Kemarau Empati: Katastrofe dan Cinta -->
close
Adhyra Irianto
10 June 2022, 6/10/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-06-10T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Kemarau Empati: Katastrofe dan Cinta

Advertisement


Oleh: Prof. Yusmar Yusuf


Belajar apa yang dirasakan orang lain sebagai derita kita sendiri. Menjadi bagian dari sesuatu yang berada di luar diri kita, adalah cinta. Kehidupan serba teratur yang digambarkan oleh makro kosmos ini, terjadi karena kasih dan cinta (rahmat Tuhan) yang melebihi benci dan amarah-Nya. Kebencian akan membawa nestapa dan keruntuhan. Cintalah yang mendekatkan. Mematah jarak yang serba nun menjadi dekat. Untuk menjadi seorang pencinta, selalulah melintas (passing over) dan “merantau”. Walau sejauh-jauh merantau, toh akan kembali jua ke pangkuan dan haribaan sang bunda bernama kampung halaman. 


Hampir tiga tahun ini, dunia mengalami bencana ketidak-seimbangan. Mungkin virus-virus baik bermutasi menjadi virus jahat tersebab oleh ketak-seimbangan ekologis, jua ketak-seimbangan kebijakan ekonomi yang bermuara pada peluluh-lantakan ekologi dan ekosistem. Luluh-lantak, ketak-seimbangan itu hanya bisa dijahit dengan cinta. 


Pageblug baksil yang menggerogoti dunia hari ini, berhulu dari sebuah metropolitan Cina: Wuhan. Dari sini alam melakukan sistem seleksinya, demi menemukan keseimbangan baru (new equilibirium). Seleksi alam itu amat kaya dan berulang-ulang dalam bentuk katastrofe (bencana); banjir bandang, tsunami, gempa, letusan gunung berapi, wabah penyakit. 


Siapa yang tersisa dari bencana-bencana itu, adalah yang terpilih dan unggul. Hal hasil, mereka yang unggul saja yang mampu bertahan dan melakukan “survival” pada kehidupan berikutnya. Seleksi alamiah, didampingi pula dengan “seleksi buatan” (human made selection): perang, konflik, merawat kebodohan, kedunguan, termasuk pula wabah gaya hidup metro-seksual yang mengarah pada legalisasi gaya hidup LGBT, free sex, hedonisme dan seterusnya... Semua ini bisa menjadi instrumen pemicu “seleksi buatan”, termasuk pula “artificial intelligence” (kecerdasan buatan) yang meminggirkan fungsi dan peran manusia dalam derap kehidupan progresif hari ini dan masa depan. 


Wabak, wabah baksil sebagai pandemi, menjadi horor dunia. Sebuah bencana dan kecelakaan peradaban? Sebuah bencana atau kecelakaan hanya bisa dijinakkan lewat dialog, lewat pemikiran dan hati yang terbuka (masyarakat pengetahuan alias knowledge people). Bukan pemikiran tertutup, menolak, menendang. Sehingga dia akan menghasilkan mahkota dialog yang membuat masyarakat pro sains dan bukan masyarakat anti sains dan anti dialog. 


Wesley Ariarajah amat meyakini bahwa “dialog bukan sekadar ikhtiar untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, akan tetapi sekaligus untuk membangun suatu “masyarakat yang saling bergaul”, suatu “masyarakat penuh kasih dan bernalar” melintasi berbagai ras, etnis, dan agama; umat belajar memahami perbedaan yang ada, bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sesuatu yang “wajar” dan “normal”. 


Kemarau empati


Para belia, anak-anak dan ibu hamil yang terdampar dalam penantian di sebuah pulau terluar bernama Natuna (awal pandemi), harus kita datangi dengan kedalaman empati. 


Sejumlah hidangan dialog yang kaya dan ranggi. Bukan dikucil dan dipencil oleh sejumlah sorak, ejekan dan teriakan. Mereka, individu yang tengah luka dan calar jiwanya setelah berbulan-bulan terkepung dalam sebuah kota yang diterkam wabah mematikan. 


Tiada pilihan, kita yang berada dalam sejumlah kenormalan akal sehat harus menjadi setawar-sedingin; penyejuk luka dan calar yang mereka idap. Mereka adalah mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di negeri Tirai Bambu, yang di dalam hadith Nabi pun dianjurkan untuk didatangi sebagai sumber ilmu dan hikmah. Kenapa kita menjadi begitu agresif, tertutup dan ilusif? 


Jenis kedangkalan apa yang menyerang sehingga mengalami kemarau empati. Jika tak bisa berbagi, maka panjatkanlah doa, agar dilindungi dan tidak menjadi wabak bagi bangsa ini. Mereka, manusia yang memiliki hak dilindungi dan dikasihi. Hak-hak itu hanya bisa disalurkan dalam sejumlah dialog dan keterbukaan pemikiran dan hati. 


Di sini, prinsip menerima orang lain menjadi amat penting. Milad Hanna seorang cendekia penganut Koptik Mesir berujar lembut; “prinsip menerima orang lain itu begitu fundamen dan asas. Tidak pantas seseorang untuk merasa dan bersikap yang paling baik, paling benar, dan paling mulia dibanding orang lain”. Kian sering seseorang berinteraksi dengan orang lain yang berbeda budaya, adat, agama, semakin tumbuh subur budaya “qabul al akhar” (menerima orang lain), bukan “karahiyah al akhar” (membenci orang lain). 


Semakin sering seseorang membaca agama-agama lain dan berdialog dengan para penganut agama yang berbeda itu, semakin dia dapat mengembangkan budaya qabul al akhar. Walau demikian, perlu diingatkan bahwa sebelum seseorang menerima orang lain, dia harus bisa menerima keadaan dirinya sendiri. Seseorang yang tak dapat menerima keadaan dirinya sendiri, bakal sulit menerima keadaan orang lain”, demikian Hanna. 


Merawat kedunguan dengan cara menutup diri, merasa paling benar dan anti-dialog adalah bentuk lain dari “seleksi buatan” yang ikut memusnahkan peradaban. Sudah cukup “seleksi alam” bertujuan menurunkan demam bumi untuk menemukan keseimbangan baru, populasi manusia muka bumi kian berkurang, sehingga bumi sebagai elemen mekanis itu bisa bekerja lagi secara normal. 


Seleksi alami ini tak perlu didampingi lagi dengan seleksi buatan manusia lewat merawat kedunguan dan menutup diri. Perkayakan diri dengan cara merasakan derita orang lain. Bukan mereka yang berkehendak untuk ditimpa musibah, tetapi oleh keadaan dan zamanlah mereka menjadi bagian dari “anak musibah”. 


Arkian, bolehlah dinukilkan sekilas tentang pengalaman seorang pencari spiritual dengan jalan “passing over” (merapah) dan “coming back” (kembali pulang); semacam perapahan dan merantau masuk lewat cara melintas ke dalam agama-agama lain, demi memperdalam, memperkaya, menyubur dimensi spiritualitas diri. Setelah itu tetap “kembali” (coming back) ke rumah kehangatan spiritual agama sendiri sebagai “homeland”. Anggaplah orang lain dan agama-agama lain di luar agama dan diri kita sebagai “wonderland” (tanah pukau), ujar 


Dunne, yang perlu kita jelajahi, tapi dengan niat untuk bersama menanam empati saja. Setelah itu kita tetap pulang (coming back) ke “tanah air sendiri” (homeland), bernama Indonesia, bernama Islam yang hanif. 

Ads