Alunan Bunyi dan Rasa dalam Gamelan -->
close
Pojok Seni
12 March 2022, 3/12/2022 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2022-03-12T01:00:00Z
ArtikelMusik

Alunan Bunyi dan Rasa dalam Gamelan

Advertisement


Oleh: Supriyadi


Menikmati alunan bunyi gamelan agaknya bersandingan juga dengan menikmati aliran rasa. Tidak saja bagi pendengar, bagi pemain atau niyaga; rasa menjadi kunci utama untuk dapat merasuk ke dalam repertoar sajian. Lebih jauh lagi, bagi pembuat gamelan. Dalam melaras gamelan, rasa sangatlah diandalkan. Pasalnya, setiap kali melaras gamelan, tidak ada sebuah patokan bunyi laiknya nada-nada diatonic yang dapat dilaras dengan alat bantu metronome.


Metode melaras gamelan ialah dengan sebutan mbabon. Mbabon dalam bahasa Jawa berarti menginduk. Kiranya metode ini bisa dilakukan dengan cara menginduk penuh terhadap gamelan lain, namun jarang ada pelaras menggunakannya. Rata-rata mereka hanya menginduk pada salah satu instrument dan bahkan hanya pada satu nem (6) atau dua nada saja: nada ro (2) dan nem (6). 


Seusainya, para pelaras memainkan rasa yang dimilikinya untuk melahirkan susunan bunyinya. Tentu, dengan koridor-koridor tertentu seperti embat, teba, gembyang, dan lain sebagainya. Sedangkan, dalam menemukan susunan bunyinya, ukuran yang digunakan hanyalah bunyi penak dan ora penak (enak dan tidak enak didengar serta dirasa). Peristiwa ini menandai bahwa dalam melaras gamelan, penggunaan rasa begitu dijunjung.


Syahdan, setiap kali gamelan “klasik” dimainkan, akan terdapat alur melambat di bagian akhir sajian yang kemudian dipertebal dengan bunyi nggandhul gong sebagai wujud akhir sajian. Belum lagi ketika dalam repertoar sajian terdapat gong nggandhul di beberapa gatra, ataupun bunyi kenong yang mleset. Ke dua bunyi ini merupakan bunyi yang tidak tepat pada beat-nya. Selain terbiasa, peristiwa mleset dan nggandhul ini merupakan sebuah katarsis rasa bagi para niyaga. Tanpa rasa yang dominan, membunyikan nggandhul dan mleset akan mengalami kesulitan.


Hal sebaliknya juga terjadi ketika mleset dan nggandhul tidak dibunyikan, sajian repertoar akan terasa berbeda. Atau dalam istilah lain ora kepanak. Hal ini dapat dimaknai bahwa terdapat aliran rasa yang tersemat dalam memainkan gamelan. Kemudian, adanya sistem notasi stimulan dalam karawitan Jawa. Bagi ricikan garap, mengejawantahkan gendhing dilakukan secara personal dengan vokabuler garap. Tentu distimulasi dengan notasi pemantik, namun isiannya diserahkan secara penuh kepada niyaga ricikan garap.


Rasa begitu diandalkan dalam mengejawantahkan bunyi tersebut, tentu terdapat koridornya, yakni nibani pada nada notasi yang telah ditentukan. Jika saja, nibani ini tidak tepat tentu akan terdapat bunyi blero yang akan dihadirkan. Sedangkan isiannya merupakan tafsir niyaga. Dalam hal ini terdapat benang merah bahwa alunan vokabuler bunyi para niyaga, juga terkandung alunan rasa di dalamnya.


Bagi para penikmat, juga dihadirkan ruang merasakan alunan gamelan. Secara subyektif, alunan gamelan yang pelan dan sayu secara beruntun mengantarkan pada ruang pemaknaan. Dalam mencapai titik ini, pencurahan rasa sangat dibutuhkan. Ketika saya berkelindan pada hal-hal teknis, saya tidak mampu merasakan ruang tersebut. Namun, ketika saya “menginjak kepala” dan mencurahkan pikiran terhadap bunyi yang mengalun, ruang tersebut dapat tercapai. Dalam ruang tersebut, terdapat aliran rasa dari alunan gamelan yang merasuk ke dalam diri saya. Juga sebaliknya, saya mampu menghadirkan rasa personal. Tentu peristiwa ini bersifat subjektif, namun tidak salah untuk mencoba menggapainya.


