Teater Realisme: Perlawanan dan Supremasi Individu -->
close
Pojok Seni
22 March 2022, 3/22/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-03-22T01:00:00Z
BeritaMateri Teaterteater

Teater Realisme: Perlawanan dan Supremasi Individu

Advertisement
Kontantin Stanislavsky Teater Realis

pojokseni.com - Teater realis lahir sebagai sebuah kebangkitan dan perlawanan di Barat. Lahir berkat pengaruh ilmu pengetahuan dan masyarakat kelas atas, lalu realisme muncul sebagai sebuah seni peran yang punya konvensional yang mapan. 


Apa yang dilawan teater realisme? Kita tarik ceritanya dari abad ke-17, pasca era teater Elizabethan. Tentunya, nama yang mengemuka di era Elizabethan adalah sang maestro Inggris, William Shakespeare. Cerita yang diangkat utamanya adalah kisah tentang raja-raja, pangeran, putri, peri-peri, kekuatan supranatural, dan sebagainya. Di saat itu, kaum-kaum yang punya kekuatan hanyalah kaum bangsawan. Sedangkan para penonton teater adalah kaum bangsawan, pedagang besar, saudagar, dan wirausahawan sukses. 


Sampai pada akhirnya, para pedagang dan wirausahawan terus mencoba menguatkan posisi mereka di masyarakat. Mereka menjadi kelas tersendiri, baik secara ekonomis maupun politis. Mereka juga seakan memisahkan diri dari golongan kaum bangsawan, seakan mereka punya kelas tersendiri dan juga kuat dan harus diperhatikan.


Kembali ke panggung teater, dimulai dari George Lillo menulis naskah fenomenal berjudul Saudagar London. Sangat berbeda dengan apa yang ditulis oleh William Shakespeare, tentang raja, ratu, bangsawan, pangeran, putri, lord, dan sebagainya. Tapi, yang hadir adalah pelacur, saudagar, pedagang, dan orang-orang biasa. Ini yang menjadikan kelompok masyarakat berisi kaum saudagar, borjuis, wirausahawan, dan setipenya tersebut mulai beralih menonton pertunjukan seperti yang ditulis George Lillo.


Alasan utamanya adalah, mereka merasa menonton dirinya sendiri. Bukan menyaksikan kaum bangsawan lagi, apalagi para raja dan konflik di sekitaran istana melulu. Ini saatnya melihat sebuah tontonan yang terjadi di sekitar mereka. Jauh lebih menyentuh, dan tentunya jauh lebih dekat dengan kehidupan mereka.


Hal ini yang membuat lama-kelamaan masyarakat sudah memiliki "kehidupan sendiri" yang terpisah dari "kerajaan". Mereka memikirkan dirinya sendiri, kehidupannya sendiri, dan kesulitan-kesulitannya sendiri, yang berarti konflik hidup mereka sendiri. Tidak melulu tentang raja dan konflik di dalam istana. 


Lahir dan berkembangnya sejumlah ilmu pengetahuan terbaru juga memberi ruang yang besar pada perkembangan teater realisme. Muncul teori evolusi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Ternyata, semuanya memberi satu kesimpulan; bahwa setiap manusia itu sempurna, unik, dan berbeda. Maka melihat seorang dan seorang lainnya juga mesti menggunakan pendekatan yang berbeda.


Berkembangnya ilmu pengetahuan, serta dukungan dan kekuatan dari kaum kelas atas (para pedagang dan pengusaha) memberikan jalan yang mulus untuk berkembangnya teater realisme. Dampak paling kuatnya adalah, penonton sudah terbiasa dengan penggambaran objektif di atas panggung. Tokoh yang "benar-benar nyata", bisa dirasakan dan bisa ditemukan di atas bumi, menjadi kekhasan teater realisme. Dan hal itu membuat penonton terbiasa dengan penggambaran objektif.


Maka, hal-hal yang tidak objektif seperti kekuatan supranatural, peri, penyihir, dan setipenya, akhirnya perlahan mulai ditinggalkan penonton. Dengan kata lain, perkembangan teater realisme membuat tokoh "fiksi" seperti di atas menjadi tersisih dari atas panggung.


Pada akhirnya realisme menjadi supremasi individu. Manusia, apapun posisinya dan kelasnya di masyarakat, harus tetap dilihat sebagai manusia. Mereka punya kewajiban dan hak yang sama. Setiap manusia juga punya konflik tersendiri dengan kehidupannya, dengan orang lain, dan punya kekhasan sendiri.


Perlahan-lahan, muncul tokoh-tokoh realisme yang menghadirkan seni akting dengan metode psikologis di atas panggung. Sebut saja nama-nama seperti Konstantin Stanislavsky, yang mencetus gaya berperan natural (bukan artificial). Hal itu membuat penonton mulai terbiasa dengan tontonan yang menghadirkan suasana yang natural, sehari-hari, dan tidak dibuat-buat. Gaya bicara deklamatoris seperti dalam teater klasik dan romantik perlahan-lahan ditinggalkan.


Apalagi ketika pangeran dan putri kerajaan pun harus menghadapi suasana abad ke-19 yang keras dan ketat. Revolusi industri menghadirkan banyak pengusaha dan orang-orang kaya, sedangkan bangsawan juga menjadi orang-orang yang harus berjuang keras dalam hidup dan lingkungan sosialnya. Hal itu semakin memberi kekuatan pada perkembangan teater realisme.


Sebagai "supremasi individu", teater realis menghadirkan individu-individu dengan layer-layer psikologis berlapis, masalah hidup yang realistis, dan gaya akting yang natural. Kostum, make up, pencahayaan, dan setting panggung sudah digarap benar-benar realistis, dan pada akhirnya menjadikan pertunjukan teater realisme lebih disukai banyak penonton. Karena dekat dengan keseharian, karakter dan alur yang kontradiktif. Persis seperti kehidupan mereka sehari-hari.


Dari George Lillo, muncul penulis-penulis naskah hebat yang menulis realisme. Anton Chekov, sampai Henrik Ibsen melahirkan karya-karya monumental. Hal itu yang cukup memberi jalan untuk menjadikan "aturan" pada realisme mulai semakin mapan dan ketat. Meski tetap menggunakan struktur piramida ala Aristoteles, namun peristiwa yang dihadirkan lebih rasional. Strukturnya dibangun dengan pola sebab-akibat.


Sampai hari ini, teater realis tetap mendapat tempat di hati penontonnya. Meski bermunculan aliran dan genre lain pasca realisme, namun metode akting Stanislavsky tetap menjadi basis pelatihan keaktoran bagi sebagian besar aktor teater.    

Ads