Kerja yang Hilang: Bicara Teater di Sumatera Barat -->
close
Pojok Seni
25 June 2022, 6/25/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-06-25T01:00:00Z
Artikelteater

Kerja yang Hilang: Bicara Teater di Sumatera Barat

Advertisement

Oleh: Akbar Munafiz

I

Tulisan ini, merupakan sempalan ringan dari obrolan-obrolan ringkas  saat saya bersama kawan-kawan berkelakar tentang teater di Sumbar masih ada? Meskipun kelakar, saya pikir juga patut menjadi perbincangan dan mudah-mudahan bisa menjadi wacana bersama, untuk kemudian digulirkan dalam bentuk kerja nyata. Ada banyak masalah ketika kita hendak bicara tentang teater di Sumatera Barat mulai dari kelompok, produksi, fasilitas, penonton dan masih mungkin kita tambahkan lagi lebih banyak dari yang kita duga. Mengingat banyak dan berkelindannya antar masalah, tulisan ini mencoba memperkecil cakupan skala masalah tersebut berdasarkan kerja teater yang umum kita jumpai dalam setiap bentuk pertunjukan teater. 


Alasan yang mendasari mengapa saya berangkat dari kerja teater, sebagai pintu masuk untuk mencoba mengurai titik simpul bahwa kerja teater merupakan proses saling bertemunya gagasan tentang dunia yang tak mungkin tercipta secara ideal melalui aktivitas manusia saat berhadapan dengan realitas banal. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan cara lain untuk menumbuhkan gagasan tersebut menjadi kenyataan untuk menilai hidup, merubah pandangan masyarakat terhadap sesuatu, bahkan mampu menggerakkan masyarakat menjadi lebih progresif.


Pengertian Kerja teater yang disebutkan di atas membutuhkan hubungan-hubungan langsung antar manusia, maka jelas bahwa hubungan itu harus berjalan harmonis; berkelanjutan; terpilah dan jernih. Celakanya, kerja teater itu tidak berjalan mulus seperti yang kita bayangkan. Masalah muncul ketika ada figur sentral yang seolah-olah tidak bisa tergantikan peranannya dalam kerja teater. Maka dari itu setidaknya ada tiga dosa yang harus kita tebus, sebelum kembali kita menghidupkan ekosistem teater di Sumatera Barat, yaitu:


  1. Masih terpeliharanya figur sentral dalam setiap produksi teater. figur sentral itu bisa siapa saja, yang jelas sosok tersebut memiliki  peran dominan, sehingga kerja kreatif yang diagung-agungkan seharusnya terpilah dan jelas secara proporsi, menjadi cacat.
  2. Mereka yang kehilangan fungsi dan perannya, lama-lama tergerus oleh figur sentral, kemudian posisinya secara struktural tinggal nama saja.
  3. Lebih jauh, konsekuensi yang cukup serius menurut saya adalah hilangnya daya dobrak dari pertunjukan teater. daya dobrak yang saya maksudkan, bahwa nomor pertunjukan yang diproduksi, kehilangan nilai corak estetik dan menjadi pragmatis.


Perlu dingatkan sekali lagi, kerja teater dalam pembahasan ini mengacu kepada relasi antar komponen penyangga dalam sebuah pertunjukan teater. Relasi tersebut bisa kita bagi menjadi tiga yaitu: (1) relasi internal (r1) meliputi hubungan antar sutradara, aktor,  penata artistik, dramaturg, pimpinan produksi dan seterusnya. (2) relasi eksternal (r2) meliputi hubungan pengelola fasilitas; pihak swasta, pemerintahan, kritikus dan penonton. (3) relasi lanjutan (r3) meliputi hubungan langsung antara r1 dan r2.  Jika, salah satu dari komponen tersebut tidak bisa mengaktualkan diri-nya, secara tidak langsung kerja dialektis hanya tinggal sebutan keren agar terlihat hebat.


