Advertisement
Tahun 2009, saya dipercaya menjadi seorang pelatih/instruktur untuk ekstrakurikuler teater di SMAN 1 Curup, Provinsi Bengkulu. Saya adalah alumni dari SMA itu, dan juga alumni dari eskul teater yang dimaksud. Awalnya, saya pikir saya hanya akan melatih dan mengenalkan adik-adik SMA tentang seni teater.
Selama ini, apa yang saya baca dan apa yang saya pelajari hanya tentang bagaimana cara menjadi aktor teater yang baik. Bermain yang baik di atas panggung, dan menarik bagi para penonton. Sangat kebetulan, saya menyukai musik. Maka sekaligus saya mengelola akting dan musik latar dari pertunjukan teater. Sepertinya menyenangkan, bukan?
Belum genap 3 bulan jadi pelatih, surat undangan lomba sampai ke sekretariat eskul teater ini. Lomba drama tingkat SMA se-Provinsi Bengkulu, dan tentunya pihak sekolah juga meminta grup teater ini untuk ikut. Tidak hanya ikut, tapi mesti menang. Karena, sebelumnya eskul teater ini adalah salah satu penyumbang piala rutin bagi sekolah ini.
Awalnya saya cukup tenang, dan berbahagia saja. Tapi, ternyata tugas saya tidak hanya menjadi pelatih. Sekarang, saya mesti jadi sutradara. Sial, kebetulan saya tak pernah belajar cara menyutradarai sebelumnya. Terlepas dari banyaknya pentas yang sudah saya lakukan bersama teater tingkat sekolah, lalu ketika saya bergabung di salah satu teater independen di daerah saya (Teater Senyawa belum berdiri, kami baru mendirikannya tahun 2012), tapi ternyata saya harus banyak belajar.
Saya pergi ke perpustakaan sekolah dan mencari buku tentang penyutradaraan, hasilnya nihil. Malam harinya, saya pergi ke warnet (warung internet) dan mencoba mencari informasi yang saya inginkan. Ada sedikit, tapi berbahasa Inggris. Saya coba pelajari (dan akan saya bagikan dalam artikel kali ini), hasilnya kepala saya hampir mau meletus. Sial... masih banyak sekali yang belum saya ketahui.
Saya menyukai pemikiran dan karya-karya Samuel Beckett sejak kuliah. Salah satu karyanya yang saya analisis (sebagai tugas kuliah) akhirnya saya pilih untuk dipentaskan. Kebetulan adalah naskah monolog, Rekaman Terakhir Krapp. Saya sudah mendapatkan naskahnya, dan mempelajarinya.
Sial, apa yang harus saya lakukan dengan naskah ini? Apakah saya hanya perlu melihat pementasan yang sudah pernah dipentaskan dengan naskah yang sama, lalu menirunya habis-habisan? Tapi ini perlombaan, saya hanya akan pulang dengan tangan kosong bila hanya menampilkan reproduksi di atas panggung.
Ada terlalu banyak hal tentang penyutradaraan yang harus dipelajari. Tentunya, tidak akan dibahas dalam satu artikel ini. Terpenting, ada naskah maka ada sebuah plot cerita. Juga akan ditemukan sejumlah karakter, dan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk blocking di atas panggung. Dulu, saya hanya mengikuti permintaan sutradara saya, tapi sekarang saya yang harus mengaturnya. Meski masih levelan anak SMA.
Tahun 2012, saya dan teman-teman mendirikan Teater Senyawa di Curup. Di markas Senyawa (waktu itu gedung yang dipinjamkan oleh Dinas Sosial) saya mulai mencari lagi rujukan (untuk penyutradaraan) yang berbahasa Indonesia.
Salah satu rujukan saya berbahasa Indonesia adalah sebuah diktat penyutradaraan yang ditulis oleh Wahyu Sihombing. Beberapa tahun lalu, PojokSeni sedikit isinya, dalam artikel berjudul Empat Tahap Menyutradai oleh Yudiaryani yang bersumber dari buku Prof Yudiaryani berjudul Panggung Teater Dunia.
