Advertisement
pojokseni.com - Teater, sebagaimana seni lainnya, adalah hal yang multifungsi. Karena multifungsi, setiap orang akan "menggunakannya" dengan cara berbeda. Bisa kita ringkas jadi dua, ada yang menggunakannya sebagai jalan, sedangkan di sisi yang lain, menggunakannya sebagai tujuan. Namun ada pula yang menggunakan teater sekaligus sebagai jalan dan tujuan.
Masalah klasik yang biasa ditemukan di pergerakan teater nyaris sama, dari Aceh sampai Papua. Mulai dari pegiatnya sedikit, dukungan pemerintah yang kurang, minat investor yang kering, sampai penontonnya yang juga sedikit. Muaranya, pekerja teater mesti bertemu dengan masalah yang sama; biaya!
Kalau dipersentasekan, hanya berapa persen grup teater yang mendapatkan untung pasca pertunjukan? Bandingkan dengan persentase grup yang mengeluarkan biaya dari kantongnya sendiri. Mereka menghabiskan waktu, tenaga, sampai biaya hanya untuk menggelar sebuah pertunjukan teater. Pertanyaannya, untuk apa?
Teater bisa membentuk jiwa dan kepribadian, karakter yang kreatif, menghadirkan ruang imajinasi, memberikan pencerahan, memeluk peradaban, dan mengajak orang-orang untuk berpikir maju. Itu yang dikatakan banyak orang, terutama pekerja teater, tentang apa alasan pertunjukan teater harus tetap ada, berapapun biayanya.
Tapi, masalahnya selalu sama. Masalah yang sudah disebut di atas, masih belum cukup dengan harga sewa gedung yang mahal, pajak, dan upah para pekerja seperti pemusik, penata lampu, kru, tukang, dan sebagainya. Mereka bukan bekerja untuk "seni", mereka bekerja untuk hidup.
Lalu, pada akhirnya grup-grup teater Indonesia mulai kembang kempis. Berebutan dana hibah, kadang-kadang harus loby-loby ke atas. Ada beberapa grup yang gigih, tapi lebih banyak yang menyerah. Ibarat berperang, tubuhnya sudah terlalu banyak terluka.
Teater Sebagai Jalan atau Tujuan?
Kemanapun Anda bertemu dengan grup teater, terutama beberapa contoh grup teater modern Indonesia yang masih tetap eksis sampai hari ini, rata-rata hidup dengan mengandalkan "nama". Entah itu nama grupnya, atau itu nama sutradaranya, atau mungkin nama aktor-aktornya.
Berbicara dengan grup-grup tersebut, muaranya hanya ada dua. Pertama, grup teater modern Indonesia ini menjadikan teater sebagai jalan. Jalan ke mana? Jalan menuju apa?
Jawaban pertanyaan itu yang akan berbeda-beda. Ada yang menuju pencerahan, ada yang menuju keindahan, adapula yang menyebut menuju kebahagiaan. Teater adalah jalan untuk memanusiakan manusia, atau kalimat yang lebih sering kita dengar "menjadi manusia yang sesungguhnya".
Teater sebagai jalan ini membuat para pekerja teater tidak memandang kerja teater dengan kacamata ekonomis. Teater bukan untuk mencari keuntungan, bahkan bila perlu semua keuntungan hidup digunakan untuk membangun teater.
Tapi, bisa dijamin kalau di dalam satu grup teater saja, tidak akan seluruh anggotanya punya pikiran bahwa "teater adalah jalan". Apalagi para pekerja seperti penata artistik, penata skeneri, penata kostum, penata lampu, dan sebagainya.
Karena itu masuk ke kategori kedua, yakni teater sebagai tujuan. Teater adalah "cita-cita", sekaligus "profesi", sekaligus "pekerjaan". Maka dari itu, selain dilihat sebagai pekerjaan yang idealis, juga dipandang sebagai pekerjaan yang ekonomis.
Beberapa seniman mendirikan grup teater sebagai profit oriented. Meski demikian, mereka tetap "berbisnis" teater, dan hal itu bukan hal yang diharamkan. Mereka mendapatkan keuntungan dari seni, meski sebenarnya belum ada apapun yang mereka buat untuk kesenian. Itu juga bukan hal yang diharamkan.
Ada yang masih mengganggap seniman berada di kasta Brahmana (kasta tertinggi dalam sistem perkastaan Hindu), tapi coba lihat "brahmana" yang lain, seperti pemuka budaya dan pemuka agama. Ada juga yang menjadikan budayawan, ulama, dan setipenya sebagai "profesi" dan tentunya profesi ekonomi.
Grup-grup besar di kota besar, selalu tampil dengan modal besar. Maka mereka membutuhkan sponsor besar. Keuntungannya pun besar, penontonnya datang dalam jumlah besar.
Sedangkan grup kecil di kota kecil, tampil dengan modal yang kecil. Maka wajar saja kalau modal yang dibutuhkan juga kecil, keuntungannya kecil. Penonton yang datang pun sedikit. Jadi, punya grup kecil di kota kecil pun masih bisa menggeliat secara ekonomi. Saya pernah menulis beberapa Tips membangun grup teater di daerah yang belum akrab dengan teater.
Terpenting, di era seperti saat ini, teater memang sudah seharusnya muncul sebagai jalan sekaligus tujuan. Hobi sekaligus profesi, mendidik sekaligus menghibur. Teater musti muncul di kurikulum pendidikan, agar tetap ada penerus dan regenerasi. Hanya saja, teater di Indonesia mungkin akan sedikit berbeda dengan di Eropa maupun di Amerika. Cara memajukan teater di Indonesia mesti disesuaikan dengan karakter bangsa ini, juga karakter setiap grupnya. Agar penonton lebih mengapresiasi teater, maka senimannya juga mesti terus meningkatkan kemampuan diri, pengetahuan, dan mengikuti perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan.