Advertisement
pojokseni.com - Kajian awal pada tradisi pascakolonial sebenarnya berakar pada tradisi ekonomi-politik marxis. Tradisi pascakolonial yang letaknya berada di tengah-tengah, antara marxis dengan post-modernisme itu sangat terpengaruh dengan pemikiran dan teori Marx tentang reproduksi kapital (di dalam Das Kapital Jilid II).
Seperti ditulis oleh Rosa Luxembourg dalam karyanya berjudul Accumulation of Capital (terbit tahun 1913), bahwa pengaruh mesin akan sangat kuat untuk menghasilkan sebuah surplus produk dalam jumlah masif. Jumlahnya bahkan terlalu banyak untuk diserap dalam sistem kapitalis. Karenanya, diadakan perluasan pasar ke "pasar ketiga". Pasar ketiga ini yang digambarkan sebagai pasar "di luar barat", yang berarti ada sebuah imperialisme dan kolonialisme terhadap masyarakat di "pasar ketiga" tersebut.
Berikutnya, muncullah berbagai analisis tentang hubungan antara negara maju dengan negara bekas jajahan (post-colony). Hasilnya, didapatkan sebuah pemikiran lain bahwa negara yang telah merdeka alias negara pasca-koloni masih ketergantungan dengan negara penjajahnya. Dan ini merupakan sebuah hubungan yang timpang, karena pada akhirnya negara pasca-koloni tersebut terus menerus dibuat ketergantungan dengan negara-negara maju, bahkan yang bukan negara penjajahnya.
Salah satu bentuknya, negara pasca-koloni akan diminta untuk mengekspor barang mentah, lalu diolah menjadi manufaktur oleh negara maju, lalu diimpor kembali oleh negara pasca-koloni. Bila hal tersebut terus terjadi, maka berdasarkan tesis Singer-Prebisch yang dikemukakan oleh Hans Singer dan Raul Prebisch, dalam jangka panjang akan membuat negara maju menjadi semakin maju, sedangkan negara miskin akan menjadi semakin miskin.
Penyebabnya, negara maju terus memiliki berbagai kesempatan untuk melakukan industrilisasi, dan peluang tersebut sangat sulit ditemukan oleh negara pascakoloni yang bertopang pada ekspor bahan mentah. Negara-negara maju seakan memiliki strategi tertentu agar negara pasca-koloni tidak bisa lepas dari ketergantungan tersebut.
Tradisi Pasca-kolonial pada Kebudayaan dan Kesenian
Kajian pascakolonial salah satunya yang ditulis oleh Frantz Fanon dengan judul Black Skin, White Mask (terbit tahun 1952), fokus pada kaian tentang mentalitas kolonial. Hasil diagnosis Frantz Fanon yang dicurahkan dalam buku tersebut menyebutkan adanya rasa inferior dari bangsa yang pernah terjajah, melihat bangsa penjajahnya. Kapitalisme yang dibawa oleh negara penjajah lewat penjajahan pada akhirnya menggerus akar budaya lokal bangsa tersebut.
Hal itu yang terjadi sampai era saat ini, ketika teknologi dan informasi sudah semakin cepat sampai ke mana saja. Maka, tidak lagi lewat "kolonialisme" berbantuk penjajahan "fisik", tapi melewati kolonialisme bentuk baru, yakni penjajahan budaya. Tentu, bentuk perlawanan yang bisa dilakukan ialah dengan mengembalikan akar kultur budaya asli dari bangsa yang terjajah tersebut. Dengan kata lain, memurnikan budaya asli merupakan salah satu cara untuk melawan pengaruh kapitalisme yang datang bersama budaya, seni, hingga pengaruh lainnya.
Era 1980-an, kajian pascakolonial perlahan-lahan meninggalkan pemikiran marxisme. Hasilnya, fokus yang awalnya pada hubungan antara kolonialisme dan kapitalisme perlahan-lahan berubah menjadi perkara identitas kultural kaum tertindas (dalam konteks pasca kolonial).
Mulailah kajian pada status perempuan dalam konteks nasionalisme. Di India misalnya, Gayatri Spivak mengatakan bahwa wanita dijajah dua kali lipat dari lelaki. Bila lelaki hanya dijajah negara penjajah, maka perempuan sekaligus dijajah oleh budaya patriarki. Istilah subaltern akhirnya muncul, yang artinya subjek yang tertindas di dalam sebuah kelompok sosial yang tertindas.
Homi K. Bhaba mencari hubungan antara budaya tradisional negara terjajah dengan budaya tradisional negara penjajah. Hasilnya, Homi K Bhaba meragukan ada budaya "murni" atau "asli" seperti yang sudah disebut sebelumnya. Entah itu "budaya timur" atau "budaya barat" sangat sulit untuk mencari mana yang lebih murni, karena keduanya sama-sama merupakan hasil konstruksi yang sudah saling bersinggungan dan saling memengaruhi. Bahkan, dalam realitas pasca kolonial, negara yang terjajah juga meletakkan sejumlah atribut kultural tradisional yang sudah tercampur dengan kultur "mantan penjajah" dalam satu tampilan hibrid.
Hibriditas tersebut, menurut Homi K Bhaba, justru merupakan sebuah tanda bahwa tidak ada lagi oposisi biner antar penjajah atau terjajah. Itu justru penanda bahwa negara tersebut memang sudah benar-benar merdeka dan mampu mengkonstruksikan kulturnya sendiri, yang tentunya terpengaruh dengan kultur di sekelilingnya.