Advertisement
Apa perlu Kementerian Kebudayaan di Indonesia |
PojokSeni - Beberapa catatan-catatan dan diskusi yang beredar di sejumlah Whatsapp Group (WAG), Facebook, dan diskusi kedai kopi tentang "kementerian kesenian atau kementerian kebudayaan" sedang pelan-pelan menjadi topik yang hangat. Seperti saudara Willy Fwi dari Studio Riau Beraksi, Pekanbaru, yang memberi tawaran agar seniman lebih berpartisipasi dalam pesta demokrasi Indonesia. Sebab, menurut pandangan Willy, saat ini ada semacam antipati dari para seniman terhadap situasi tersebut, katakanlah politik praktis, sejak era Orba.
Willy melihat ada anomali pada Pilpres 2014 dan 2019 di mana secara mengejutkan mendadak para seniman dan budayawan justru telah bertransformasi menjadi mesin propaganda, alias tak sekedar berpartisipasi. Para seniman dan budayawan bukan lagi sekedar penggerak, tapi telah menjadi minyak pelumas dalam mesin tersebut. Hasilnya, lahirlah Undang Undang Pemajuan Kebudayaan yang ditujukan untuk mengangkat harkat kehidupan seniman di negeri adidaya budaya ini.
"Nah..., dua agenda politik Indonesia sudah lewat, lalu adakah yang berubah pada kerja-kerja kebudayaan selain UU Pemajuan Kebudayaan yang implementasinya hingga hari ini masih terseok-seok?" tulis Willy.
Sekarang, saran Willy, sudah waktunya seniman dan budayawan memiliki daya tawar (bargaining power) di pemerintahan. Khususnya, menjelang gelaran kontestasi pemilu tahun 2024 mendatang. Salah satunya dengan menawarkan semacam kontrak politik antara "gerbong" seniman - budayawan dengan calon presiden. Salah satu tawarannya, bagaimana bila kebudayaan dan (tentunya) kesenian sudah memiliki kementerian sendiri yang terpisah dari "pendidikan" apalagi dengan "ristekdikti".
Willy memberikan contoh bagaimana Perancis menjadi negara yang memiliki fokus pada kebudayaan. Bahkan, di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan berbagai negara Asean saja sudah memiliki kementerian khusus untuk fokus ke kebudayaan, dan kesenian. Tidak hanya itu, berbagai provinsi di Indonesia saja sudah memiliki SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) khusus kebudayaan, yang terpisah dari "pendidikan".
"Sekedar mengingatkan, UUD 1945 pasal 32 ayat 1 mengamanatkan bahwa 'Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya'," tegas Willy.
Dengan dasar itulah, Willy memberi saran agar lahir Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, satu kementerian yang sudah lama dirindukan oleh para budayawan, seniman, dan yang terkait dengan "kementerian" tersebut.
Catatan dari Slamet Rahardjo
Sementara itu, Slamet Rahardjo, seniman senior Indonesia menyatakan sebelum mengusulkan hal tersebut, perlu "didudukan" terlebih dahulu apa pengertian dasar kebudayaan. Selama ini, menurut Slamet Rahardjo, kebudayaan kerap diartikan sebagai "Seni Budaya". Padahal kesenian hanya salah satu unsur kebudayaan, karena pada hakekatnya kebudayaan merupakan seluruh budi daya manusia di kawasan tertentu sesuai adat istiadat dalam menjalankan kehidupannya.
Kebudayaan, sambung Slamet Rahardjo, merupakan dasar berpikir dan bertindak dari segala bentuk kebijakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya kebijakan pertahanan dan keamanan nasional (Hankamnas) dan lain lain (yang menyangkut hajat hidup bernegara) harus didasarkan atas kebudayaan bangsa.
"Kesenian bangsa merupakan karya cipta seni yang tampil sebagai gambaran/image dari 'dimensi negeri indah tak terperi' yang rakyatnya berbudi pekerti baik karena mampu hidup berdampingan, menyatu dalan keberagaman. Hal ini harus kita sama sama tekuni untuk memahami kebenarannya yang hakiki," tutup Slamet Rahardjo.