Alam Seni, Bukan Evokasi -->
close
Adhyra Irianto
12 May 2022, 5/12/2022 07:30:00 AM WIB
Terbaru 2022-05-12T00:30:00Z
ArtikelSeni

Alam Seni, Bukan Evokasi

Advertisement
Alam seni
Ilustrasi: Kompas.com

Oleh: Prof. Yusmar Yusuf


Seni, karya seni itu memiliki ‘alam dalam’ dan ‘alam di luar’ dirinya sendiri. Karya seni pada satu sisi dianggap sebagai sebuah “pengertian” kepada sesuatu yang berada di luar dirinya, terhubung dengan analisis di luar dirinya, bernama audiens. Ketika tersambung dengan audiens, pendengar, penikmat atau komunal penghayat seni, maka analisis akhir dari sebuah karya seni bukan mengenai “alam dalam” dari karya seni itu, akan tetapi mengenai efek atau dampak terhadap audiens; dampak itu beragam derjah dan jenis, seperti efek sensoris, efek kognitif, efek moral, religius, atau malah efek sosial. 


Lebih menggetar, membuat cakrawala nan muram mengenai karya seni itu adalah semacam tindakan evokasi (menggiring) orang-orang lain, untuk sama derjat dampak dan efek sebuah karya seni, terhadap dirinya juga kepada orang-orang di sekitarnya. Sejatinya, dampak atau efek dari sebuah karya seni dalam jenis apapun, hanya dirasakan oleh masing-masing penikmat dengan rasa dan kedalaman yang berbeda. Inilah dimensi dari ekspresi sebuah karya seni, bukan evokasi. Sejauh ini, kita menyaksikan bagaimana dalam sebuah negara yang dijalankan secara otoritarian, beroperasinya semacam evokasi kepada rakyat terhadap kesan dan dampak dari karya seni terhadap audiens (seragam dan datar). 


Dampak seni itu sendiri secara pragmatis memiliki dimensi yang kaya. Tak sekedar dampak kepuasan sebagaimana diyakini oleh sekelompok kecil kaum hedonisme. Seni dalam dimensi pragmatik, juga mengakui dan menjunjung dampak religius dan spiritual sebuah karya seni, sebagaimana kesetaraan dampak yang sama (yang dikenal selama ini), yaitu dampak sosial. 


Doa-doa yang dipanjatkan oleh pemeluk dalam semua agama, berlangsung dalam jalan seni. Diam itu sendiri adalah sebuah seni tersendiri, dan mungkin seni terpuncak. Dan orang-orang pun berdoa dalam diam. Lantunan indah ayat-ayat al Quran dalam Shalat, dilagukan dalam nada nan indah merdu. Lalu dilanjutkan dengan “diam” (dzikir dan tafakur). Seni juga adalah alat terindah untuk memecah kebosanan, karena kebosanan, merupakan akar dari semua kejahatan; “Boredom is the root of all evil”, ujar Soren Kierkegaard. Bahaya bernama kebosanan itu sendiri telah lama menyerang “ibu kebudayaan dunia”: Eropa. Mungkin karena seni yang membosan pada sebuah masa? Entahlah. Yang jelas, ada semacam kekhawatiran yang hinggap dalam benak pemikir besar dunia tentang kenyataan Eropa pada sebuah penggalan waktu; “Bahaya utama yang mengancam Eropa adalah ‘keletihan’, kata Husserl. Maka, selamat malam anak-anak: dunia Barat telah memutuskan untuk mengganti keimanan dengan kantuk”. 


Pada dimensi pengetahuan esoterik, seni tak lebih dari rangkaian ilmu eksoterik yang berhampiran dengan esoterisme, walau tak pernah sampai pada derjat dan dimensi itu. Paling tidak, dia menjadi media, menjadi alat atau instrumen “pengetahuan esoteris” untuk bercanda dengan realitas atau kebenaran (al Ain al-Tsabitah). Sebab, seni seperti ilmu-ilmu lainnya, masih bisa dijelaskan dengan kata-kata, via kalimat dan keterhubungannya dengan realitas pengetahuan rasional. Kemudian dia (seni) dinikmati bukan hanya oleh orang per orang dalam kedalamannya masing-masing, akan tetapi bisa dinikmati secara khalayak dan perkauman. 