Lalu, cara apa yang harus kita tempuh agar tiga dosa di atas bisa teratasi, supaya kerja teater bisa berjalan sepatutnya? artinya kita terlebih dahulu bicara soal kelompok teater, sebab kerja teater itu menubuh pada kelompok teater yang mensyaratkan kerja itu bisa dilakukan. Apa yang mesti kita bicarakan bukan soal apa yang menjadi pilihan ideologi atau cara kelompok tersebut melakukan latihan, tetapi menemukan salah satu strategi agar kelompok tersebut bisa dinamis dan bertahan. Yap, tentunya dengan merubah cara kerja teater yang selama ini masih terpusat pada satu orang, dengan kata lain mulai menciptakan kerja teater berbasis pada pembagian kerja. Misalnya, pada r1 relasi antara dramaturg dan sutradara. keduanya mensyaratkan cara kerja yang berbeda. Apa yang menjadi basis kerja sutradara dan dramaturg pun memiliki perbedaan, sudah pasti cara kerjanya pun ikut berbeda. 

 

Secara khusus kerja sutradara meliputi memilih pemain; melakukan pembagian panggung; mestimulan aktor; menciptakan spektakel, sedangkan kerja dramaturg menentukan naskah; membangun plot; menciptakan dramatik. Dua kerja semacam itu menunjukan ada dua identitas yang bekerja sesuai posisinya masing-masing. Pembagian kerja tersebut akan berjalan dengan baik jika adanya kesadaran tentang posisi dan fungsi dari masing-masing anggotanya. Setidaknya dengan melakukan kerja teater berbasis pada pembagian kerja, membantu kita untuk mencari strategi yang bisa membantu kelompok-kelompok teater agar terus produktif. Mengingat kelompok teater adalah salah satu tonggak dari ekosistem teater, tidak mungkin rasanya kita menghilangkan dari rantai makanan, seandainya kelompok-kelompok teater dihilangkan, kepada siapa lagi kita berharap, seniman teater? Ya kali.


II


Masih dalam rangka obrolan ringan bersama kawan-kawan, ada seorang kawan memberikan ide, yang menarik perhatian. Saya pikir juga patut mendapatkan perhatian. Ide itu berkisar tentang peran dramaturg, biasanya dramaturg hanya berurusan dengan masalah dapur saja (naskah dan seterusnya), kali ini pengertian dramaturg diperluas sesuai dengan konteks zamannya yaitu: masuk dalam ranah produksi, kalau istilah yang digunakan oleh kawan saya dramaturgi institusional dan dramaturgi produksi. Pengertian yang pertama mengacu kepada pengertian dramaturgi sebagai manajer kesusastraan, kedua mengacu kepada manajer produksi. Lebih lengkapnya kawan saya menyatakan, sudah saatnya mendirikan suatu kompani, yang mampu memproduksi teater skala besar-besaran, kemudian melakukan proses audisi yang ketat untuk kebutuhan pertunjukan.


Sebelum lebih jauh menanggapi ide dari kawan tersebut, secara diam-diam saya melakukan analisis sederhana, kira- kira apa yang menjadi posisi teoritik kawan saya tersebut. Saya pikir, ada kondisi, di mana ada yang tidak relevan lagi bagi ekosistem teater. awalnya saya berpikir bahwa acara-acara seperti festival atau lomba, malah itu tidak punya pengaruh cukup besar pada tataran dasar sebagai ekosistem. Seterusnya, saya mengira karena tidak ada lagi orang yang mau menghabiskan hidupnya untuk teater, alasan ini saya kira juga terlalu naïf. Barulah kemudian saya menyadari, bahwa pemahaman kawan saya itu berangkat dari sudah tidak adanya kelompok teater, kalau pun masih ada, mungkin tinggal nama besarnya saja, kemudian terlalu banyaknya aktor dan sutradara yang tidak memiliki ‘tuan’ (ronin), lalu tidak adanya dramaturg serius atau kuat, yang mau melakukan riset mendalam atas karya yang ingin dipentaskan. Tiga poin tersebut, saya pikir cukup mewakili dasar berpijak dari mana ide dramaturgi produksi berasal.