Tahapan pertama dalam penyutradaraan adalah casting, tahapan kedua membaca naskah (bukan hanya dramatic reading, tapi membaca komprehensif dan analitik), tahapan ketiga adalah penempatan (blocking), dan tahapan terakhir adalah finishing.
Bagian yang cukup penting dan akan kita bicarakan di tulisan ini adalah, bagaimana cara "menciptakan" blocking di pertunjukan teater sebagai seorang sutradara. Tentunya, tulisan ini memang hanya sebentuk tips mengatur blocking (tahapan ketiga dalam penyutradaraan) untuk sutradara pemula. Tips-tips ini juga merupakan rangkuman dari apa saja yang pernah saya lakukan (dalam kerja penyutradaraan), serta pengamatan saya ketika melihat sejumlah sutradara berpengalaman melakukan penyutradaraan.
Salah satu sutradara berpengalaman yang saya amati dari dekat adalah sutradara Teater Satu Lampung, Iswadi Pratama, ketika menyutradarai Anthropodipus (adaptasi dari Oedipus di Kolonus karya Sophocles), Ari Pahala Hutabarat (sutradara KoBER Lampung) ketika menyutradarai King Lear (Asian Version Ryo Yamada), dan sejumlah sutradara berpengalaman lainnya. Meski demikian, lebih banyak yang saya tulis di sini adalah versi saya sendiri.
Apa itu blocking di teater?
Ringkasnya, blocking itu adalah bagaimana pem-posisian (positioning) dan pergerakan (movement) dari seorang aktor di atas panggung. Ada yang sudah ditunjukkan di dalam naskah sebagai situasi terberi (given circumstance), tapi kadang-kadang petunjuk gerak di naskah juga mesti dipertimbangkan lagi, melihat situasi di atas panggung.
Apakah bisa menjauh dari instruksi naskah? Yah, bila konsep dan garapan Anda justru terganggu dengan satu atau dua gerakan yang diminta di dalam naskah, maka percaya dirilah dengan diri Anda sendiri. Terpenting, ada bebeberapa hal yang mesti Anda pertimbangkan, pernah ditulis di PojokSeni dalam artikel berjudul Teknik Blocking dalam Teater dan Mengapa Aktor Mesti Menguasainya.
Setelah sedikit mengulas tentang apa itu blocking dan apa saja yang perlu dipertimbangkan sebelum mengatur blocking, mari kita masuk ke bahasan berikutnya; tips mengatur blocking adegan.
Tips Mengatur Blocking Adegan
Mungkin ini bukan cara mengatur blocking dalam adegan yang "paten" atau "pakem penyutradaraan". Ini hanya sejumlah cara yang sering saya gunakan dalam penyutradaraan.
1. Spatial Relationship
Blocking adalah "alat" yang ditujukan agar penonton mampu mengikuti cerita, setelah dialog tentunya. Blocking dalam teater tidak hanya sekedar pindah dari satu titik ke titik yang lain, tapi sejauh "kepercayaan" saya, ada "sesuatu" yang disebut hubungan spasial antara pemain yang satu dengan pemain lainnya.
Bayangkan saja ketika Anda duduk dalam jarak yang sangat dekat dengan seseorang yang asing. Misalnya di bus, atau di mobil angkutan umum, pesawat, dan sebagainya. Apakah akan terbangun semacam hubungan karena jarak (spatial relationship) antara Anda dengan orang tersebut?
Apakah semakin dekat jarak Anda dengan orang tersebut, (bahkan mungkin sampai bersentuhan bahu), apakah akan terasa berubah? Karena itu saya mempercayai hubungan karena jarak ini. Bahkan dua orang yang berpacaran, bisa sangat dekat jaraknya ketika sedang baik-baik saja, dan menjadi sangat jauh ketika sedang ribut.
