Advertisement
Permisi.
Saya menyampaikan catatan pengalaman ini khusus kepada teman-teman yang bergulat di kegiatan seni teater di tanah air Nusantara. Jikapun tersebar di kalayak ramai mohon maaf jika kurang berkenan dan sangat terhormat bilamana terpancing turut memberikan pandangan yang bermanfaat bagi kehidupan teater di Nusantara yang sama-sama kita cintai.
Keluarga besar Teater Keliling melalui ruang yang mulia ini mengucapkan terima kasih serta penghargaan kepada seluruh panitia penyelenggara Salahatedu ke 8 di Taman Budaya Solo 23-26 Maret 2022. Terasa sebuah kegembiraan yang tumbuh atas kebanggaan ikut mendapat ruang pentas pada tanggal 23 Maret 2022 di panggung pendopo wisma seni. Sangat terasa darah kehidupan berkesenian khususnya teater mengalir begitu cepat dan hangat karena bisa turut hadir di hari peringatan teater sedunia yang ke 61 tahun di tanah air nusantara yang beragam latar budaya teaternya.
Mengawali catatan saya mari sama-sama merenungkan pidato tahunan dari Institute International Theater yang terpilih tahun 2022 yakni seorang sutradara teater, opera serta direktur festival teater Amerika yakni Peter Sellars sebagai berikut:
Kawan-kawan tercinta,
Ketika dunia menggantung dari jam ke jam, dari menit ke menit, pada umpan harian reportase berita, bolehkah saya mengundang kita semua, sebagai kreator, untuk memasuki ruang lingkup, lingkungan, dan perspektif kita akan waktu yang epik, perubahan yang epik, kesadaran yang epik, refleksi yang epik, dan pandangan yang epik? Kita hidup dalam sebuah periode epik sejarah manusia serta perubahan mendalam dan konsekuensial yang kita alami dalam hubungan manusia dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, juga dengan dunia nonmanusia, yang semuanya hampir di luar kemampuan kita untuk memahami, mengartikulasikan, membicarakan, dan mengekspresikan.
Kita tidak hidup dalam 24 jam siklus berita, kita hidup di tepi waktu. Surat kabar dan media sama sekali tidak punya perkakas dan tidak mampu untuk menghadapi apa yang kita alami.
Di manakah bahasa, gerakan apa, dan citra apa yang memungkinkan kita memahami pergeseran dan perpecahan mendalam yang kita alami ini? Dan bagaimana kita bisa menyatakan isi kehidupan kita kini bukan sebagai reportase, tapi sebagai pengalaman? Teater adalah wujud-seni pengalaman.
Dalam dunia yang dibanjiri oleh kampanye pers yang luas, pengalaman palsu, ramalan yang mengerikan, bagaimana kita dapat melampaui pengulangan angka tak berkesudahan untuk mengalami kesucian dan ketakterbatasan dari satu kehidupan, ekosistem, persahabatan, atau sifat cahaya di langit yang garib? Dua tahun Covid-19 telah meredupkan indra manusia, mempersempit kehidupan manusia, memutus pertalian, dan menempatkan kita pada keasingan titik nol kediaman manusia.
Benih apa yang perlu ditanam dan ditanam kembali pada tahun-tahun ini, serta spesies gulma-penyerbu macam apa yang perlu dicabut sepenuhnya dan akhirnya dienyahkan? Begitu banyak orang berada di ujung tanduk. Betapa banyak kekerasan yang berkobar, tak masuk akal, atau tak ternyana. Amat banyak sistem mapan telah terungkap sebagai struktur kekejaman yang bersinambung.
Di mana upacara peringatan kita? Apa yang perlu kita ingat? Ritual apa yang memungkinkan kita untuk pada akhirnya membayangkan kembali dan mulai melatih langkah-langkah yang belum pernah kita jalankan sebelumnya?
Teater yang memiliki visi, tujuan, pemulihan, perbaikan, dan perawatan yang epik memerlukan ritual-ritual baru. Kita tidak butuh dihibur. Kita perlu berkumpul. Kita perlu berbagi ruang, dan kita perlu memupuk ruang bersama. Kita butuh ruang-ruang aman untuk kedalaman pendengaran dan kesetaraan.
Teater adalah karya di dunia yang jadi ruang kesetaraan antara manusia, dewa, tumbuhan, hewan, rintik hujan, air mata, dan regenerasi. Ruang kesetaraan dan kedalaman pendengaran diterangi oleh keindahan tersembunyi, tetap hidup pada interaksi mendalam dari marabahaya, ketenangan, kebijaksanaan, laku, dan kesabaran.
