Advertisement
Oleh: Rudolf Puspa: Teater Keliling Jakarta
Aku terperangah melihat salah satu karya anak-anak generasi kedua teater keliling melalui Tik Tok yang dalam waktu lima hari mendapat penonton 6,5 juta dan komen 800. Lama aku tercenung mengembara imajinasiku melewati batas2 langit yang memang tak ada batasnya.
Bukan sekali dua menggunakan medsos seperti FB, IG, Youtube untuk mempublikasikan pergelaran teater keliling. Namun dari catatan jauh dibawah angka tersebut yang menonton. Apalagi yang nge like dan komen. Rasanya pengen ada penelitian mengenai hal yang jadi menarik untuk dibicarakan dan diolah menjadi ruang publikasi kegiatan teater Nusantara yang masih dibawah garis “kemiskinan” dalam arti luas. Miskin penulis skrip, sutradara, art director, aktor/aktris, produser dan sekian panjang deret crew di belakang dan depan panggung.
Percaya atau tidak, malu atau tidak saya merasa ada kelemahan dalam hal menangkap peluang. Terlebih peluang yang muncul di abad digital ditambah pandemi dua tahun yang melanda dunia. Jikapun yang menulis status di medsos cukup besar jumlahnya, namun jika diperhatikan akan tergambar bahwa isinya adalah gagasan, pemikiran atau sekedar catatan yang masih sangat pribadi urusannya. Ini untuk tidak mengatakan egoisme masih menguasai para penggemar medsos dalam berselancar. Terlebih yang mengirimkan baca puisi, drama, atau seni pertunjukkan masih rata-rata maksimal 1000 viewers.
Kalau target mengirim ke medsos sekedar sebagai tanda hadir atau pemberitahuan bahwa masih hidup; walau kadang terkesan hidup segan mati nggak mau; maka target tersebut okelah sangat dihormati. Namun bagiku ada hal yang menguntungkan yakni untuk melihat peta kehidupan teater Nusantara. Bahwa teater Indonesia masih sedang hidup dan berusaha terus melahirkan karya. Pada saat yang sama sambil melihat sejauh mana nilai karya-karya teater di tanah air dan udara Nusantara. Maaf kata sekilas kebanyakan masih terbawa arus karya-karya teater konvensional.
Seperti halnya dalam perkembangan medsos di abad digital yang terus menerus mengalami perubahan yang semakin cepat maka terkesan karya-karya teater kita sangat tertinggal akibat lambat menangkap peluang2 yang dibawa oleh lajunya perubahan teknologi. Perubahan sudah sampai pada hitungan menit yang selalu ada yang baru yang baru yang baruuuuuu lagi. Hari ini kita sedang mempelajari A, eh besok sudah muncul B dan lusa C serta seterusnya sehingga kita makin ketinggalan jauh. Sebagai catatan saja tentang RUU Sisdiknas masih belum selesai padahal sangat dibutuhkan agar sistem pendidikan nasional tidak semakin tertinggal jauh bahkan dengan negeri jiran yang dekat. Bersyukur UU pemajuan kebudayaan sudah diundangkan dan pelaksanaannya yang masih tertatih tatih karena minimnya pengalaman dan yang terutama secara umum bangsa kita sangat lambat dalam hal mengikuti perubahan. Sangat sulit menyadari kelemahan sehingga lebih sulit merubah mindset. Kebudayaan begitu luas ruangnya bahkan menyangkut pola kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lepas dari catatan diatas aku semakin harus menyadari bahwa remaja2 yang hidup di abad digital yang didorong daya untuk mampu terus menerus berubah bahkan barangkali sudah pada taraf setiap saat. Jika kita tak mampu melihat mereka di ring satu yang paling dekat yakni anak, cucu, adik kita maka kita akan terperangah seperti yang sedang aku alami. Bagaimana mungkin dalam tempo 4-5 hari sebuah karya Tik Tok dapat menjaring 6,5 juta penonton? Yang komen 800 an. Hebatnya anak2 muda yang komen bukan sekedar ucapan yang sudah jadi masa lampau yakni “sukses”, “hebat” dan sejenisnya. Tapi ada kalimat, ada pendapat. Ini membuktikan anak2 remaja, pemuda kita jauh lebih mampu hidup di abad digital yang akan makin menjauh dari abad pemikiran konvensional. Perlu kita sadari bahwa kelahiran tahun 1980 an kini sudah masuk yang menua. Jika pemahaman lama bahwa umur 40 tahun baru mulai menjadi manusia berdaya produktif maka pemahaman itu sebaiknya ditinggalkan saja. Remaja pemuda abad ini masih tingkat SD, SMP dan SMA yang harus dipersiapkan menghadapi apa yang presiden Jokowi katakan sebagai bonus demografi. Artinya bangsa ini akan mengalami jumlah orang muda produktif antara 15-50 tahun akan melebihi jumlah yang tidak produktif. Maka ruang untuk itu harus dipersiapkan karena keadaan seperti ini hanya terjadi sekali di sebuah bangsa. Berarti yang mempersiapkan adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya dan mampu hidup kekinian dan mendatang jauh. Contoh negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografi adalah Malaysia, Korea selatan, Jepang. Yang sangat menonjol dalam hal berkesenian adalah Korea dengan K-Popnya yang mendunia. Menurut catatan yang saya baca K-Pop dipersiapkan pemerintah Korea selatan selama 26 tahun.
