Kontradiksi Teater Tari: Sebuah Pembacaan Ulang dari Pertunjukan "Ilaika" di Sala Hatedu -->
close
Pojok Seni
02 April 2022, 4/02/2022 03:54:00 PM WIB
Terbaru 2022-04-02T11:48:46Z
ArtikelteaterUlasan

Kontradiksi Teater Tari: Sebuah Pembacaan Ulang dari Pertunjukan "Ilaika" di Sala Hatedu

Advertisement
Pertunjukan Epitaph oleh Dian Arza Art Laboratory

Oleh: Adhyra Irianto


Penciptaan teater tubuh selalu dimulai dari satu titik yang sama; pemaknaan terhadap tubuh itu sendiri. Bahasa tubuh lahir sebelum kata, dan kemudian kembali pada tubuh. Karena itu, tubuh selalu dieksplorasi menjadi media utama seni pertunjukan, utamanya teater dan tari. 


Sedangkan teater tari (dance theatre) sederhananya ialah ketika teater dipadukan dengan tari. Awalnya, bagi saya pribadi, ini adalah kategorisasi yang mudah. Namun, ketika saudara saya asal Jambi-Lampung yang tergabung di Dian Arza Art Laboratory meminta saya untuk menulis tentang pertunjukannya bertajuk Epitaph yang dimainkan di Hatedu Solo tahun 2022, maka saya baru sadar bahwa pertunjukan DAAL ini bukan karya yang bisa dikategorisasi dengan mudah.


Dengan berpijak pada premis dan sebuah narasi tentang waktu dan dibuat oleh seorang sutradara teater dan koreografer, menjadikan sebuah karya "teater tubuh", meski dinarasikan sebagai "teater tari". Ini murni perspektif pribadi, karena sejauh yang saya tahu, tari (lagi-lagi bagi saya pribadi) adalah sebuah karya yang terbebas dari teks dan narasi. Di dalam sebuah karya tari, semuanya bisa ditemukan, dimasukkan, dan dicampurkan ke dalamnya. Namun unsur utamanya adalah "gerak", yang lain adalah tambahan.


Sedangkan teater, tidak seperti itu. Narasi menjadi unsur yang penting. Karena itu, sejak era Yunani Kuno, teater dan tari dipisahkan. Keduanya dianggap oleh para pemikir era itu sebagai sebuah kontradiksi. Seorang penulis bernama Samuel Pepys adalah pecinta tari dan datang ke panggung teater Shakespeare generasi kedua pada abad ke-17. Saat itu, ia mengatakan bahwa ia tidak datang untuk menyaksikan teater, ia datang untuk melihat mereka menari. 


Tubuh disengajakan dan direncanakan menjadi sebuah bahasa alias disusun menjadi "kata" (diverbalkan). Ada sebuah narasi yang disampaikan, dan kata-kata dirasa tak cukup untuk menyampaikan itu. Sehingga butuh tubuh yang dianggap lebih universal untuk menjadi media penyampai.


Teater tari, menjadi sebuah istilah yang sulit. Di teater ada istilah "teater tubuh", "teater eksperimental" yang terlihat "seolah-olah" tari. Sedangkan di tari sendiri ada tipe tari dramatik dengan jalan cerita tertentu yang terlihat "seolah-olah" teater. Di sini mungkin awal kontradiksi, sekaligus benang merahnya. Entahlah apakah itu teater tari ataukah tari teater, yang penting karya tersebut teatrikal. 


Dan, yah. Kenapa harus dipusingkan. Orang-orang tidak mau pusing dengan definisi karena akan memberi batas yang tegas pada ekspresi dan kreasi.


Pertunjukan Ilaika 4 oleh Dian Arza Art Laboratory


Memasuki tahun 2022, masyarakat global dikejutkan dengan lontaran teknologi yang diwakilkan lewat satu kata: META. Lalu sebenarnya apa itu Meta?


Meta berasal dari bahasa Yunani kuno (pra-Gregorius era) yang berarti; melebihi (beyond), sesudah (after), atau dibelakang (behind) dengan pemaknaan “melampaui/pelampauan”. Makna ini memiliki dua rujukan  Rujukan pertama* yaitu rujukan etimologis (kebahasaan) bahwa Meta dapat  terwujud setelah Alpha, Beta, dan Gamma. Analogi etimologis ini jika L adalah perwujudan setelah I, J dan  K.


