Advertisement
PojokSeni.com - Sebuah makalah yang ditulis oleh Jacob Watts dari Coastal Carolina University berjudul Satu Seni dengan Dua Sisi: Teater dan Performance Art (One Art with Two Sides: Theatre and Performance Art) memberikan deduksi menarik. Meski tersirat, namun dengan tegas Jacob Watts memberikan batas yang tegas antara performance art dengan teater.
Bisa dikatakan bahwa Watts menyatakan dengan tegas lewat jurnal tersebut: performance art bukan teater! Performance art (pertunjukan seni) bukan teater, meski teater adalah seni pertunjukan (performing art).
Sebelumnya PojokSeni sempat membahas dengan cukup mendalam apa itu performance art dalam artikel berjudul "Apa Itu Performance Art? Apakah Sama dengan Seni Pertunjukan." Di dalam artikel tersebut juga dibahas sejarah performance art baik skala global maupun di Indonesia.
Watts memberikan distingsi yang tegas antara "performer" (juga kerap ditulis performance artist/seniman pertunjukan) dengan "aktor". Performer untuk menyebut seorang yang pentas performance art, dan aktor untuk menyebut seorang yang pentas teater.
Distingsi tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Hanya saja, masih banyak yang bingung untuk membedakan mana performance art, mana teater. Mana performer, dan mana aktor. Salah seorang seniman yang pernah memenangkan Kennedy Center's Paula Vogel Playwriting Award, Paul David Young mengatakan bahwa teater adalah "a dead art form, one that can often be excruciating".
Pernyataan Paul David Young bisa diartikan bahwa teater merupakan sebuah bentuk seni yang "ketat", "kaku", dan seringkali menyiksa. Lebih dikapitalisasi, teater akan mengacu ke bidang seni akademik atau studi. hal itulah yang menyebabkan "kekakuan", dan "keketatan" dari teater.
Perbedaan Lain Performance Art dan Teater
Teater akan berasal dari naskah, dilakukan oleh aktor, di dalam "ruang teater", yang kemudian disaksikan oleh penonton. Setidaknya, begitu kurang lebih definisi teater yang disampaikan Peter Brook.
Tapi performance art lebih luwes, tanpa aturan ketat, tidak memerlukan pelatihan teknis, bisa dibuat dengan cepat (spontanitas) serta bisa dibuat oleh siapa saja. Hal ini berlawanan dengan "akting" yang merupakan sebuah teknik atau kemampuan yang perlu latihan rutin untuk penyempurnaannya.
Itulah kenapa teater biasanya akan menghabiskan waktu untuk proses latihan setidak-tidaknya 3 bulan. Sutradara Teater Satu Lampung, Iswadi Pratama, menyebut untuk setiap pementasan Teater Satu memerlukan latihan minimal 70 kali. Bila latihan tersebut dilakukan rutin setiap hari, itu berarti sudah menghabiskan 2 bulan lewat!
Teater adalah sebuah bidang seni juga studi dari sebuah teks (naskah drama), diproduksi menjadi sebuah pertunjukan untuk menceritakan sebuah cerita, memaparkan atau menciptakan sebuah makna. Pertunjukan ini mengandung plot, karakter, dan unsur-unsur pertunjukan teater lainnya.
Hal itu sangat bertolak belakang dengan performance art. (Sekedar informasi, di beberapa tempat, performance art juga sering disebut dengan nama visual art)
Performance art sebagian besar tidak berada di "ruang" apapun, dan sebagian besar performance art tidak berdasar pada jenis naskah tertentu. Ada beberapa jenis performance art yang juga berdasar teks, misalnya baca puisi, teatrikal, dan setipenya. Namun tetap berbeda jauh dengan pertunjukan teater, tidak ada karakter, plot, juga struktur tertentu dalam pertunjukan tersebut. Bahkan, lebih banyak lagi performance art yang digelar tanpa harus ada cerita, dan tidak ada penonton!
Performance Art Harus Dipisahkan dengan Teater?
Untuk menarik garis persamaannya, kita mundur sejenak hingga ke awal abad ke-20. Kenapa harus melihat teater di era abad ke-20? Hal ini disebabkan perkembangan teater di era itu cukup berkembang pesat dan sudah "di-akademik-kan", saat nama-nama besar seperti Stanislavsky juga disejajarkan dengan "ilmuwan", meski berprofesi sebagai seniman. Di era itu juga, visual art alias performance art berkembang dengan pesat.