Dalam Avataṃsaka Sūtra, Budha mendaftar sepuluh jenis kesabaran besar dalam kehidupan manusia. Salah satu yang paling kuat disebut “Kesabaran dalam Mempersiapkan Semuanya sebagai Keajaiban”. Teater selalu menampilkan kehidupan dunia ini seperti keajaiban, memungkinkan kita untuk melihat melalui ilusi manusia, delusi, kebutaan, dan penyangkalan dengan kejelasan dan kekuatan yang membebaskan.
Kita amat yakin dengan apa yang kita lihat dan cara kita melihatnya sehingga kita tidak bisa melihat dan merasakan realitas alternatif, kemungkinan baru, pendekatan yang berbeda, hubungan yang tak terlihat, dan koneksi yang abadi.
Inilah waktu kita untuk menyegarkan pikiran, indra, imajinasi, sejarah, dan masa depan kita. Kerja ini tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang terisolasi dan bekerja sendiri. Ini adalah pekerjaan yang mesti kita lakukan bersama. Teater adalah undangan untuk melakukan pekerjaan ini bersama-sama.
Terima kasih sedalam-dalamnya atas pekerjaan Anda.
Peter Sellars
“Teater adalah wujud pengalaman” menjadi perenungan saya selama berada dalam suasana festival hari teater sedunia 27 Maret yang cukup banyak dilakukan kelompok2 yang mana saya merasakan yang ada di Solo karena saya turut hadir bahkan mengisi satu mata acara panggung.
Seorang Peter Sellars yang memilih berkelana di dunia teater tentu memiliki catatan pengalaman yang kaya raya. Ini dapat dipahami karena bagaimana mau bicara tentang kehidupan teater jika pengalaman sangat sedikit? Dari perjalanan pengalaman itulah yang akan menemukan suara, pemandangan, tarian, dialog, nyanyian kehidupan yang boleh dikatakan terus menerus mewujut dalam perubahan2 yang dalam hitungan kesenian dikatakan “detik”. Kekayaan pengalaman akan tersurat dari tiap karya yang diterbitkan di panggung. Skrip apa yang dipilihnya apakah terjemahan, atau karya asli milik teman atau karya sendiri? Tergelar kebebasan untuk memilih tentunya. Dalam karya panggung yang akan terbaca adalah apa pesan yang dibawa, apa yang tersirat dari setiap laku dari detik ke detik hingga tutup layar? Perkara pesan bisa bermacam pula yakni apa sang sutradara menyampaikan pesan penulis naskah atau pesannya melalui naskah yang digarap. Belum lagi tiap aktorpun tentu memiliki pesan pribadinya. Dahsyatnya teater adalah kemampuan menyatu padukan bermacam pesan tanpa saling bertabrakkan dan menyentuh publiknya. Dan itulah arti dari karya seni teater adalah hasil kerja kolektif. Bahasa ibu nusantara adalah “gotong royong”. Mari sedikit melihat kedalan diri masing2 apa masih punya jiwa “gotong royong”?
Pengalaman turut berkubang dalam kegiatan SalaHatedu ke delapan di Taman Budaya saya bangga bahwa Omah Kreatif Arturah memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan tanpa pernah kudengar “mengeluh” apapun kesulitan yang timbul. Justru segala hal yang tampak sulit, berat, kering, justru menjadi tantangan untuk dilayari sendirian berenang di samodra yang begitu ganas ombak deritanya. Teater yang sudah dilambangkan dengan dua topeng sedih gembira tentu saja perlu menjadi daya keseimbangan jiwa dalam berkarya. Di Indonesia yang merdeka 76 tahun lebih ini sudah bukan waktunya pekerja teater hanya mampu mengeluh bahkan menyalahkan penguasa yang kurang memberi perhatian dan dalam hal ini perlu pembuktian nyata sehingga tidak terasa menyebar hoax saja. Apalagi jika keluhan tersebut disampaikan ditempat umum, dihadapan penonton yang datang bukan bertujuan mendengar keluhan. Bukan urusan mereka untuk diturut sertakan dalam mengatasi segala kesunyian seniman teater. Bukan tempat dan waktu yang tepat mengumpat mengumbar uneg2 dihadapan publik yang tak bersalah. Justru semestinya sanjungan dan penghormatan diberikan kepada publik yang hadir ikut merayakan pesta tahunan yang indah. Malu ketika mendengar teman yang selalu aktif nonton teater terpaksa mengelus dada dan mengatakan itu kan masalah intern kalian ya selesaikan di ruang belakang rumah kalian. Kami datang keruang tamu untuk menikmati hidangan yang membahagiakan. Syukur bisa ikut menjawab tantangan yang sedang kami hadapi.