Rujukan kedua yaitu rujukan filosofis bahwa Meta adalah setiap lompatan pemikiran/gagasan (manusia) secara fundamental yang mengarah kepada pencerahan untuk mencapai tujuan (kehidupan). Sedangkan dalam KBBI, Meta berarti sebuah perubahan. 


Analoginya, setiap lompatan pemikiran dianggap sebuah Meta, contohnya kemampuan kloning, AI (Artifisial Intelegence) adalah Meta. Contoh lainnya, pada zaman dahulu orang berkomunikasi lewat surat, dan sekarang tidak hanya tulisan, orang bisa saling menyapa dan melihat tampilan. Itu adalah Meta.


Lalu bagaimana dengan Metatubuh? Perubahan atau lompatan seperti apa yang bisa dikatakan Metatubuh? Sebab seluruh manusia memiliki bentuk artifisial yang sama; satu kepala, dua tangan, satu perut, satu kemaluan, dua kaki dan lima panca indera. 


Konsepsi Metatubuh tidak ujug-ujug muncul begitu saja. Ia sudah dikenal sejak lama dengan dasar pijakan bahwa “Tuhan menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dari citra-Nya”. Dari kalimat tersebut, banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu kemudian melakukan riset mengenai keajaiban tubuh. 


Mari mengambil contohnya saat perempuan melahirkan, riset medis menyebutkan bahwa manusia hanya mampu menahan rasa sakit MAKSIMAL 45 Del, TAPI perempuan saat melahirkan mengalami rasa sakit hingga 57 Del atau setara dengan 20 tulang dipatahkan bersama. 


Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana seorang perempuan bisa menanggung sakit melebihi kenormalan? Karena “didalam tubuh yang terbatas terdapat ketubuhan tanpa batas” yang muncul dari totalitas rasa, cinta yang bertekad, keinginan untuk memiliki bayar, sehingga tubuh bergerak melampaui kebiasaannya.  


Pemaknaan  “ketubuhan tanpa batas” ini terlalu banyak contohnya dalam kehidupan sehari-hari namun kita kebanyakan mengabaikannya karena merasa tidak membutuhkannya, lupa atau bahkan melupakannya.


Tak percaya? Mari bertanya, tangan untuk apa? Untuk memegang, mengangkat, menyuap makan, itulah fungsi dan guna tangan yang kita pakai. Lalu, jika ditanyakan lagi, bisakah tangan untuk berjalan? Bisa, contohnya orang yang tak memiliki kaki bisa menggunakan tangan untuk berjalan dan hal serupa orang yang tak memiliki tangan bisa memakai kaki untuk menulis. Sulit, tentu saja karena umumnya kita selalu denial (melakukan penolakan) terhadap segala hal yang bersifat diluar kebiasaan/kewajaran tanpa unsur keterpaksaan.


Metatubuh tidak hanya berbicara melulu mengenai kekuatan fisik yang tidak biasa, lebih dari itu pemaknaannya. Metatubuh berarti seseorang melalui serangkaian proses yang bersifat intensif, berkelanjutan sekaligus holistik tentang pemaknaan rasa melalui gerak tubuh yang bersifat jujur, penggalian pengalaman tubuh dibarengi kolektifitas ingatan emosianal yang diterjemahkan menjadi gerak diluar kebiasaan tubuh sehari-hari.


Hal ini dikarenakan Metatubuh nantinya menjadi entry point untuk memaknai tubuh tidak lagi dilihat oleh publik (baca: orang lain) sebagai alat atau media tapi tubuh itu sendiri oleh orang lain dilihat sebagai gagasan atau ide. 


Dalam dunia seni, tubuh sudah menjadi panggung itu sendiri. Bagaimana tubuh bisa menjadi panggung? Dengan melalui pencarian, pemaknaan, pengolahan Metatubuh (sekali lagi) secara intens, berkelanjutan, jujur dan holistik sehingga orang lain/penonton melihat serangkaian denyut, gerak, rasa, aroma, bentuk, emosi dari tubuh dan bukan lagi tumpukan keterampilan (skill) tetapi usaha menghilangkan semua penghalang. Dalam konsep tubuh Grotowski disebut dengan istilah via negativa.


Metatubuh menjadikan tubuh sebagai panggung dan melepaskan pemaknaan umum/konvensional sehingga tubuh menjadi pertunjukan yang “berbahasa”, “berbunyi” dan “bersuara”. 