Maka, terhidu satu analisis yang mengatasi “ilmu rasional”, menjelaskan bahwa; “setiap ilmu yang dapat dijelaskan dengan kata-kata atau ungkapan-ungkapan atau melalui idiom-idiom, terdengar baik dan dapat dipahami maknanya, atau dapat dijangkau dan terasa manis bagi pendengar yang memiliki pemahaman yang baik, maka ilmu itu termasuk dalam “ilmu akal rasional”. Karena dia masih berada di bawah ruang lingkup pemahaman akal dan di dalam batas kemampuannya ketika menalarnya. 


Namun, sangat berbeda halnya dengan ilmu “asrar”. Ilmu asrar, ketika dia dijelaskan melalui kata-kata, ia akan terkesan berat dan sulit untuk dapat difahami serta cenderung kasar. Bahkan jenis ilmu ini akan ditolak oleh akal-akal yang lemah dan fanatik yang tak mampu menggunakan dengan sepenuhnya realitas berupa (kemampuan) nalar dan penelitian yang telah dilakukan Tuhan yang ada di dalam diri mereka. Oleh sebab itu lah, agar mudah dipahami dan mudah dicerna, seringkali pemilik ilmu “asrar” ini menyampaikannya kepada khalayak (audiens) melalui “permisalan” dan dalam bentuk syair” (Futuhat, Ibn Arabi). 


Wah, syair? Syair adalah salah satu bentuk karya sastra. Sebuah puisi dengan puncak-puncak capaian kekuatan dan kejelukan kata-kata yang berhimpun dan berjahit-jahit (baik dalam bentuk verbal maupun literer, tulisan). Syair atau puisi yang ditulis oleh para sufi, oleh pelaku jalan tasawuf, bukan dihajatkan oleh mereka agar menjadi seorang seniman. Inilah beda puisi atau syair yang ditulis oleh seorang seniman. Seorang seniman menulis puisi atau syair (bersyair secara verbal), dengan niat agar tersambung dengan “dunia luar” karya seni itu sendiri bernama penikmat atau apresiator, komunitas penggemar jalan seni atau khalayak awam sekalipun, lalu kemudian dia diakui sebagai seorang seniman (akhirnya). 


Perlu dicatat dan garis bawah yang tebal, bahwa jalan seni, jalan amsal atau permisalan (jalan ibarat) dan gubahan dalam bentuk syair, menjadi instrumen yang paling efektif untuk menyatakan (ekspresi) dunia impresif ilmu-ilmu hidayah (sejenis ilmu ‘asrar’) yang diturunkan Tuhan kepada mereka yang terpilih, berkat kedekatannya dengan Tuhan, pelatihan-pelatihan spiritual yang keras dan tunak (riyadhah) dalam tempo waktu yang tak terekam oleh kalender manusia muka bumi. Ketika, ihwal ini menghadir dan menampakkan penjelmaan-penjelmaannya, ketika itu pula, seni menyambungkan “dunia dalamnya” dengan “dunia di luar” dirinya. 


Setinggi apapun puncak capaian sebuah karya seni, dia dihajatkan untuk dinikmati oleh manusia sekelilingnya, dengan segala dampak ikutannya, tak sekedar dampak hedonistik, pun juga menjangkau dampak-dampak pragmatisme; sensoris bagi yang melihat, mendengar atau menonton, dampak kognitif pada tataran yang beragam, dampak moral, dampak religius dan spiritulitas, sekaligus dampak sosial, bisnis dan gaya hidup. Yang terakhir tentu saja dampak terhadap identitas; identitas suku, bangsa dan kebangsaan, nasionalitas, termasuk pula identitas religiusitas dan spiritualitas sekaligus. Menjeluklah!!! 

Ads