Sebuah tulisan dari Natalie Meisner dan Donia Mounsef berjudul From the Postdramatic to the Poly-Dramatic , kedua orang ini memasukkan berbagai jenis pertunjukan seni seperti tari teater, musik, multimedia, hingga seni instalasi sebagai teater. Jauh lebih luas lagi, dan nyaris tidak ada pemisahan yang tegas. Sebab, Natalie Meisner dan Donie Mounsef membahas penggunaan teks sebagai bahan diskusinya. Sekaligus, membahas ketiadaan teks teater, mengingat teoritikus teater juga selalu berjarak dengan teks teater tersebut. Jadi, teater adalah sebuah triangulasi, yang sangat terkait antara teks - penonton - pemain. Sebab, teks menjadi pijakan pertunjukan, namun pertunjukan juga ditentukan dari persepsi penonton, karakter yang ditentukan pemahaman penonton, dan juga pemaknaan penonton terhadap karya yang dipentaskan.
Sedangkan tulisan lain berjudul Scrutinizing the Art of Theater yang ditulis oleh Aaron Meskin menjelaskan bahwa teater merupakan sebuah bentuk seni yang terdiri dari hubungan antara konsep - elemen kerja produksi teater - elemen teks. Yah, konsep - seniman - teks, menjadi sebuah teater.
James Hamilton Ph.D, seorang doktor filsafat estetika menulis buku berjudul The Art of Theatre. Dalam buku tersebut, Hamilton menyebut teater sebagai "The social practice in which audiences attend to the physical and verbal expressions and behavior as well as the ‘non-expressive’ movements and sounds of performers (human or mechanical) who, by those means, occasion audience responses to whatever the performers arrange for the audience to observe about human life (for example, stories and characters, or sequences of images and/or symbolic acts".
Dari definisi Hamilton tersebut, bisa dicatat bahwa semua jenis pertunjukan, baik itu tari, performance art, dan jenis pertunjukan lainnya, masuk dalam kategori teater. Tidak seperti sebelumnya di mana definisi teater dikaitkan dengan "ruang". Hal tersebut menjadikan "lokasi kerja" juga memberikan petunjuk apa itu teater sebenarnya.
Tapi, definisi Hamilton menurut Jacob Watts adalah bentuk analisis filosofis teater. Teater, secara filosofis, Meski demikian, di buku yang sama khususnya di bab "General and Obvious Facts about Theatrical Performance" setidaknya ada beberapa hal yang disebut Hamilton sebagai "tiga fakta teater" yang bisa merumuskan teater dengan jelas.
- Teater adalah social practice atau seni sosial.
- Interaksi penonton dan pemain terjadi saat pertunjukan, dan cenderung hanya dalam "kondisi standar" dengan aturan berlaku.
- Teater adalah bentuk seni yang temporal.
Maka tiga fakta yang dirumuskan Hamilton mulai memberikan pencerahan apa itu sebenarnya teater, dan apa yang membedakannya dengan performance art. Performance art bisa digelar dengan/tanpa penonton. Aksi teatrikal di demonstrasi mahasiswa misalnya, bukan sebuah tontonan. Namun, bila ada pemain yang bermain tanpa penonton, tidak bisa dikategorikan teater. Sebab, teater adalah seni sosial. Ini poin pertama yang membedakan keduanya, karena performance art bisa tetap digelar tanpa harus ada penonton. Manusia silver di tengah jalan misalnya, tidak terlalu menarik minat pengguna jalan untuk menontonnya.
Fakta kedua memberi batasan definisi bahwa pertunjukan yang direkam dan ditonton ulang, berarti bukan teater. Karena interaksi penonton dan pemain terjadi secara langsung ketika pertunjukan terjadi. Selain itu juga memberi ketegasan bahwa teater harus punya penonton. Tanpa itu, berarti tidak ada teater.
Kaitan Teater dan Video
Kebetulan sekali, karena sekarang sedang era "virtual" maka pertunjukan virtual juga semakin marak bermunculan, mari kita kaitkan teater dengan konteks media teknologi modern. Seperti film misalnya, yang berarti "teater" yang bertransformasi menjadi seni lain, namun pada akhirnya membuat "teater" sebagai induknya, menjadi tertekan dan kehilangan publik.