Proses penciptaan metatubuh merupakan penawaran dengan menggarap dan mengolah tubuh agar tubuh kembali kepada fungsi aslinya sebagai PESAN, IDENTITAS & PERISTIWA ITU SENDIRI. 


Contohnya, orang yang meletakan tangannya diperut menyampaikan PESAN bahwa tubuhnya sakit dibagian perut atau tubuhnya lapar. Laki-laki yang langkahnya gemulai, tangannya kemayu menyampaikan IDENTITAS bahwa ia seorang yang bertubuh feminis atau keperempuan. Seseorang yang matanya melotot dengan nafas memburu memberikan PERISTIWA bahwa tubuhnya sedang emosional. SEMUANYA MENJADI PANGGUNG.


Penciptaan Metatubuh menawarkan pandangan baru tentang tubuh yang bukan sekedar media ungkap tetapi tubuh itu sendiri mandiri sebagai sebuah panggung melalui tahapan: 

  1. Melakukan ‘interogasi tubuh’. Artinya, praktisi/seniman kembali menggali ulang fungsi, makna, kekuatan, elastisitas, ketahanan dan keseimbangan tubuh. Sebagai contoh, ‘Interogasi tubuh’ dilakukan dengan mempertanyakan apakah fungsi tangan, makna tangan, kekuatan tangan, elastisitas tangan, ketahanan tangan, hingga keseimbangan tangan. 
  2. Dari sini akan lahir, kejelasan mengenai metatubuh, yakni proses pelampauan dan pembongkaran kembali mengenai tubuh dan menjadi tubuh baru dengan mengedepankan tiga syarat dalam Metatubuh: KESEIMBANGAN, DAYA TAHAN & MASSA TUBUH
  3. Saat sudah bertemu kejelasan maka seorang praktisi/seniman tinggal memanggil kejujuran hati dan rasa dari dalam dirinya untuk menggerakan tubuhnya tanpa dipikirkan secara teknis atau nilai keindahannya. Hal ini juga sekaligus menghalau segala kesulitan yang bersifat skill atau teknis.


Metatubuh menjadi salah satu opsi dalam pertunjukan yang bertujuan mengembalikan kelebihan-kelebihan tubuh yang sudah diberikan Tuhan namun terlupakan karena jarang dilakukan sehingga saat dicoba menjadi aneh, sulit atau tak bisa diterima. Kenapa? Karena Metatubuh menjadi upaya untuk “mengganggu” konstruksi nalar kebiasaan sehari-hari manusia yang selama ini sudah tertanam dan disepakati bersama. 


Metatubuh juga bertujuan untuk “menyingkap” atau “melahirkan kembali”  identitas dan realitas yang selama ini ter/di-sembunyikan tanpa disadari.


Disisi lain, sebagai sebuah pertunjukan, Metatubuh menjadi penggalian penciptaan yang menimbulkan daya tarik epistemik dan estetik sekaligus dengan mengacu pada kinestetik gerak dan dramatik tubuh. Proses metatubuh akan melahirkan ragam kreatifitas yang bersifat berbeda (bentuk, rasa, isi, susunan, dan gaya) dibandingkan kebanyakan yang dikenal secara umum tanpa atau dengan mengubah fungsi pokok dari tubuh itu sendiri dengan pola kerja eksperimentatif yang berakhir pada hadirnya karya pertunjukan yang simbolik, semiotik sekaligus holistik (utuh)


Panggung dibentuk (mungkin digambar) menjadi seperti lingkaran besar, dan dua orang menyiratkan jarum detik dan menit. Beberapa orang berada di tengah, juga dengan baju warna beda, seakan menjadi pusat dari peredaran waktu itu. Movement cukup fleksibel, dan sesekali para performer menyebutkan kalimat yang saling terpotong-potong dan bersahutan.


Musik sejak awal ialah detak jam yang teratur dalam ketukan 3/4, dengan sesekali musik tipe strings muncul untuk menghiasinya agar tidak terkesan monoton. Suasana temaram, hanya beberapa titik lampu saja. Asap dari gun smoke, dan beberapa performer bergerak berputar, berkeliling, berkelindan, dan bercampur baur di tengah lingkaran. 


Di ujung pertunjukan berdurasi 26 menit ini, adegan menggambarkan pertarungan melawan waktu dan diri sendiri, setelah seorang aktor berteriak, "dan semua selesai". 


Pertunjukan selesai ketika blackout dan ditutup dengan riuhnya tepuk tangan penonton.

Ads