Advertisement
PojokSeni.com - Satu kejadian lucu kembali terjadi awal April 2022 ini. Meski sedang berada di bulan Ramadan, namun hubungan Indonesia dan Malaysia kembali memanas. Masalahnya, apalagi kalau bukan budaya Indonesia yang diklaim lagi oleh Malaysia. Masalah klasik, dengan kejadian dan ending yang begitu-begitu saja.
Kali ini, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy yang terlihat ketar-ketir karena Malaysia mengajukan Reog Ponorogo sebagai warisan budaya Malaysia. Karena itu, Menko PMK langsung bergerak dan meminta Pemkab Ponorogo untuk mengajukan Reog Ponorogo ke Unesco secepatnya. Tentunya, hal tersebut tidak bisa disiapkan secepat yang diinginkan Menko PMK. Ada banyak data yang diperlukan, dan syarat-syarat tertentu. Bisa-bisa, Pemkab Ponorogo kalah cepat dengan Malaysia.
Di dunia maya, jauh lebih seru. Warganet Indonesia, tanpa perlu dikomando, melancarkan serangan habis-habisan ke akun Instagram 1malaysia_official. Anda bisa cek sendiri, bagaimana akun tersebut jadi bulan-bulanan "cyber bullying" yang dilakukan oleh warganet Indonesia.
Wajar saja mereka beraksi, meski bullying tersebut bisa juga dikategorikan sebagai overreaction. Kurang lebih seperti apa yang dilakukan Will Smith di panggung Oscar 2022, yang dengan sengaja naik ke panggung dan menghajar Chris Rock di hadapan jutaan orang seluruh dunia. Reaksi yang natural, alamiah, tapi berdampak buruk bagi Will Smith sendiri. Reputasinya anjlok, dan terkesan sebagai seorang yang kasar
Kembali lagi ke kasus Reog Ponorogo, ini bukan yang pertama kali dilakukan oleh Malaysia. Tahun 2007, Malaysia mengajukan bahwa Reog Ponorogo adalah tarian khas mereka. Saat itu, Indonesia bereaksi, meski penggunaan media sosial belum semasif saat ini.
Ini sudah keberapa kalinya, dan tahun 2022, Menko PMK baru meminta lagi Kabupaten Ponorogo untuk mengajukan ke Unesco. Selama rentang tahun 2007 hingga 2022 (alias sekitar 13 tahun), apa yang dilakukan untuk Reog Ponorogo?
Belum lagi, selain Reog Ponorogo, juga ada Reog Tulungagung yang sangat berbeda dari Reog Ponorogo. Apakah akan masuk list yang akan diajukan oleh Indonesia? Atau malah akan diajukan terlebih dulu oleh Malaysia, mengingat kurang populernya Reog Tulungagung ini di Indonesia? Setidaknya, tidak semasif Reog Ponorogo. (Wajib Tahu, Ini Perbedaan Reog Ponorogo dan Reog Tulungagung)
Budaya Asli Diharamkan, Tapi Takut Diklaim
Sebenarnya, kejadian ini tidak begitu berselang lama dengan polemik seorang Ustad yang mengharamkan wayang. Sebagai dampaknya, terjadi pro dan kontra di masyarakat. Ustad tersebut dikecam, dan juga banyak yang mendukung pernyataannya. Bayangkan, bila di saat yang bersamaan, Wayang diklaim pula oleh Malaysia? Apa pernyataan ustad tersebut? Apakah akan mendukung wayang jadi milik negara lain, karena haram?
Jangan lupakan pula, seorang konten kreator membuat video sensasional dengan menendang sesembahan agama lain di gunung. Video pendek tersebut juga memantik banyak respon, baik pro maupun kontra.
Ada lagi ustad besar yang mengatakan bahwa wayang tidak haram, selama diselipkan pesan syariat Islam. Seakan-akan, kesenian dan kebudayaan asli Indonesia, baru akan "halal" bila mengusung syariat Islam. Padahal, di negeri yang heterogen seperti Indonesia, budaya tersebut harusnya yang bisa menyatukan.
Bagaimana dengan Reog? Apakah juga harus dimasukkan syariat agama di dalamnya? Atau sebaiknya kita berikan saja pada Malaysia, agar dipelihara orisinalitasnya dengan baik?
Kemudian, pertanyaan terakhir, apakah para senimannya juga sudah diperhatikan? Bagaimana mereka bisa tetap berkarya bila hidup dalam kesulitan? Tidak hanya kesulitan ekonomi, tapi juga kesulitan mendapatkan tempat dan perhatian.
Satu hal yang tergambar dari kejadian ini adalah, betapa lambannya gerak pemerintah kita untuk menjaga budayanya. Selalu baru gerak cepat ketika sudah keduluan oleh orang lain. Bagaimana nantinya kalau saat sedang fokus pada Reog Ponorogo, justru budaya lain yang jadi sasaran berikutnya? Apa tidak ketar-ketir?
Semoga semuanya membaik, dan hasil akhirnya adalah yang terbaik pula. Bila ingin mempertahankan suatu kebudayaan, rasanya bukan dengan cara saling klaim, mengajukan ke Unesco, dan setipenya. Tapi, menjaga ekosistem kesenian tersebut tetap hidup di tempatnya, dan tetap menjaga eksistensinya sampai kapanpun. Bila dibiarkan mati kekeringan, lalu diajukan secara formalitas ke Unesco, tentunya bukan sebuah hal yang efektif untuk menjaga budaya Indonesia.