Banyak pertunjukan digelar secara virtual, dan itu berarti masyarakat menyaksikan video. Sebuah video yang memberikan "pertunjukan yang direproduksi secara identik", tapi tetap harus kita sepakati bahwa karya teater yang sedang dipentaskan dengan karya teater yang berada di dalam video, adalah "dua jenis karya berbeda".
Video pertunjukan sangat bisa digunakan untuk mempelajari sebuah pertunjukan teater. Kebutuhan studi, atau mungkin kritik, sangat tepat menggunakan "video pertunjukan". Tapi, bukan untuk "disaksikan" sebagaimana menonton teater. Terlepas dari semua ketidaksempurnaan yang kerap menimpa pertunjukan virtual di Indonesia (fokus kamera, kesalahan teknis, internet, dan sebagainya), pertunjukan tersebut tetaplah pertunjukan dua dimensi. Dan teater, sampai kapanpun, bukan sebuah pertunjukan dua dimensi.
Maka pertunjukan teater virtual (entah siapa yang punya ide di Indonesia tentang istilah konyol ini) mau tidak mau, tidak termasuk dalam kategori "teater". Tapi performance art, bisa menggunakan berbagai media dalam pertunjukannya. Baik performernya tidak hadir secara langsung, hanya sebuah "animasi" atau "hologram", semuanya menjadi pilihan bagi performer untuk melengkapi pertunjukannya. Tapi, lagi-lagi, itu jelas bukan teater.
Tidak ada salahnya kita sedikit mengulas pemikiran Sarah Bay-Cheng yang sempat mendiskusikan sejarah teater dan kaitannya dengan teknologi modern. Dari pemikiran Sarah Bay-Cheng, bisa disebutkan bahwa pertunjukan yang direkam, memang bukan selalu sebuah refleksi dari pertunjukan atau produksi pertunjukan. Teater adalah pertunjukan, dan rekaman pertunjukan langsung merupakan sarana untuk dokumentasi, studi, dan keperluan lainnya.
Teater adalah pertunjukan, dan rekaman pertunjukan langsung merupakan sarana untuk dokumentasi, studi, dan keperluan lainnya.
Dalam makalah Jacob Watts, dikutip pernyataan Sarah Bay-Cheng yang menarik; "This medium strengthens the future resources for historical research in terms of the amount of content, but because of the distortion between live Theatre and recorded Theatre, the recording will not be a fair representation of the original performance."
Teater adalah Ritual
Pendapat lain yang dikemukakan dalam makalah Watts adalah pendapat Guglielmo Schinina dalam karyanya "Here We Are: Social Theatre and Some Open Questions about Its Developments". Cukup menarik, karena Schinina menyebut bahwa teater tidak selalu sebuah pertunjukan di ruang teater. Tapi teater adalah sebuah ritual. Schinina mendasarkan pendapatnya dari berbagai teori dan penggunaan teater dalam konteks sejarah sosial juga sejarah evolusi biologis manusia.
Teater yang disebut Schinina hadir dari berbagai konteks dan terms, antara lain: origins, evolution, revolution, inclusion, recession, the definition of social Theatre, Theatre animation, and community-based Theatre, institution, and social disillusion.
Sebuah perusahaan teater mengizinkan orang yang bukan aktor atau seorang yang bukan seniman teater, untuk berlatih teater dan menggunakannya untuk mengatasi masalah masyarakat (atau mungkin masalah individu). Berarti, tidak harus di sebuah pertunjukan teater.
Dari diskusi tersebut, bisa disimpulkan bahwa Schinina tidak menganggap penting peran penonton. Bahkan, bisa jadi penonton tidak masuk dalam produksi teater, menurut Schinina. Misalnya, teater untuk kepentingan politik, kedokteran, pendidikan, terapi, dan pendistribusian informasi.
Setidaknya, pendapat Schinina menjadi dasar pijakan bahwa teater dan performance art memiliki kesamaan. Itu pula yang menjadi dasar bagi Watts, bahwa teater dan performance art sebenarnya tidak begitu perlu untuk dipisahkan.
Dengan kata lain, "interaksi" kadang-kadang bukan menjadi hal yang membedakan mana teater dan mana yang bukan teater. Meski seniman teater dan seniman non-teater akan tetap memisahkan performance art dengan teater, karena keduanya sama sekali berbeda. Namun, hal itu tetap tidak menghilangkan fakta bahwa kedua jenis seni ini sangat erat berhubungan satu sama lainnya.