Estetika Rasional Ibnu Rushd: Rasionalitas dan Harmonisasi Seni -->
close
Adhyra Irianto
11 May 2022, 5/11/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-05-11T01:00:00Z
EstetikaSejarahSeni

Estetika Rasional Ibnu Rushd: Rasionalitas dan Harmonisasi Seni

Advertisement
Ibnu Rushd adalah


pojokseni.com - Membahas tentang estetika Ibnu Rushd, mau tidak mau, akan mengarahkan kita pada pemikirannya yang rasional. Maka, corak pemikiran estetika Ibnu Rushd juga rasional, sebagaimana ontologinya yang justru tidak berdasar pada teologi. Ibnu Rushd adalah seorang pemikir yang menafsirkan pemikiran Aristoteles, bahkan mengomentarinya. Hal itu membuatnya diberi gelar "Sang Komentator" atau "Sang Penafsir", dan selama berabad-abad pemikirannya disandingkan dengan pemikiran Aristoteles di Eropa. 


Berbeda dengan pemikiran estetika filsuf Muslim lain seperti estetika Platonis menurut Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Rushd lebih "aristotelian", bahkan sejumlah catatannya (komentar terhadap pemikiran Aristoteles) menyebut Aristoteles sebagai "guru pertama" dan dirinya sendiri disebut oleh pengikutnya sebagai "guru kedua".


Tapi, bagaimana pemikiran Ibnu Rushd tentang estetika? Untuk lebih memahami pemikiran Ibnu Rushd tentang estetika, maka di awal kita akan membahas sedikit tentang filsuf dan pemikirannya yang memengaruhi pemikiran para pemikir lain di barat setidaknya hingga abad ke-16 (sebelum pemikiran Thomas Aquinas memisahkan pemikiran Ibnu Rushd dari pemikiran Aristoteles) ini.


Pemikiran Rasional Sekaligus Kontroversial Ibnu Rushd


Ibnu Rushd adalah seorang pemikir Islam yang pemikirannya justru lebih memengaruhi pemikiran barat, ketimbang filsafat Islam itu sendiri. Penyebabnya, Ibnu Rushd lebih condong ke kebenaran rasio (akal) bahkan bila dibandingkan dengan "kebenaran iman". Middle East Eye menyebut bahwa Ibnu Rushd merupakan "jembatan" antara filsafat barat dengan filsafat Islam. Ibnu Rushd digambarkan sebagai, "the Andalusian scholar preserved Aristotelian philosophy and left a polymathic legacy that influenced the Renaissance."


Salah satu pernyataan Ibnu Rushd yang cukup kontroversial adalah "surga dan neraka merupakan parafrase/tafsiran imajinatif terhadap ajaran Islam yang ditujukan untuk orang-orang yang rasionalitasnya lemah.


Alasan Ibnu Rushd ialah, Tuhan merupakan entitas yang tidak terpisah dari alam semesta ini. Semua alam semesta ini adalah bagian dari Tuhan itu sendiri. Itu berarti, Tuhan tidak menciptakan alam ini dari ketiadaan (ex nihilo), tapi Tuhan itu sendiri yang menjadi penggerak pertama dan menjadi penyebab terbentuknya seluruh semesta ini. Karena seluruh semesta ini adalah diri-Nya. Karena manusia adalah bagian "sangat kecil" dari dunia, dan dunia juga merupakan bagian yang sangat kecil dari semesta, maka semua yang kita lihat di dunia ini adalah "sebagian kecil" dari Tuhan itu sendiri. Karena semesta merupakan bagian tak terpisahkan dari Tuhan.


Ibnu Rushd juga pernah berpendapat bahwa kebenaran sejati merupakan kebenaran yang didasarkan pada rasio. Bila hanya berdasar pada imajinasi dan menjauh dari rasio, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang terlalu menggantungkan dirinya pada agama, maka menurut Ibnu Rushd, orang-orang seperti itu akan kesulitan menemukan kebenaran yang sejati. Atau, golongan lain yang ingin mencari sebuah kebenaran rasio namun mencari pembenarannya lewat justifikasi agama, maka kebenaran sejati juga akan sulit ditemukan. Sebab, rasio bercampur baur dengan imajinasi, akan membuat seseorang akan sulit mendapatkan kesimpulan rasional.


Pemikiran-pemikiran tersebut membuat Ibnu Rushd dimusuhi banyak orang beragama. Seperti ditulis Armand Maurer dalam bukunya Mediaval Philosophy (New York, 1965), tidak hanya Islam, bahkan Gereja Katholik juga menolak pemikiran Ibnu Rushd di Roma pada tahun 1270-an. Banyak pemikir Kristen, seperti Thomas Aquinas menulis kritikan pada pemikiran dan doktrin Ibnu Rushd. 


