Sifat Apa yang Dikandung Sebuah Objek Hingga Memicu Emosi Estetis? -->
close
Pojok Seni
16 April 2022, 4/16/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-04-16T01:00:00Z
EstetikaMateri Teater

Sifat Apa yang Dikandung Sebuah Objek Hingga Memicu Emosi Estetis?

Advertisement
Clive Bell menjelaskan tentang Bentuk Bermakna pada objek yang memicu perasaan estetis
Clive Bell menjelaskan tentang Bentuk Bermakna pada objek yang memicu perasaan estetis

PojokSeni.com - Judul di atas adalah sebuah pertanyaan yang bisa dijawab sangat subjektif. Ibaratnya, kita bisa kumpulkan 10 orang dengan latar belakang berbeda, maka pertanyaan ini akan mendapatkan 10 jawaban yang berbeda. 


Apalagi, bila sebuah benda tersebut tidak diberi batas yang tegas antara "benda seni" atau benda "non seni". Misalnya seperti ini, melihat sebuah lukisan dengan melihat pelangi akan sama-sama menghadirkan semacam emosi tertentu, yang dikategorikan perasaan estetis. Seperti kekaguman, ketertarikan, dan seterusnya.


Meski demikian, dunia cukup berterima kasih atas tulisan Clive Bell berjudul Art (1914) yang menjadi rujukan pakem formalisme. Clive Bell mendasarkan formalismenya pada argumen psikologis, dan mendefinisikan sifat-sifat sebuah "benda" (objek) yang harus dipenuhi agar bisa memicu emosi estetis dari pemirsanya.



Pemaparan Bell termaktub dalam teori bentuk bermakna (Theory of Significant Form). Apa yang dikatakan Bell dalam teori tersebut?


Mulai lagi dengan pertanyaan yang dijadikan judul di tulisan ini, "Sifat Apa yang Dikandung Sebuah Benda Hingga Memicu Emosi Estetis?" Coba kita telisik terlebih dulu, apa saja objek yang menghadirkan atau memicu perasaan estetis tersebut? 


Untuk menerangkan lebih detail tentang Teori Bentuk Bermakna dari Clive Bell ini, kita akan melakukan studi kasus "kecil-kecilan".


  • Pertama, ambil contoh beberapa objek yang menghadirkan perasaan estetis ketika melihatnya.
  • Kedua, beberapa objek tersebut dilihat dari satu kesamaan perspektif (misalnya arsitektur)
  • Ketiga, beberapa objek tersebut memiliki latar belakang yang jauh berbeda.


Dari tiga variabel tersebut, kita mengambil empat bangunan yang sangat terkenal di Indonesia dengan latar tempat, budaya, dan agama yang berbeda. Simak studi kasusnya di bawah ini.


Studi Kasus


Masjid Raya Sumatera Barat
Keindahan Masjid Raya Sumatera Barat (Foto: Tagar.id)


Pertama, kita melihat dulu Masjid Raya Sumatera Barat. Konsep Masjid Raya Sumatera Barat adalah kain yang dipegang setiap ujungnya, mengingatkan sebuah kejadian banjir yang menerpa Mekkah ketika Nabi Muhammad SAW berusia 21 tahun. Nabi SAW menjadi sosok yang memecahkan konflik antar petinggi suku setempat, karena merasa paling berhak untuk memindahkan kembali batu Hajar Aswad yang terjatuh akibat banjir. Nabi membentangkan kainnya yang kemudian dipegangi setiap ujungnya, dan batu Hajar Aswad diletakkan di tengah, sehingga para petinggi suku di Mekkah bisa bersama-sama memindahkannya.


Meski demikian, dari sudut tertentu, nuansa khas Minangkabau sangat kentara dengan bagian ujung yang lancip khas rumah tradisional Minang, Rumah Gadang. Sebuah karya seni yang memukau dan menimbulkan perasaan estetis tertentu.


Setelah melihat indahnya arsitektur masjid di Sumatera Barat tersebut, mari kita sejenak berpindah ke Bali. Sebuah patung raksasa, salah satu dari 10 patung tertinggi di dunia, berdiri di Bali. Namanya adalah Patung Garuda Wisnu Kencana.


Garuda Wisnu Kencana
Keindahan Garuda Wisnu Kencana (Foto: Dikutabali.com)

Patung ini adalah patung Wisnu yang mengendarai Garuda, dan dibuat oleh pematung kenamaan Indonesia, I Nyoman Nuarta. Melihat keindahan patung raksasa ini, tentunya juga hadir perasaan estetis tertentu di benak pemirsanya.


Setelah melihat patung Garuda Wisnu Kencana di Bali, kita beralih ke Jakarta. Kita melihat Gereja Katedral Jakarta yang didesain dengan arsitektur Neo Gotik. Gereja yang sudah berdiri sejak tahun 1901 ini didesain khas artistektur Eropa. 


Gereja Katedral Jakarta
Keindahan Gereja Katedral Jakarta (Foto: Kompas.com)

Keindahan arsitektur Eropa membuat banyak orang yang berkunjung ke Gereja Katedral Jakarta ini merasa telah berkunjung ke Negeri Dongeng. Tiga menara yang sangat tinggi menjadikan gereja tua satu ini bahkan terlihat dari jarak yang cukup jauh.