Maka jarak antara satu pemain dengan pemain yang lain sangat berpengaruh bagi orang yang melihatnya. Jangan bayangkan di atas panggung, bayangkan saja ketika melihat di taman terbuka. Anda bisa melihat jarak (spatial) antar semua orang, dan bisa membayangkan/menduga hubungan (relationship) antar mereka. Tidak mungkin ada dua orang yang duduk beradu bahu dalam waktu lama dengan seseorang lain, tanpa ada/akan ada hubungan antara kedua orang tersebut.
Jangankan kontak fisik, kontak mata atau gestur saja juga memberi gambaran hubungan antara satu orang dengan orang lainnya. Bayangkan satu karakter berjalan satu tempat ke tempat lain, melewati banyak orang yang sedang duduk. Lalu, satu orang ini memberikan kontak mata pada satu orang yang berada di antara orang-orang tersebut. Dan orang yang diberi kontak mata tersebut, membalas dengan senyuman.
Apa yang Anda pikirkan? Meski "berjarak" dalam arti sesungguhnya, namun kontak mata tersebut seakan memangkas jarak tersebut. Maka, kedua orang tersebut kemungkinan ada hubungan, atau setidaknya bakal ada hubungan ke depannya.
Ini tips pertama, meletakkan satu pemain dengan pemain lainnya maka pertimbangkan jarak antara mereka. Jarak yang dekat, untuk hubungan yang dekat pula. Jadi, aturannya adalah Anda bisa mencitrakan hubungan antar karakter lewat "jarak" mereka.
2. Pergerakan dan Kaitannya dengan Karakter
Di atas panggung, semua gerakan terjadi dengan suatu sebab. Karena, naturalnya memang seperti itu, bukan? Anda bergerak ke kamar mandi karena ingin pipis. Anda bergerak ke meja makan, karena lapar. Jadi, ada aturan yang sering disebut banyak seniman teater, bahwa seorang pemeran bergerak dengan alasan/tujuan tertentu.
Tapi, menurut saya pribadi, bila pergerakan seorang aktor hanya terjadi bila ada alasan atau tujuan, maka ia akan terlihat begitu mekanik, alias artifisial. Gerakan manusia (juga naturalnya) bergerak tanpa harus ada tujuan tertentu. Ada seseorang yang mengerenyitkan dahi tanpa mesti harus "sedang berpikir keras". Manusia akan melakukan suatu gerakan apabila ia menyukainya.
Meski demikian, di panggung teater, mau tidak mau setiap gerakan mesti berkait dengan karakter. Bila Anda bergerak ke arah orang yang Anda sukai, maka cara Anda bergerak pun berbeda dengan ke arah orang yang tidak Anda sukai. Tokoh protagonis akan berbeda cara bergeraknya ke tokoh antagonis.
Seorang professor teater, sutradara dan aktor yang pernah mendapat nominasi Oscar (untuk film Saving Private Ryan) yakni David Vegh menulis bahwa sutradara juga mesti membayangkan bahwa drama tersebut bisu (tanpa suara), apakah penonton masih bisa menangkap apa yang ingin disampaikan, apa hubungan antara karakter, dan tahu cerita yang sedang ditampilkan dengan melihat gerakan-gerakan tersebut?
Untuk adegan konflik, yang berisi orang-orang yang beradu mulut misalnya, Anda bisa meletakkan wajah mereka dalam jarak antara 25 hingga 40 cm, dan mereka beradu mulut, tatapan mata, dan saling berteriak. Jarak terlalu jauh menjadikan dua orang tersebut akan bergerak ke tempat lain untuk pergi secara emosional.
3. Petakan bagian panggung
Bagian tengah bawah atau Down Centre (DC) adalah bagian paling kuat di panggung. Untuk pembagian panggung teater bisa dilihat di bawah ini.
Pembagian panggung teater |
Karakter minor biasanya berada di bagian paling "lemah" yakni di atas kiri/up left (UL) dan atas kanan/up right (UR). Bagian tengah/center (C) merupakan area yang kuat setelah DC. Berikutnya, area yang kuat setelah itu adalah bawah tidur/Down Left (DL) dan bawah kiri/Down Right (DR).