Bunyi dan Laku


Laku dalam kultur Jawa seringkali dimaknai sebagai bentuk prihatin atau tirakat. Kiranya aktivitas puasa, bertapa, ataupun aktivitas yang bersifat keilahian seringkali dimaknai sebagai laku. Agaknya, bunyi gamelan juga berada dalam bingkai laku tersebut. Barangkali, kalimat “ngrabuk nyawa”, “ngudo rasa”, ataupun “semeleh ing swara” karib terdengar bagi para orang tua. Kiwari, istilah ini agaknya kian uzur. Di tengah malam, alunan gamelan akrab terdengar melalui radio ataupun tape dari beberapa rumah di desa-desa. Ataupun ketika rolasan, sembari leyeh-leyeh mengistirahatkan raga atas aktivitas yang dilalui, alunan gamelan seringkali menemani para orang tua. Agaknya, bunyi ini tidak saja mengistirahatkan raga, melainkan juga jiwanya. Pasalnya, setiap kali mendengarkan alunan bunyi gamelan, para orang tua menyematkan aktivitas ini dengan ngrabuk nyawa, ngudo rasa, ataupun sumeleh ing swara.


Melalui alunan gamelan, aktivitas menenggelamkan keriuhan pikiran begitu dinunaikan. Melalui alunan gamelan, menyelami rasa menjadi sebuah wahana untuk mencapai sebuah spirit serta kekuatan untuk melakoni kehidupan. Tidak hanya bagi para pendengar, bagi para niyaga pun istilah tersebut juga karib digunakan. Masif ditemui ihwal berlatih untuk kepentingan tertentu, misalnya tanggapan, melatih anak-anak, atau membuat karya. Namun, agaknya jarang ditemui bermain gamelan untuk kepentingan diri sendiri: ngrabuk nyawa, ngudo rasa, ataupun sumeleh ing swara. Saya masih menemui para niyaga bermain gamelan untuk kepentingan tersebut. 

Terlepas dari adanya kepentingan tanggapan, melatih anak-anak, ataupun membuat karya, bermain gamelan menjadi sebuah katarsis peluapan rasa itu sendiri. Terdapat benang merah atas ke dua peristiwa tersebut, yakni melalui alunan gamelan, kepentingan nyawa ataupun rasa sangatlah penting. Terdapat nilai kontemplasi yang dilakoni melalui bunyi gamelan. Agaknya, alunan gamelan menjadi sebuah sarana laku tersendiri bagi para peminatnya.


Aliran


Jika dicerap, aliran rasa dalam gamelan kiranya sudah melekat sejak dibuat hingga dibunyikan. Sejak proses pelarasan dari gamelan oleh para penglaras, sejak dibuatnya gendhing-gendhing gamelan, sejak dimainkannya gendhing oleh para niyaga, hingga dinikmatinya alunan gamelan terhadap para pendengarnya. Terdapat sebuah aliran rasa yang secara estafet teralirkan. Agaknya, tidak berlebihan jika alunan bunyi gamelan juga tersemat alunan rasa.


Rasa juga menjadi sebuah nilai penting tidak hanya bagi gamelan, tetapi juga pada sosio-kultura masyarakat Jawa. Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang berkenaan dengan orang banyak, rasa menjadi nilai yang tidak ditinggalkan. Pengambilan keputusanpun terpengaruhi oleh rasa itu sendiri. Ironinya, nilai rasa dalam gamelan ini kiranya kian surut. Dilihat  dari para penikmat gamelan yang kian menurun. Ucapan “musiknya bikin ngantuk!”, kiranya lazim terdengar dari generasi milenial kiwari. Bahkan, terdapat banyak komposer muda dengan dalih membuat gebrakan baru menghadirkan bunyi-bunyi keras dalam gendhing-gendhing yang diciptakannya. Ataupun aktivitas bermain gamelan yang menenggelamkan sisi ngrabuk nyawa, ngudo rasa, ataupun sumeleh ing swara.


Barangkali, peristiwa tersebut patut untuk dicerap ulang. Pasalnya, alunan bunyi gamelan yang pelan dan mendayu sudah menjadi sebuah estetika bunyinya. Sehingga, dalam menikmati bunyi tersebut patut untuk menenggelamkan ambisi pribadi dari kepentingan apapun. Dengan begitu, kemampuan merasuk ke dalam alunan bunyi serta alunan rasa yang dihadirkan gamelan dapat tercapai. Pergeseran-pergeseran nilai rasa yang terpapar kiranya juga tidak bisa disalahkan, sebab zaman menuntutnya. Namun, dengan adanya kesadaran ihwal nilai tersebut, kiranya sebagai generasi penerus; kita dapat memegang nilai ini agar tidak hanyut. Mampu mengemas gamelan dengan ciamik selaras dengan alur zaman, namun tetap bertahan dengan substansi rasa yang melekat di dalamnya. Amin!


Regards,

Supriyadi | suprismartcroot82@gmail.com

Ads