Puas melihat keindahan Gereja Katedral Jakarta, sekarang kita melihat indahnya Candi Borobudur, salah satu keajaiban dunia asal Indonesia yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Candi dengan ribuan panel relief, dan ratusan arca Buddha, bahkan disebut sebagai candi dengan arca terbanyak (dan terlengkap) di dunia.


Candi Borobudur
Keindahan Candi Borobudur (Foto: Pikiran-Rakyat.com)

Desainnya disebut "pola mandala besar", yakni pola rumit yang merupakan susunan bujursangkar dan lingkaran untuk melambangkan kehidupan dunia (kosmos). Dibuat dengan bahan batu andesit, dan disusun sedemikian indahnya. Siapapun yang berkunjung ke salah satu destinasi wisata populer di Indonesia ini akan sepakat bahwa candi ini begitu indah dan memicu perasaan estetis ketika memandanginya.


Sekarang pertanyaannya, apa "sifat" yang dikandung oleh Masjid Raya Sumatera Barat, Patung Garuda Wisnu Kencana, Gereja Katedral Jakarta, dan Candi Borobudur tersebut sehingga menghasilkan perasaan estetis yang "nyaris serupa"? Kita lihat bahwa latar budaya dan agama dari empat bangunan tersebut sangat jauh berbeda. 


Masjid Raya Sumatera Barat merupakan bangunan dengan latar budaya Minangkabau-Arab, dan latar agama Islam. Patung Garuda Wisnu Kencana adalah bangunan dengan latar budaya Bali, dan latar agama Hindu. Gereja Katedral Jakarta adalah bangunan dengan latar budaya Eropa, dan latar agama Katholik. Sedangkan Candi Borobudur, adalah bangunan dengan latar budaya Jawa-India, dan latar agama Buddha. 


Dari begitu jauhnya jarak latar tersebut, apa persamaan dari keempatnya? Kembali lagi ke teori Clive Bell tentang "bentuk bermakna". Setiap bentuk, desain, garis, warna, dan sebagainya dari bangunan tersebut disusun dengan sedemikian rupa dengan mempertimbangkan artistik dan estetika. Hubungan antara susunan-susunan tersebut (bentuk, desain, garis, warna, dst) menggerakkan emosi estetis pemirsanya. Inilah yang disebut Clive Bell sebagai bentuk bermakna tersebut. 


Maka keempat bangunan tersebut memiliki satu kesamaan, yakni sifat "bentuk bermakna".


Apa itu bentuk bermakna?


Masih mengutip pendapat Clive Bell, bahwa bentuk bermakna merupakan susunan antara komponen formal dalam sebuah objek atau karya seni, sehingga dapat memunculkan emosi estetis di benak pemirsanya. Maka menurut Bell, sebuah objek bisa dikatakan karya seni apabila memiliki/mengandung bentuk bermakna.


Hal ini yang membedakan setiap tumpahan cat dengan lukisan, setiap tumpukan batu dengan patung, dan setiap goresan pensil dengan gambar. Selama mengandung "bentuk bermakna" maka tumpahan cat bisa dikategorikan lukisan. Namun, tanpa bentuk bermakna, tumpahan cat akan tetap tumpahan cat, bukan sebuah karya seni.


Maka menurut Clive Bell, karya seni (khususnya seni rupa) adalah "susunan formal yang memicu emosi estetis". Ketika pernyataan ini muncul, maka lukisan potret misalnya yang ditujukan sebagai bukti sejarah (seperti lukisan pahlawan yang kerap berada di dinding sekolah), tidak dikategorikan sebagai "karya seni" oleh Bell.


Namun, untuk memberi batas dengan bukan karya seni, Clive Bell membedakan emosi estetis dengan emosi "menyenangkan" dan "hasrat". Misalnya, melihat sesuatu seperti meja yang bentuknya keren dan fungsional, maka perasaan tersebut adalah "menyenangkan" bukan "emosi estetis". Begitu juga perasaan kagum melihat sepeda motor mewah, dan seterusnya.


Sedangkan perasaan "hasrat" adalah perasaan yang hadir setelah melihat sesuatu yang "layak dihasrati". Bell memberi contoh tentang wajah tampan, atau cantik. Seseorang melihat wajah yang tampan tentunya juga akan kagum. Namun, kekaguman tersebut berbeda dengan "emosi estetis". Kekaguman inilah yang menurut Bell disebut dengan "hasrat".


Perlu diketahui bahwa Clive Bell juga pendukung estetitisme seni "garis keras". Ia sangat menolak sebuah "fungsi" masuk dalam seni. Karya seni, bagi Bell, ketika disusupi sebuah fungsi, maka "sifat seni" seperti bentuk bermakna yang dijelaskan di atas, akan segera "membubarkan diri".


Tentang Estetitisme, silahkan baca lebih lengkapnya di sini: "Estetitisme sebuah radikalisasi ketanpapamrihan seni" 


Seni, menurut Clive Bell tidak bisa ditundukkan, dikebawahkan, atau menjadi "pengikut" dari pertimbangan moral tertentu, karena seni sudah memiliki/mengandung "moral" sendiri. Salah satu pernyataan paling terkenal dari Clive Bell adalah "Upaya menghubung-hubungkan seni dan politik adalah hal yang keliru".


Artikel terkait Seni dan Estetika lainnya bisa Anda baca di kanal ESTETIKA.

Ads