Lewat pembagian standar tersebut, Anda memetakan dan menemukan cara untuk menggunakan seluruh panggung memanfaatkan berbagai area di atas panggung. Anda mesti menyisahkan bagian UL dan UR untuk adegan selipan, tokoh-tokoh minor, dan sejenisnya.
Meski demikian, fokus audiens juga adalah "hak" Anda sendiri. Anda yang menentukan ke mana para penonton fokus. Selain posisi tersebut, Anda bisa melihat kecenderungan setiap orang. Misalnya, seorang yang duduk akan kurang diperhatikan bila dibandingkan dengan seorang yang berdiri.
Atau, dua aktor dengan tinggi yang cukup jauh berbeda, maka satu aktor (yang lebih tinggi) di antaranya duduk, atau lebih banyak sambil merunduk, bila Anda ingin fokus ke lawan bicaranya. Bila sedang ramai di atas panggung, maka pastikan bila orang-orang yang minor, tidak mencuri fokus.
4. Menggambar panggung
Suyatna Anirun dalam buku Menjadi Sutradara, menyebutkan bahwa sutradara tak ubahnya seperti seorang pelukis. Ia melukis sepenuhnya di suatu kanvas, dan ia ingin orang lain menikmati semua sisi di lukisannya. Maka, untuk memikirkan semua di atas panggung secara keseluruhan, Anda harus menggambar.
Menggambar panggung berarti Anda membayangkan tampilan panggung keseluruhan. Anda akan melihat apakah bagian kiri dan kanan akan seimbang, dan tidak membuat satu bagian terlihat janggal. Satu orang di sebelah kanan sendirian, dengan sekelompok orang lain di sebelah kiri, mungkin akan mengesankan bahwa seorang yang sendirian tersebut "terisolir" atau mengisolasi diri sendiri.
Apakah itu memang yang Anda inginkan? Bila bukan, maka segera ganti blockingnya. Termasuk juga posisi properti berukuran besar. Hal tersebut mesti dipertimbangkan, dengan gambar panggung Anda. Anda bisa melihat tampilan visual panggung, dan apakah posisi di setiap titik tidak mengganggu pergerakan aktor? Apakah sampai menggangu pintu masuk dan keluar aktor? Apakah properti besar bisa mengganggu adegan penting? Dan sebagainya.
Lewat gambar panggung kasar Anda, Anda bisa mempertimbangkan titik posisi properti atau perabot berukuran besar untuk mendukung pementasan, bukan justru mengganggu pergerakan aktor.
5. Variasi dan eksperimen
Seorang aktor yang tidak bergerak, lalu berbicara dengan aktor lainnya. Adegan tersebut terasa penting, dan rasanya melihat aktor tersebut hanya duduk, akan membuat penonton terasa bosan. Jadinya, coba pertimbangkan lagi untuk membuat gerakan yang menarik, tapi tidak mengganggu alur dramatik.
Saat itu, biarkan aktor bergerak seperti apa yang mereka inginkan. Bila ada gerakan yang Anda kira mengganggu cerita, baru Anda hentikan. Tapi, gerakan yang diinginkan oleh aktor akan membuat tampilan yang lebih natural. Kadang-kadang, juga menjadi ide baru bagi Anda untuk blocking.
Bagaimana bila tidak berhasil? Ubah lagi. Tidak berhasil lagi, ubah lagi. Itulah kenapa latihan teater mesti dilakukan berulang-ulang. Ada metode latihan teater ala Meisner yang bisa Anda coba untuk menentukan blocking paling tepat dan natural. Bisa Anda baca di artikel ini: Metode akting Meisner: Bertindak Sebelum Berpikir.
Terpenting, kembali ke fungsi utamanya, blocking adalah alat untuk mengomunikasikan detail arus cerita utama. Dan dari sedikit penjelasan di atas, Anda bisa memberi definisi hubungan antar karakter, dan sebagainya dengan blocking yang benar di panggung teater.