Advertisement
Oleh: Ikhsan Satria Irianto*
Teater Tonggak Jambi kembali mempertegas eksistensinya di ranah perteateran Indonesia melalui pementasan Lemari karya/sutradara Henry Nursal. Pertunjukan yang berdurasi sekitar satu jam ini dipentaskan dua hari berturut-turut, yaitu pada hari Jumat dan Sabtu (10-11/06/22) di Gedung Teater Arena, Taman Budaya Jambi. “Lemari” merupakan capaian dari kerja kolaborasi Teater Tonggak Jambi bersama berbagai kelompok seni di Provinsi Jambi, seperti Sanggar Seni RASI, UKM Seni dan Budaya Aek Ngalir Universitas Batanghari, Sanggar Seni Kampus Biru FKIP Universitas Jambi, Sanggar Seni FKIP Universitas Batanghari, UKAR Dance Project, Simpul Merah Art Movement dan Prodi Sendratasik Universitas Jambi. Karya teater yang ditulis, disutradari sekaligus diperankan oleh Hendry Nursal ini di bawah bimbingan Didin Siroz sebagai konsultan artistik.
Karya teater Lemari menyuguhkan tiga peristiwa dengan pemaknaan atas “lemari” yang berbeda. Sebagai unsur esensial dalam pertunjukan, “lemari” hadir tidak hanya sebagai material artistik, tetapi menjadi titik berangkat sekaligus garis akhir untuk setiap peristiwa. “Lemari” diberikan biografi oleh tiga peristiwa, peristiwa pertama mendefinisikan “lemari” sebagai pengikat wasiat dan tabir kebenaran, peristiwa kedua mendefinisikan “lemari” sebagai arena pertarungan kelas, sedangkan peristiwa ketiga menjadikan “lemari” sebagai objek puitik yang eksploratif. Peristiwa ketiga adalah pengisi pada transisi adegan yang diwujudkan melalui visualisasi suasana atau dapat dikatakan semacam “eksplorasi puitis”. Artinya, peristiwa ketiga lebih kepada upaya stilisasi suasana atau alienasi peristiwa, tanpa mengandung struktur cerita yang utuh. Maka, yang memenuhi komponen dari cerita, hanya peristiwa pertama dan persitiwa kedua.
Peristiwa pertama mengisahkan tentang tiga tokoh yang jiwanya terpenjara di dalam “lemari” akibat rasa bersalah atas kesalahan masa lalunya. Tokoh pertama bernama Levon, seorang lelaki yang menghabiskan hidupnya untuk bersembunyi di dalam lemari sebagai upaya menemukan kebenaran. Sayangnya, keterikatannya atas “lemari” membuatnya kehilangan kendali atas jiwanya sendiri, ia gagal memisahkan antara realitas dan mimpi. Sedangkan dua tokoh lainnya, Mahesa dan Rian menjadikan “lemari” sebagai tempat menyembunyikan semua kebohongan dan kejahatannya. Akibatnya, kedua tokoh ini terjebak dan terikat oleh “lemari” yang tidak bisa mereka buka. Ketiga tokoh tersebut menyadari bahwa “lemari” adalah sumber dari segala masalah, namun mereka juga menyadari bahwa “lemari” juga merupakan titik penyelesaiannya. Namun, ketidakmampuan ketiga tokoh ini untuk menemukan kunci “lemari” yang tepat membuat ketiganya mengalami kejatuhan psikologis yang parah.
Sedangkan peristiwa kedua mengisahkan tentang pertarungan identitas antara kemeja, jeans, jas, celana dan pakaian dalam. Para penghuni “lemari” tersebut saling beradu argumentasi untuk mempertegaskan posisi dan kelas sosialnya. Tidak ada biografi watak yang jelas dari para penghuni “lemari” ini, namun keinginan untuk menjadi yang paling mulia dan bermartabat menjadi topik pembahasan dalam setiap perdebatan.
Karya “Lemari” merepresentasikan lemari bukan sebagai tempat penyimpanan barang saja, tetapi juga sebagai ruang dialogis untuk berbagai topik. Mulai dari isu lingkungan, krisis identitas, perebutan kekuasaan, perbedaan kelas, silang budaya, kejahatan, rahasia, wasiat, manipulasi, siasat hingga pembunuhan. Sebagai “lemari”, kiranya karya ini telah melampaui dari hakikat lemari yang sesungguhnya. Artinya, “lemari” berhasil menyelesaikan tugas yang berat, karena tidak hanya menjalankan tugas fungsionalnya, tetapi juga menyelesaikan tugas filosofisnya.
Secara gaya pertunjukan, pertunjukan “Lemari” kiranya tidak bergerak dari satu “-isme” tertentu. Tiga peristiwa yang dihadirkan memiliki visi artistik yang berbeda. Peristiwa pertama (cerita tentang tokoh Levon, Mahesa dan Rian), meskipun tidak cukup untuk memenuhi konvensi teater realisme, namun visi dramatiknya berangkat dari problematika yang realistis. Peristiwa kedua (cerita tentang Kemeja, Celana, Jas dan Pakaian Dalam), mencoba mewujudkan alam surealis melalui personifikasi benda mati. Sedangkan peristiwa ketiga (eksplorasi puitis), berangkat dari visi simbolisme, di mana para tokoh hadir tanpa memerankan tokoh namun lebih kepada perwujudan simbol. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa karya “Lemari” mencoba mengekplorasi tiga gaya (isme) yang berbeda, yaitu realisme, surealisme dan simbolisme. Sebagai pilihan konsep pertunjukan, konsep multi-isme ini begitu menarik untuk dibaca. Karena tiga gaya tersebut tidak hanya berbeda secara bentuk, tetapi juga berbeda secara visi artistik. Namun, jika menyaksikan secara keseluruhan, karya “Lemari” kiranya telah berhasil menyuguhkan karya teater multi-isme yang cukup aman dan tetap menarik untuk disaksikan.
Sedangkan, pola garap yang digunakan terlihat lebih menekankan pada aspek visual. Hal ini tergambar dari pengolahan bentuk yang lebih detail, dibandingkan dengan pengolahan struktur dramatiknya. Sebagai contoh, beberapa penempatan dan pergerakan aktor digarap dengan komposisi yang seimbang, variatif dan dinamis. Namun, secara alur dramatik tidak terkawal dengan ketat. Beberapa adegan menjadi lepas dan kehilangan tempo permainan karena eksplorasi tubuh yang mendominasi. Konsekuensi logisnya adalah penonton lebih menikmati suguhan visual dibandingkan dengan merasakan alur yang digiring ke puncak emosi. Dua peristiwa yang dihadirkan membentuk alur yang tumpang tindih dengan hubungan kausalitas yang lemah, sehingga fokus penonton terpecah. Eksplorasi tubuh yang dominan, menenggelamkan daya hadir dari eksplorasi psikologis tokoh oleh aktor. Akibatnya, adegan-adegan verbal kehilangan intensitasnya akibat transisi adegan yang mengedepankan keindahan visual (didominasi oleh eksplorasi tubuh). Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa karya “Lemari” lebih menekankan kepada aspek bentuk bandingkan dengan aspek isi. Pola garap seperti ini kiranya berangkat dari titik atau bisa jadi bergerak menuju titik formalisme.
Sebagai karya teater multi-isme, cara bijak untuk mengapresiasinya adalah dengan cara memilih kunci yang tepat untuk membuka setiap pintu “lemari”. Memahami karya “Lemari” dapat dianalogikan sebagai sebuah cara membuka pintu “lemari” formalistis yang memiliki tiga pintu, yaitu pintu realis, pintu surealis dan pintu simbolis. Setiap pintu menawarkan peristiwa yang berbeda dengan visi dramatik yang berbeda pula. Untuk memahami peristiwa di dalam pintu realis, maka kunci yang digunakan adalah kunci realis, begitu juga untuk pintu surealis dan simbolis. Artinya, penonton tidak akan dapat membuka “lemari” jika memaksakan satu kunci untuk semua pintu. Jika penonton hanya memiliki satu kunci, katakanlah hanya memiliki kunci surealis, maka pintu yang hanya terbuka adalah pintu surealis dan peristiwa yang dapat dinikmati adalah peristiwa yang ada di dalam pintu surealis. Hal ini dikarenakan setiap -isme memiliki cara penghayatan yang berbeda-beda. Memilih kunci yang tepat adalah upaya memosisikan diri sebagai apresiator yang bijak.
*Penulis adalah dosen teater di Prodi Sendratasik, Universitas Jambi