Pernyataan Peter Sellars tentang arti pengalaman bukan dihitung dari umur sang senimannya namun berapa lama waktu yang digunakan untuk berkarya. Kasarnya dalam setahun berapa karya panggung dan berapa lama penyiapannya. Jika misalnya satu naskah dengan latihan tiga bulan maka yang 9 bulan ngapain? Seniman teater akan selalu menghadapi bermacam problem kehidupan pribadi bagi diri, keluarga dan juga dalam berkarya. Kemampuan untuk menjalani berbagai masalah itulah yang akan menelorkan nilai2 pengalaman yang akan terangkat ke setiap karyanya.
Barangkali untuk kegiatan mendatang akan ketemu masakan terbaru yang dapat dihidangkan yang bukan sekedar pertemuan kangen-kangenan atau reunian. Debat diskusi bincang2 atau apapun istilahnya hadir membawa “pengalaman” setahun berkiprah di dunia teater. Betapa beragamnya ilmu teater yang dimiliki oleh para pekerja teater tradisional puluhan tahun yang dapat digali yang tak habis dalam setahun. Berapa banyak karya2 yang bisa terhidang setahun yang bisa dibicarakan selain hanya mengumpulkan pujian “sukses” . Kita sangat kaya akan kearifan lokal dalam kebudayaan. Undang undang pemajuan kebudayaan sudah resmi ditanda tangani presiden. Kini tinggal membuktikan bahwa kita memang berkarya sepanjang tahun. Tidak perlu merasa rendah diri jika ruang yang ada adalah jalanan, pasar, sawah, gubug reyot yang tanpa tata lampu, costume mewah dan seterusnya. Seniman kan terpuji karena mampu menghasilkan dari yang tidak ada menjadi ada?
Tahun 2022 adalah peringatan hari teater sedunia yang ke 61. Hari teater se dunia dicetuskan oleh institut teater internasional (ITI) 27 Maret 1961.Tujuan perayaan ini menurut ITI, untuk menyadarkan betapa pentingnya nilai-nilai teater dan membantu komunitas teater lokal dalam skala yang lebih luas, sekaligus berbagi kecintaan terhadap teater. Teater telah menjadi bagian dari kehidupan politik, pendidikan dan sosial budaya selama berabad-abad dan telah menjadi media yang signifikan untuk berbagi pemikiran, gagasan yang tumbuh dalam kehidupan sehari2 untuk disampaikan kepada publik. Setiap tahun, ITI membuat pesan tahunan yang disampaikan oleh pemain teater terkenal yang mereka pilih untuk berbagi refleksi tentang seni teater dan masa depan teater. Pesan tersebut pertama kali disampaikan oleh Jean Cocteau pada tahun 1962.
Pada acara yang mulia di Salahatedu, Teater Keliling hadir membawakan “KURSI KURSI” karya dan sutradara Rudolf Puspa yang terbaru hasil olahannya di Seminyak Bali tahun 2021. Teater keliling menghadirkan empat wanita dari tiga generasi yakni lansia, wanita separo baya dan juga dari milenial. Mereka bertemu dengan modal kemampuan yang berbeda sehingga melalui kegiatan ini ingin melakukan kegiatan dari wanita beda pengalaman berteater agar mampu saling berbagi dan peduli. Bukan hanya di panggung namun dalam kegiatan sehari2nya sejak berlatih hingga manggung dan seterusnya. Melalui kegiatan ini menjadi terasa betapa sulitnya melakukan regenerasi disegala bidang. Itulah gambaran yang kami tangkap kenapa para tetua kita masih saja duduk di kursi seolah2 tak ada anak muda yang mampu menggantikannya. Jadi bukan si muda yang tak mampu tapi karena tidak dipercaya si tua maka regenerasi berjalan alot.
Melalui naskah “kursi kursi” teater keliling punya niatan bicara tentang zamannya. Ketika sedang hidup dalam “peran” terasa sangat takut kehilangan kursi. Kursi yang dianggap tertinggi nilainya seolah2 akan dibawa mati.Ketika sedang bersama tampak akrab dan seolah olah saling memahami dan lebih nyaman hingga ketika ada yang hadir dari luar mulai kecurigaan muncul dan ingat apa yang harus diselamatkan.
Namun manusia masih punya hati kecil yang kadang meniupkan seruling kesadaran bahwa dalam tatanan hidup yang memahami kebenaran justru menjadi minoritas. Yang mayoritas tanpa sadar hanya terbawa arus dukung mendukung namun tetap saja tak kebagian kursi.
Melalui ajang peringatan Hatedu di Sala ini mari sedikit merenung bahwa panggung tempat minoritas dan penontonlah yang mayoritas. Yakinlah kita bisa tertawa dalam renungan singkat dan syukur jika ada niat kembali ke semangat “gotong royong” dalam keberagaman. Sebuah tata nilai hidup yang mulia di tanah air udara Nusantara.
Terima kasih dan salam jabat merdeka berkarya
Magelang 26 Maret 2022.
Rudolf Puspa
pusparudolf@gmail.com