III


Ada beberapa masalah yang timbul dengan kita mencoba mendorong cara kerja dramaturgi produksi secara penuh dan meninggalkan dramaturgi institusional. Beberapa masalah tersebut bisa kita deteksi mulai dari proses pelaksanaan sampai kepada ranah filosofis. Mungkin apa yang saya cemaskan itu tidak begitu gawat bagi sebagian orang, tapi nyatanya siapa yang mampu menerka masa depan, selain dari prediksi atas gejala-gejala yang mengemuka baik tampak maupun samar-samar.  Antara lain masalah yang akan timbul adalah:


  1. Hilangnya kelompok-kelompok teater, akibat adanya migrasi besar-besaran dari kelompok menuju kompani teater.  
  2. Makin banyaknya ronin dalam dunia teater. salah satu penyebabnya mungkin, bagi seniman yang tidak lolos audisi berkali-kali, akan kehilangan tempat bernaung. Sementara kelompok teater mulai hilang akibat pertunjukannya di cap memuaskan diri mereka sendiri atau sudah tidak relevan.
  3. Menipis nilai artistik yang tegas, sebab lama-kelamaan masyarakat didorong mengikuti selera pasar (arus-utama). Lebih jauh, jika ada riset teater sedikit diragukan kemandiriannya tanpa intervensi pihak swasta atau pemerintah.
  4. Apakah mungkin pihak penyelenggara, memberikan dana regular bagi para seniman yang lolos tahap seleksi, mengingat lamanya waktu yang dihabiskan untuk satu pertunjukan.


IV

Nah, dari persoalan di atas, mulai dari permasalahan ekosistem sampai dramaturgi produksi, saya ingin menyumbang pikiran sederhana untuk memperkaya khazanah teater Sumatera Barat. Pertama saya, mengajukan bentuk model kelompok teater berbasis pembagian kerja, dengan harapan melalui pembagian kerja yang terpilah dan jernih, kelompok teater menjadi lebih dinamis ketimbang hanya mengekor pada satu instruksi. Semoga dengan moda semacam ini, makin banyak kelompok teater bermunculan. Kedua, terkait dramaturgi produksi, saya kira ada baiknya juga kita menimbang kembali dramaturgi institusional dengan mendorong lahirnya dramaturg yang ketat, sehingga kelompok yang dinaungi oleh masing-masing dramaturg punya kapasitas mapan atas pekerjaannya.

Masih terkait soal dramaturgi produksi, kalau kelompok teater sudah punya gairah kembali, ekosistem yang kita impi-impikan sudah mulai berjalan. Sebab, ronin satu per satu mulai menemukan kembali ‘tuannya’, dan juga saya pikir ini lebih efektif dari pada kita hanya berharap pada produksi besar-besaran. Tegasnya, dua moda dramaturgi bisa berjalan sesuai pembagian kerjanya, karena kita bisa melihat momen dialektis ketimbang harus memilih satu dari dua moda dramaturgi. Berikutnya, pihak pemerintah juga bisa mengucurkan dana untuk kepentingan kelompok, yang dikelola dan dikontrol oleh kedua pihak. Setiap kelompok yang diberi dana, wajib melakukan pertunjukan pada jangka waktu tertentu. Sementara untuk acara besar bisa dilakukan dalam bentuk kolaborasi antar kelompok, tentunya juga berdasarkan riset, mungkin ini bisa dilakukan setahun sekali.


Terakhir, menginisiasi berdirinya forum-forum untuk kemajuan teater Sumatera Barat, misalnya asosiasi dramaturgi Sumatera Barat, atau entah apalah namanya, itu juga berlaku bagi aktor, sutradara dan lain-lain. Bisa seperti kurator dalam medan seni rupa, asosiasi tersebut bisa mendistrubusikan terkait ilmu pengetahuan, yang bisa memperkokoh posisi tiap-tiap anggota asosiasi yang terdiri dari orang-orang yang dipilih kelompok untuk berpartisipasi.     


Sekian dulu, pikiran sumbang bernada bias ini bisa saya bagikan. Melampaui semuanya, memang dibutuhkan teori-praktik yang tidak bisa kita lepaskan satu sama lain.

Ads