Beberapa tahun sebelum itu, tepatnya sekitar tahun 1195, ia dipenjara karena pengadilan mendakwanya atas tuduhan penyebaran ajaran sesat. Sangat ironis karena sebelumnya Ibnu Rushd  sempat ditunjuk sebagai hakim di Andalusia (Spanyol), yhakni di Sevilla, dan Cordoba. 


Ibnu Rushd berteman dengan akrab dengan Khafilah pemimpin Kekhalifahan Muwahidun bernama Abu Yaqub Yusuf sejak tahun 1169. Khalifah mengagumi pengetahuan Ibnu Rushd, begitupula sebaliknya. Karenanya, Abu Yaqub Yusuf membiayai banyak project penulisan buku dan ilmu pengetahuan yang dikerjakan oleh Ibnu Rushd. Dari tangan Ibnu Rushd, lahir banyak buku tafsiran pemikiran Aristoteles, juga beberapa pemikiran tentang kedokteran yang hingga saat ini tetap dijadikan buku teks standar di Eropa. Ia juga membahas tentang fikih, yakni perbedaan mazhab dalam hukum Islam dan sebagainya.


Pemikirannya memberikan sumbangan yang sangat besar pada dunia, khususnya untuk kemajuan di Barat. Namun, pemikirannya yang ditolak kelompok konservatif beragama, terutama pasca meninggalnya Khalifah Abu Yaqub Yusuf tahun 1182. Kelompok yang tadinya "adem-ayem" di masa kekuasaan Khalifah Abu Yaqub Yusuf ini, kemudian menyeret Ibnu Rushd ke meja hijau dengan tudingan politis. Wikipedia menulis, tidak sampai beberapa lama setelah dibebaskan dari tempat pengasingannya, Ibnu Rushd meninggal dunia. 


Filsuf yang memberi garis besar hubungan antara Islam dengan filsafat, juga keselaran akal dengan Quran ini dikenal di Eropa dengan nama Averroes. Pemikirannya disebut aliran Averroisme.


Estetika Rasional Ibnu Rushd


Siapakah Ibnu Rushd


Perlu dicatat bahwa pemikiran Ibnu Rushd sangat rasional. Keindahan, menurutnya adalah hal yang mesti memenuhi tiga persyaratan utama, yakni harmoni, tatanan, dan proporsi. Dengan demikian, Ibnu Rushd menyisihkan hal yang "gaib" dalam respon terhadap karya seni untuk mendekati "keindahan yang sejati".


Dengan kata lain, suasana hati, emosi, dan "rasa" tidak akan mengantar manusia pada sebuah keindahan yang sejati. Sebab, "semilir perasaan" tersebut menurutnya hanya akan melepaskan kodrat karya sehingga tak tertangkap oleh manusia.


Pengalaman estetis, atau respon pemirsa terhadap sebuah karya, adalah hal yang berciri kognitif. Karena itu, pengamatan atau kritik terhadap karya seni harus menjaga jarak dari seni itu sendiri. Ketakjuban, kekaguman, dan kekesalan setelah melihat karya seni akan menjadi tirai penghalang untuk melihat karya seni tersebut, sehingga kodrat dari karya seni itu akan menjadi bias.


Proses peniruan (mimesis) atas kodrat alam pada karya seni adalah "kodrat" dari karya seni yang baik, menurut Ibnu Rushd. Tapi, proses "penyalinan" tersebut bukanlah proses "copy-paste" belaka. Penyalinan tersebut merupakan sebuah proses penyalinan empirik yang sekaligus melibatkan intuisi tentang kemungkinan yang inheren dengan alam, serta kodrat alam tersebut.


Apa yang membuat karya seni menjadi indah menurut Ibnu Rushd? Jawabannya adalah karena ada kemungkinan-kemungkinan yang hadir dari sebuah karya seni. Kemungkinan apa? Sebab seni bukan hanya proses penggambaran alam secara aktual, tapi juga melibatkan intuisi. Intuisi tersebut akan menghadirkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang "mungkin" ada di alam tersebut. Kemungkinan-kemungkinan inilah yang membedakan antara seni dan alam ini. 


Simak pernyataan Ibnu Rushd yang dikutip dari buku berjudul Beauty and Islam: Aesthetics In Islamic Art and Architecture yang ditulis oleh Valerie Gonzales berikut ini.


"Art is, in that sense, more limited than nature, given that art generates, within quantities of colors that exist in the internal logos, only what the external logos is capable of producing. Meanwhile, nature produces all that there exist in the immaterial internal logos, and that is why nature is nobler than art, and the nobility of the artist will depend on the degree of excellence with which he imitates nature, and this within the boundaries of the possible."

Ads