Saya percaya pemerintah melalui Kemendikbud pasti sudah melihat dan menyiapkannya, terlebih mas menterinya termasuk generasi digital. Namun bersamaan dengan langkah mereka tak ada buruk dan dan salahnya para seniman-seniman khususnya yang sudah melewati 40 tahun untuk memanjangkan mata dan telinga mengarah ke anak-anak remaja, pemuda yang akan mengalami bonus demografi. Mereka tanpa mendapat arahan, bimbingan, pelatihan dari kita saja sudah mampu berdaya kreatif dan sangat produktif. Sebagai catatan saya melihat anak2 muda di teater keliling selalu memanfaatkan ruang dimanapun ketika sedang ada latihan ataupun produksi. Mereka langsung dengan HP nya merekam adegan2 singkat dan jadilah satu produksi untuk Tik Tok. Teater keliling langsung menyediakan ruang Tik Tok. Mungkin bisa dilihat di tik tok teaterkelilingproject hasil2 yang mereka buat. Tentu ada yang berhasil ditonton puluhan, ratusan hingga ribuan bahkan jutaan. Berikan komentar yang mendukung mereka semakin kreatif.
Aku sangat menyadari bahwa daya kreatifitas mereka dengan saya sangat jauh jaraknya sehingga menghasilkan karya yang berbeda. Awalnya mereka tidak segan atau malu meniru yang sudah ada. Namun lama kelamaan mereka menemukan dirinya sehingga punya karya yang cepat menjadi viral yang mengejutkan dirinya sendiri. Adalah kewajiban kita selanjutnya terus menerus membuka diri dan ruang bagi tumbuhnya daya kreativitas yang muncul dari kekuatan berproduksinya. Itulah yang mereka butuhkan saat ini dan jika tidak mendapatkan dari kita maka akan berselancar sendiri karena ada satu karakter yang mereka miliki yakni tak ada kata menyerah. Di teater keliling menjadi sangat serasi dengan semboyan atau falsafah hidup teater keliling selama 48 tahun ini yakni “segala bisa asal mau”. Jadi para orang tua baik yang seniman dan bukan tak ada buruknya mencoba memakai falsafah klasik namun bisa hadir di abad digital kekinian. Untuk memperkuat sikap pertama kami pun memperkuatnya dengan “Jangan terlalu banyak berharap, kecewa akhirnya”. Dua ajaran tersebut kami dapatkan dari skrip karya Arifin C Noer yakni “Mega Mega” yang sudah 167 kali dipentaskan sehingga menjadi semacam buku panduan pendidikan karakter.
Kini yang menjadi olahan pikir adalah bagaimana jumlah penonton di medsos tersebut bisa dijaring dengan meyakinkan mereka untuk datang ke gedung pertunjukkan melihat langsung karya panggung yang tentu lebih memakan waktu. Apakah hasil karya di medsos yang sekelebat tersebut dapat juga hadir dalam waktu melebihi sekelebat? Memang jika ternyata gagal merekapun punya cara mengatasi kebosanannya yakni membuka hp yang selalu ada di kantongnya. Betapa santunnya protes mereka tanpa teriak teriak seperti zaman lampau “turun, turun, turun”.
Pertanyaan terakhir adalah apakah tetap akan memaksakan nilai2 lama sebuah karya teater atau berani untuk menangkap nilai2 baru yang dibawa virus covid 19 yang melahirkan apa yang disebut “the new normal”? Realitasnya anak remaja, muda adalah yang kini hidup sangat romantis bersama nilai2 perubahan teknologi, ekonomi, sosiologi yang tak ada habisnya. Mereka pun tidak bisa menjawab tontonan teater macam apa yang disenangi. Tapi mereka siap untuk hadir nonton untuk bisa menikmati apa yang ditonton. Jika selama ini lewat Tik Tok dan sebagainya yang jika tak suka tinggal ganti chanel maka di gedung teater tentu cukup buka HP. Jika setengah gedung saja yang buka HP maka akan terlihat nyala bintang dari langit pindah ke dalam ruang penonton pertunjukkan yang gelap. Maka kelap kelip bagai kunang kunang di malam hari yang tentunya suara sudah di silent sesuai aturan di setiap pertunjukkan. Setidak-tidaknya itulah salah satu cara mereka menghormati pertunjukkan yang sedang berlangsung. Tidak mengecewakan yang sedang action di panggung namun juga dirinya tidak kecewa karena bisa melakukan kegiatan yang nikmat bagi dirinya. Maaf jika pendapat saya ini terasa ada sedikit satire yang mudah-mudahan tidak konyol. Namun secara realistik bisa dijadikan ukuran berhasil atau tidak sebuah pertunjukkan memikat penontonnya.
Seiring pandemi mulai melandai dan pemerintah sudah memberi sinyal hijau untuk kembali berproduksi secara langsung di gedung2 pertunjukkan maka sudah seharusnya kita semua menyiapkan diri untuk memahami bahwa karya2 baru kita walau mengulang dari yang lama bisa menyatu dengan apa yang disebut “the new normal”. Dengan persiapan yang teliti menangkap ruang kekinian terutama ruang penonton maka saya yakin teater Nusantara akan hadir dengan gegap gempita sehingga tidak terhenyak ketika seluruh ruang pertunjukkan full house penontonnya dengan membayar yang layak.
Salam jabat merdeka berkarya.
Cakung 3 Juni 2022.
Rudolf Puspa
pusparudolf@gmail.com