yang mempercayainya. Dengan kata lain, hanya orang-orang yang mempercayai dan menurutinya saja yang akan mendapatkan ilusi tersebut. Namun, apollo dianggap oleh Nietzsche dalam The Birth of Tragedi sebagai dewa kedisiplinan, kepatuhan, keteraturan, ketenangan, dan akal. 


Apollonian dan Dionysian


Meski keduanya (apollonian dan dionysian) disebut sebagai kedua kutub yang selalu diliputi ketegangan, tidak kompatibel, serta terus berlawanan, namun nyatanya keduanya tidak pernah bisa dipisahkan. Mereka tidak hanya bisa "hidup" berdampingan, tapi justru saling membutuhkan. Bila keduanya bisa dipadukan dengan baik, akan menghasilkan keseimbangan yang sempurna. Nietzsche ketika masih muda pernah menyebut bahwa karya terbaik adalah tempat di mana keseimbangan sempurna terjadi. Hal itu hanya dimungkinkan dengan paduan dari apollonian dan dionysian. Keduanya, menurut Nietzsche, adalah jalur artistik untuk penciptaan seni.


Hubungan dari keduanya merupakan dialektika. Nietzsche "pernah" menganggap bahwa ketegangan antara keduanya memiliki pengaruh yang besar pada ranah penciptaan seni. Sebuah individualisasi rasional, dan kesatuan mistis bukan lagi jalan yang terbelah dua, tapi satu jalan yang sama. Semua pemaparan Nietzsche tentang dionysian dan apollonian banyak didapat dari The Birth of Tragedy. Opera Wagner dan tragedi Yunani kuno menjadi contoh sintesis sebagai hasil dari dialektika antara apollonian dan dionysian dalam karya seni.


Meski berikutnya, Nietzsche di kemudian hari menyebut bahwa bukunya berjudul Attempt at Self-Criticism, ia menyalahkan tulisannya yang menyebut tentang kesalahannya mengutip sejumlah filsuf yang menginspirasinya, termasuk di antaranya pernyataannya tentang Opera Wagner. Namun, teori estetikanya terutama tentang jalur artistik dionysian dan apollonian, masih dianggap tetap "valid" dan diikuti banyak penerusnya.


Sebab manusia adalah makhluk yang merupakan bagian dari suatu 'cosmos' yang kolektif, tapi sekaligus tetap harus mendalami dan mengeksplorasi psikologi dirinya sendiri. Seni adalah ungkapan perasaan tanpa batas, tapi sekaligus memberi batasan pada individualitas. Seni juga menegaskan subjek sekaligus objek universal.


Sintesis dari keduanya bahkan sering tampak dari pemaparan ide apollonian dalam bahasa dionysian. Begitu juga sebaliknya, gagasan dionysian namun dipaparkan dengan bahasa apollonian. Karena pada dasarnya, seorang individu memang akan selalu tunduk dengan ilusi yang hadir dari luar dirinya, namun juga akan merasa ekstasi ketika memasuki kedalaman jiwanya sendiri. 


Sedangkan dionysian adalah mabuk. Mabuk yang dikarenakan realitas yang kacau. Mabuk, dalam dionysian adalah sesuatu yang emosional, juga tidak logis dan tidak rasional. Tidak ada "subjek" di dunia, karena semua manusia adalah satu kesatuan dengan seluruh masyrakat yang ada di sekelilingnya.


Namun kenapa harus dionysian dan apollonian yang diambil menjadi sampel oleh Nietzsche? Yah, karena keduanya adalah dewa musik. Apollo adalah dewa musik yang teratur, memberi musik yang harmoni dan menenangkan namun memiliki hitungan yang tepat, serta rasional.


Sedangkan Dionysus adalah dewa musik yang mabuk, yang kacau dan tak teratur susunan melodinya. Namun, ia juga kreatif alias gila, serta tragedi. Kegilaan level dewa, dan kesatuan yang menghadirkan efek eksatik menjadi kata kunci dari sifat dionysian.


Apollo ialah seni nalar, lebih menenagkan dan memiliki struktur. Apollo juga menawarkan prinsip individualisasi, terstruktur, dan tak terikat dengan komunitasnya. Sedangkan Dionysian adalah emosi, kreatif, dan kegilaan, tanpa struktur namun mementingkan persatuan. Satu manusia dan manusia lainnya tergabung dalam suatu persatuan (koherensi).


Sedangkan kekacauan dunia, membuat manusia harus terus kalah dengan takdir, ketidakberdayaan, serta kekuatan alam semesta. Maka muncul "ilusi" bahwa dihadirkannya dewa-dewa di era Yunani, adalah untuk mengatasi masalah kekacauan tersebut. Namun, pada dasarnya, dunia tetap sebuah kekacauan. Sedangkan ide tentang keteraturan tersebut ialah sebuah ilusi yang ditawarkan dewa-dewa.

Ads